PPIM UIN Jakarta Ungkap Mengapa Hijrah Lebih Diminati   

PPIM UIN Jakarta meneliti mengapa komunitas hijrah lebih diminati

Republika/Wahyu Suryana
PPIM UIN Jakarta meneliti mengapa komunitas hijrah lebih diminati. Jambore Hijrah Bikers di Kompleks Masjid Jogokariyan, Sabtu (31/8). Ilustrasi
Rep: Fuji E Permana Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta melakukan penelitian tentang tren keberagamaan gerakan hijrah kontemporer 2020.

Baca Juga

Berdasarkan hasil penelitian tersebut terungkap bahwa konservatisme yang ditunjukan komunitas-komunitas hijrah yang diteliti sangat beragam, sehingga tidak bisa disamakan.

Koordinator Peneliti Tren Keberagamaan Gerakan Hijrah Kontemporer, Windy Triana menyampaikan kesimpulan penelitiannya. Dia menjelaskan ada dua tipologi komunitas hijrah kontemporer di Indonesia. Yaitu tipologi konservatif dan Islamis. Kelompok konservatif terdiri dari salafi dan non-salafi.  

"Selanjutnya, komunitas salafi menunjukkan karakteristik salafi murni dan salafi akomodatif," kata Windy saat peluncuran hasil penelitian Tren Keberagamaan Gerakan Hijrah Kontemporer secara virtual, Senin (1/2).

Dia mengatakan, terminologi salafi akomodatif digunakan dalam penelitian ini untuk menyebut komunitas salafi yang menunjukkan sikap akomodatif terhadap nilai-nilai modern. 

Karakteristik ini tidak terakomodasi oleh penelitian-penelitian terdahulu tentang salafisme. Tipologi tersebut didasarkan kepada kajian mendalam terhadap respons komunitas terhadap isu seperti kebangsaan, toleransi dan gender. 

Dia menerangkan, konservatisme yang ditunjukkan kelima komunitas hijrah yang diteliti ini sangat beragam. Sehingga tidak bisa disamakan antara satu komunitas dengan komunitas lain. 

Berdasarkan hasil penelitian PPIM UIN Jakarta, Windy juga menilai bahwa komunitas hijrah dapat dikatakan berhasil dalam menjaring pengikut dari kalangan muda milenial dari beragam kelas sosial.  

"Hal ini karena kemampuan komunitas untuk menggunakan cara-cara dakwah non-konvesional dengan memaksimalkan penggunaan media sosial, cara komunikasi ala anak muda, dan kemampuan mengikuti dan merespons tren (gaya hidup dan isu) yang berkembang," ujarnya.  

Selain itu, dia mengatakan, ada fragmentasi otoritas keagamaan menjadikan komunitas hijrah menjadi lebih populer dari komunitas Muslim mainstream yang cenderung menjaga otoritas keagamaan yang mapan. 

 

Lima komunitas hijrah yang diteli PPIM UIN Jakarta di antaranya, pertama, komunitas Pemuda Hijrah Shift di Bandung (konservatif non salafi). Kedua, Kajian Musyawarah di Jakarta yang isinya para artis serta selebriti yang berhijrah (konservatif non salafi).  

Ketiga, Yuk Ngaji di Jakarta yang digawangi Felix Siauw (islamis). Keempat, Terang Jakarta (konservatif salafi akomodatif). Kelima, The Stranger Al Ghuroba di Jakarta (konservatif salafi murni), menurut peneliti PPIM UIN Jakarta, komunitas ini yang sangat tertutup. 

Windy juga menjelaskan tentang tipologi dan spektrum gerakan hijrah yang ditemukan dalam penelitian PPIM UIN Jakarta. Pertama, konservatif dan yang kedua islamis. Kelompok yang konservatif terdiri dari yang salafi dan non salafi. Salafi ada dua, di antaranya salafi akomodatif dan salafi murni. 

"Salafi akomodatif ini cukup unik, dan kami membuat (istilah) salafi akomodatif ini untuk mengakomodasi kecenderungan (orang-orang) salafisme yang sangat terbuka pada beberapa isu," jelasnya. 

Dia menerangkan, kelompok salafi akomodatif tidak terakomodasi definisi dan kategorisasi salafi yang dibuat Quintan Wictorowicz dan Din Wahid. 

 

"Jadi kami memunculkan istilah salafi akomodatif, mereka semua tergabung dalam Muslim United dan Barisan Bangun Negeri kecuai The Strangers Al Ghuroba (kelompok salafi murni)," kata Windy.

 
Berita Terpopuler