Arti dari Peringkat Pertama Kematian Harian Covid se-Asia

Tingkat keterisian rumah sakit yang tinggi picu angka kematian akibat Covid-19.

EPA-EFE/ADI WEDA
Kerabat berdoa selama pemakaman jenazah pasien Covid-19 di TPU Bambu Apus Jakarta, Kamis (28/1). Indonesia menduduki peringkat pertama di Asia dalam hal penambahan angka kematian akibat Covid-19 secara harian. Berdasarkan rekap data harian yang dilakukan 'our world in data' per 28 Januari, Indonesia bertengger di posisi puncak mengungguli India, Turki, Jepang, dan Iran.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Rr Laeny Sulistyawati

Indonesia menduduki peringkat pertama di Asia dalam hal penambahan angka kematian akibat Covid-19 secara harian. Berdasarkan rekap data harian yang dilakukan 'our world in data' per 28 Januari, Indonesia bertengger di posisi puncak mengungguli India, Turki, Jepang, dan Iran. Bahkan negara tetangga seperti Singapura, Vietnam, dan Brunei berada jauh di bawah Indonesia dengan mencatatkan nol kasus kematian baru.

Data yang disampaikan di atas memang belum menyajikan kondisi teranyar pada Jumat (29/1) ini. Namun melihat tren selisih angka kematian harian antara Indonesia dengan negara-negara lain di Asia yang cukup jauh, maka Indonesia masih berpotensi 'juara' dengan laporan kematian 187 orang pada hari ini.

Sebagai gambaran, terhitung sejak 1 Januari 2021 Indonesia tidak pernah sekalipun mencatatkan penambahan angka kematian di bawah 150 orang per hari. Capaian terendah adalah 171 orang pada 24 Januari lalu. Rekor tertinggi bahkan tercatat pada Kamis (28/1) kemarin dengan 476 pasien Covid-19 yang meninggal dunia.  

Sementara negara-negara lainnya di Asia mencatatkan tren angka kematian yang konsisten menurun. India dan Turki misalnya, kompak menunjukkan tren penurunan ke bawah 150 kematian per hari. Sementara Jepang, Iran, dan Filipina juga mencatatkan angka kematian di bawah 100 orang per hari sejak awal Januari lalu.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, tidak menampik kondisi yang dialami Indonesia terkait tingginya angka kematian. Menurutnya, angka kematian sangat bergantung pada kemampuan pelayanan kesehatan. Tingkat keterisian yang tinggi, ujarnya, otomatis akan berimbas pada kemampuan rumah sakit melayani pasien Covid-19. Risikonya, angka kematian pun meningkat.

"Dapat juga dipengaruhi kemampuan deteksi dini kasus positif, karena semakin dini dideteksi maka akan memperkecil peluang keparahan penyakit yang berujung pada kematian," ujar Wiku kepada Republika, Jumat (29/1).

Melihat fenomena tingginya angka kematian saat ini, Wiku mengakui bahwa fasilitas kesehatan di Indonesia kewalahan dalam menerima pasien baru Covid-19. Di saat yang sama, ia menambahkan, RS tetap harus melayani pasien non-Covid-19 yang butuh perawatan.

Data terbaru yang dirilis Satgas Penanganan Covid-19, dari 77 kabupaten/kota yang melakukan pembatasan kegiatan (PPKM) sejak 11 Januari 2021, sebanyak 30 daerah belum sanggup menekan angka keterisian tempat tidur isolasi dan ICU (BOR/bed occupancy ratio). Ketujuh provinsi yang menerapkan PPKM di Jawa-Bali pun tak kunjung mampu menekan angka BOR jauh di bawah 70 persen.

"Saat ini pemerintah berupaya melakukan upaya antisipatif untuk mengatasi ini. Tidak hanya di hilir atau fasilitas kesehatan, namun juga di hulu untuk mencegah penularan penyakit," ujar Wiku.

Namun di luar kenyataan bahwa angka kematian Covid-19 di Indonesia cukup tinggi, Wiku memandang bahwa perbandingan dengan negara lain lebih baik menggunakan perhitungan angka kematian per 1 juta penduduk. Hal ini, menurutnya, lebih sepadan dilakukan mengingat tantangan setiap negara berbeda-beda seperti jumlah penduduk atau kondisi geografis.

"Jika merujuk pada data Worldometer, untuk angka kematian per 1 juta penduduk hari ini, Indonesia berada di peringkat 19 dari 49 negara terdaftar. Di dunia berada di peringkat 106 dari 221 negara," kata Wiku.

Berdasarkan data global, ada dua alasan penyebab kematian akibat Covid-19 yang paling utama di dunia. Yaitu, lanjut usia (lansia) atau memiliki penyakit penyerta (komorbid).

Pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair), Laura Navika Yamani, memperkirakan dua faktor tersebut juga menjadi penyebab utama kematian akibat Covid-19 di Indonesia. "Kalau berdasarkan data global, penyebab kematian tertinggi orang yang terinfeksi Covid-19 ada dua, pertama adalah orang yang lanjut usia dan kedua orang yang memiliki penyakit penyerta seperti jantung, tekanan darah tinggi (hipertensi), hingga asma. Di Indonesia, kematian akibat Covid-19 juga akibat dua hal itu, tetapi secara data akurat saya tidak tahu," ujar Laura.

