Mengapa Macron Enggan Minta Maaf kepada Aljazair Islam?

Presiden Prancis Emmanuel Macron enggan minta maaf kepada Aljazair Islam

EPA-EFE/YOAN VALAT
Presiden Prancis Emmanuel Macron enggan minta maaf kepada Aljazair Islam
Rep: Fuji E Permana Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Presiden Prancis Emmanuel Macron telah mengesampingkan permintaan maaf resmi atas pelanggaran kolonial di Aljazair. 

Baca Juga

 

Pernyataan ini disampaikan Kantor Kepresidenan Prancis pada 20 Januari 2021. Kantor Macron mengatakan, tidak akan ada penyesalan atau permintaan maaf untuk pendudukan Aljazair atau perang berdarah delapan tahun yang mengakhiri pemerintahan Prancis. Presiden malah akan mengambil bagian dalam tindakan simbolis yang bertujuan untuk mempromosikan rekonsiliasi.  

 

Dalam artikel yang ditulis Abdus Sattar Ghazali dan dipublikasikan laman The Milli Gazette, dijelaskan perang kemerdekaan Aljazair 1954-1962 terus merenggangkan hubungan antara kedua negara hampir 60 tahun kemudian. 

 

Pada 20 Januari lalu, seorang sejarawan menyerahkan temuannya setelah ditugaska presiden untuk menilai kemajuan yang dibuat Prancis dalam memori penjajahan Aljazair dan Perang Aljazair.  

 

Laporan yang dibuat Benjamin Stora merekomendasikan pembentukan komisi ingatan dan kebenaran untuk menangani pelanggaran yang dilakukan di negara Afrika Utara itu.  

 

Stora merekomendasikan kepada Macron bahwa komisi kolaborasi antara Prancis-Aljazair dapat mendengar kesaksian dari orang-orang yang menderita selama perang kemerdekaan Aljazair dan bekerja menuju rekonsiliasi. Secara meyakinkan, Stora juga percaya bahwa meminta maaf tidak akan sampai ke inti permasalahan. 

 

Presiden Aljazair Abdemadjid Tebboune dua tahun lalu telah meminta permintaan maaf penuh dari Prancis. Dia mengatakan Aljazair sejauh ini hanya menerima setengah permintaan maaf. 

 

Kekejaman Prancis yang paling terlihat saat mereka menampilkan tengkorak pejuang Aljazair di Museum Paris. Tengkorak para pejuang dibawa ke Paris sebagai piala perang.  

 

 

Penolakan Macron untuk meminta maaf atas kekejamannya di Aljazair mencerminkan sikap dan pola pikir negaranya terhadap Afrika.  

"60 tahun kemudian, negara-negara francophone (negara-negara yang menjadikan bahasa Prancis sebagai bahasa komunikasi) di Afrika masih belum benar-benar merdeka dan bebas dari Prancis," kata Nathalie Yamb, penasihat Partai Kebebasan dan Demokrasi Pantai Gading. "Bahkan isi buku pelajaran sekolah sering kali masih ditentukan oleh Prancis," kata Yamb dikutip dari Deutsche Welle (DW). 

Tetapi yang lebih penting, sistem politik di banyak negara diperkenalkan oleh Prancis. "Sesaat sebelum kemerdekaan, Prancis memutuskan untuk menghapus sistem parlementer di beberapa negara seperti Pantai Gading dan memperkenalkan rezim presidensial di mana semua wilayah dan kekuasaan berada di tangan kepala negara," kata Yamb kepada DW.  "Alasannya adalah dengan cara ini, hanya satu orang dengan semua kekuatan yang perlu dimanipulasi," katanya. 

Pada 1962, Presiden Prancis Charles de Gaulle menugaskan penasihatnya Jacqaues Foccart untuk membangun Francafrique. Foccart membuat perjanjian yang masih berlaku sampai sekarang. Sebagai imbalan atas perlindungan militer terhadap percobaan kudeta dan pembayaran uang pelicin yang besar, para pemimpin Afrika menjamin akses perusahaan Prancis ke sumber daya strategis seperti berlian, bijih, uranium, gas, dan minyak. 

Hasilnya adalah kehadiran yang kuat dari kepentingan Prancis di benua itu, termasuk 1.100 perusahaan, sekitar 2.100 anak perusahaan, dan portofolio investasi terbesar ketiga setelah Inggris Raya dan Amerika Serikat. Prancis juga memiliki hak penolakan pertama atas semua sumber daya alam dan akses istimewa ke kontrak pemerintah. 

 

Sumber: https://www.milligazette.com/news/8-international/33801-why-macron-rules-out-official-apology-colonial-atrocities-algeria/  

 
Berita Terpopuler