Laura mengaku belum menemukan data spesifik penyebab kematian orang terinfeksi Covid-19 di Tanah Air. Minimnya informasi ini termasuk mengenai penyakit penyerta orang yang meninggal akibat Covid-19, bisa jadi karena hipertensi, jantung, atau diabetes mellitus.  




Baca Juga

 

Selain itu, Laura menilai ada kemungkinan orang yang terinfeksi Covid-19 datang ke rumah sakit dalam kondisi yang sudah berat atau kritis. Persoalan semakin ditambah begitu masuk rumah sakit, mereka masih harus menunggu karena tidak mendapatkan kamar perawatan atau ruang ICU atau ventilator. Kemungkinan penanganan yang tidak cepat ini bisa mengakibatkan kondisi berat bahkan fatal yang menyebabkan kematian.

"Itu bisa jadi faktor lainnya karena saya melihat dan mendengar sendiri banyak yang mencari ICU, tidak mendapatkannya kemudian meninggal dunia, tetapi belum ada datanya. Jadi, saya tidak paham karena kondisi kesehatan atau penanganannya yang kurang cepat," katanya.

Oleh karena itu, ia meminta pemerintah segera mengevaluasi penyebab tingginya kematian orang Indonesia yang terinfeksi Covid-19 ini. Ia menduga ada beberapa kemungkinan, apakah keterbatasan fasilitas kesehatan karena sekarang banyak yang over capacity. Selain itu, dia melanjutkan, Indonesia hampir setahun mengalami pandemi ini dan ada kemungkinan penanganan dari tenaga kesehatan berkurang kualitasnya.

"Saya sih harapkan tidak. Sebab, fasilitas kesehatan (faskes) tentu berharap tidak banyak orang datang ke rumah sakit karena takutnya tidak mendapatkan penanganan yang cepat dan memberikan beban yang semakin besar kepada tenaga kesehatan yang berdampak ke kematian," katanya.

Oleh karena itu, ia meminta kematian pasien Covid-19 Indonesia yang tinggi di Asia harus menjadi renungan dan pemetaan pemerintah. Apakah karena rumah sakit (RS) penuh, kondisi pasien sudah parah ketika dibawa ke rumah sakit atau karakteristik individu penderita Covid-19, apakah memiliki penyakit penyerta atau lanjut usia.

Pemerintah juga diminta untuk melihat pelayanan fasilitas kesehatan seperti apa, apakah karena banyak pasien yang masuk RS membuat pelayanan tidak cepat, kemudian tenaga kesehatan juga kelelahan atau faktor kondisi individu penderita Covid-19 sudah parah ketika masuk ke rumah sakit. Pemerintah sebagai regulator bisa berkonsultasi dengan pihak terkait seperti epidemiolog, Ikatan Dokter Indonesia untuk mendapatkan solusi dari permasalahan ini.  

Pemerintah sendiri telah menjalankan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sejak 11 Januari hingga 8 Februari mendatang. Namun memasuki pekan ketiga pelaksanaan PPKM di tujuh provinsi Jawa-Bali, dampaknya belum terasa signifikan. Satgas menyebutkan, perbaikan seluruh indikator penilaian bisa terlihat setidaknya pada awal Februari 2021 nanti.

Wiku mengungkapkan, ada lima indikator yang dilihat sebagai tolok ukur pelaksanaan PPKM. Kelimanya adalah penurunan kasus aktif, penurunan tren kematian, peningkatan tren kesembuhan, penurunan angka keterisian tempat tidur RS, dan peningkatan tren kepatuhan protokol kesehatan.

Dilihat dari indikator tren kasus aktif, Satgas mencatat bahwa dari 77 kabupaten/kota yang menjalankan PPKM, sebanyak 64 kabupaten/kota di antaranya mengalami peningkatan kasus aktif. Peningkatan terutama terjadi di Banten, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Bali. Tentu ini menjadi sinyal perburukan.

Sementara dari aspek tren kasus kematian, ada 54 kabupaten/kota yang mengalami penurunan angka kematian. Untuk aspek kasus kesembuhan, tercatat ada 21 kabupaten/kota yang mengalami kenaikan angka kesembuhan.

"In berbanding lurus dengan peningkatan persen kasus aktif. Secara umum tren angka kesembuhan menurun," kata Wiku.

Sedangkan jika dilihat dari aspek angka BOR, tercatat ada 47 kabupaten/kota di Jawa-bali yang mengalami penurunan BOR. Secara umum, kabupaten/kota yang melaksanakan PPKM di Banten, DKI, Jateng, dan Jatim mengalami penurunan persentase BOR pada masa PPKM.

"Namun angkanya masih perlu ditekan agar bisa lebih rendah dari 70 persen," ujar Wiku lagi.

Sedangkan terkait kepatuhan protokol kesehatan di 77 daerah pelaksana PPKM, Wiku menyebutkan ada peningkatan persentase jumlah orang yang ditegur lantaran abai menjalankan protokol kesehatan. Tentu hal ini menunjukkan masih lemahnya kesadaran masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan.

Indonesia dan Negara-Negara dengan 1 Juta Kasus Covid-19 - (Infografis Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler