Evaluasi Dua Pekan, Dampak PPKM Belum Signifikan

Dari 77 kabupaten/kota terapkan PPKM, 64 kabupaten/kota alami kenaikan kasus aktif.

Antara/Mohammad Ayudha
Warga melintas di kawasan Jalan Gatot Subroto, Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa (26/1/2021). Pemerintah Kota Solo memperpanjang masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mulai hari ini dengan sejumlah pelonggaran diantaranya menambah jam operasional pusat perbelanjaan, toko ritel kelontong dan pasar tradisional.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Dessy Suciati Saputri, Wahyu Suryana, Haura Hafizhah, Rr Laeny Sulistyawati

Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 menyampaikan hasil evaluasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di 77 kab/kota di 7 provinsi Jawa dan Bali. Secara umum disimpulkan bahwa dampak dari pelaksanaan PPKM belum terlihat secara signifikan. Satgas menyebutkan, perbaikan seluruh indikator penilaian bisa terlihat setidaknya pada awal Februari 2021 nanti.

"Sehingga secara umum, dengan evaluasi dari indikator ini masih diperlukan waktu untuk melihat dampak pelaksanaan PPKM minimal pada akhir Januari atau awal Februari 2021," kata Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito dalam keterangan pers, Kamis (28/1).

Wiku mengungkapkan, ada lima indikator yang dilihat sebagai tolok ukur pelaksanaan PPKM. Kelimanya adalah penurunan kasus aktif, penurunan tren kematian, peningkatan tren kesembuhan, penurunan angka keterisian tempat tidur RS (BOR/bed occupancy ratio), dan peningkatan tren kepatuhan protokol kesehatan.

Dilihat dari indikator tren kasus aktif, Satgas mencatat bahwa dari 77 kabupaten/kota yang menjalankan PPKM, sebanyak 64 kabupaten/kota di antaranya mengalami peningkatan kasus aktif. Peningkatan terutama terjadi di Banten, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Bali. Tentu ini menjadi sinyal perburukan.

Sementara dari aspek tren kasus kematian, ada 54 kabupaten/kota yang mengalami penurunan angka kematian. Untuk aspek kasus kesembuhan, tercatat ada 21 kabupaten/kota yang mengalami kenaikan angka kesembuhan.

"In berbanding lurus dengan peningkatan persen kasus aktif. Secara umum tren angka kesembuhan menurun," kata Wiku.

Sedangkan jika dilihat dari aspek angka BOR, tercatat ada 47 kabupaten/kota di Jawa-bali yang mengalami penurunan BOR. Secara umum, kabupaten/kota yang melaksanakan PPKM di Banten, DKI, Jateng, dan Jatim mengalami penurunan persentase BOR pada masa PPKM.

"Namun angkanya masih perlu ditekan agar bisa lebih rendah dari 70 persen," ujar Wiku lagi.

Sedangkan terkait kepatuhan protokol kesehatan di 77 daerah pelaksana PPKM, Wiku menyebutkan ada peningkatan persentase jumlah orang yang ditegur lantaran abai menjalankan protokol kesehatan. Tentu hal ini menunjukkan masih lemahnya kesadaran masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan.

Baca Juga

Wiku menyampaikan, pemerintah saat ini fokus untuk menurunkan angka kasus aktif atau jumlah orang yang masih dalam perawatan karena Covid-19. Berdasarkan data Satgas per 24 Januari, terdapat sebanyak 162.617 atau 16,44 persen kasus aktif Covid-19 di Indonesia.

Wiku menilai, angka persentase kasus aktif tersebut dapat menjadi ancaman. Sebab jika penularan virus tidak dikendalikan dengan baik, maka akan semakin banyak penduduk yang tertular.

“Kita harus benar-benar menganggap serius penanganan kasus aktif agar angka kesembuhan kasus Covid-19 dapat meningkat dan menurunkan angka kematian,” jelas Wiku saat konferensi pers, Kamis (28/1).

Wiku mengatakan, para pasien yang masih dalam perawatan pun harus mendapatkan penanganan maksimal sehingga dapat segera sembuh. Ia menyebut, jumlah tempat tidur baik isolasi dan ICU di rumah sakit rujukan Covid-19 tercatat sekitar 81 ribu atau hanya setengah dari jumlah kasus yang ada saat ini.  

Kondisi terbatasnya tempat tidur di fasilitas kesehatan ini juga ditambah dengan terbatasnya tenaga kesehatan. Sehingga pelayanan perawatan kepada para pasien pun menjadi tak maksimal.

Untuk mengatasi kondisi tersebut, pemerintah telah menambah kapasitas tempat tidur dan juga tenaga kesehatan. Meskipun begitu, jika angka kasus positif terus bertambah, maka fasilitas kesehatan yang ada tetap tak akan mampu menampung para pasien.

Wiku pun menegaskan, satu-satunya cara untuk mengatasi masalah ini yakni dengan menekan angka penularan di masyarakat. Masyarakat harus terus mematuhi disiplin protokol kesehatan dengan ketat.

“Protokol kesehatan tidak hanya menyelamatkan nyawa namun dapat membantu kita untuk bisa beraktivitas produktif dan aman di tengah pandemi,” kata dia.

 

Ruam kulit tanda gejala Covid-19 (ilustrasi) - (republika)

Soal kebijakan PPKM, kalangan epidemiolog ada yang setuju ada yang tidak. Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), dr. Bayu Satria Wiratama misalnya, menilai, kebijakan memperpanjang PPKM di Jawa dan Bali hingga 8 Februari 2021 tepat. Asalkan, ada perubahan.

Ia menekankan, perlu ada perubahan dalam penerapan harus dilakukan lebih ketat karena PPKM sebelumnya tidak cukup efektif menekan kasus Covid-19 di Tanah Air. Karenanya, Bayu merasa, kebijakan ini tepat jika ada evaluasi yang dilakukan.

"Kebijakan memperpanjang PPKM ini tepat asal ada perubahan dan evaluasi terkait PPKM sebelumnya mengapa kurang berhasil, sebab selama ini terkesan hanya ganti nama tanpa ada perubahan kearah yang lebih baik," kata Bayu, Selasa (26/1).

Bayu menyampaikan, pada pelaksanaan PPKM kali ini harus dilakukan lebih jelas dan terukur. Artinya, PPKM bukan sekadar memperpendek jam operasional dan mengurangi kapasitas, tapi harus ada evaluasi berdasar data epidemiologi.

Menurut Bayu, mobilitas harus jadi pencegahan utama, bukan tujuan mobilitas seperti pusat perbelanjaan, tempat makan dan lain-lain. Jika hanya memperpendek jam operasional dan menurunkan kapasitas kurang efektif mencegah penyebaran.

Sebab, percuma jika mobilitas ke tempat-tempat lain seperti rumah teman, taman dan lainnya tidak dicegah karena masih akan berinteraksi satu sama lain. Bayu melihat, PSBB total sebenarnya lebih efektif karena orang tidak boleh ke luar.

"Kecuali untuk hal yang benar-benar penting seperti membeli makan, belanja kebutuhan dan berobat," ujar Bayu.

Ia menegaskan, PPKM tidak akan berjalan efektif memutus mata rantai penyebaran Covid-19 bila tidak ada perubahan sisi pelaksanaan dan pendekatan. Terlebih, melihat kondisi pertambahan kasus Covid-19 di Tanah Air yang terus meningkat.

Terutama, di daerah-daerah yang tidak terdeteksi sistem pengawasan, PPKM tidak akan berhasil tanpa pembatasan mobilitas yang dilaksanakan benar dan ketat. Maka itu, masyarakat perlu pula diedukasi terkait pembatasan yang dimaksud.

"Salah satunya lewat iklan di televisi dan YouTube. Pendekatan lain dapat ditempuh dengan mengaktifkan relawan tingkat RT/RW, bertugas melakukan pengawasan tamu yang masuk dan memastikan mereka menjalankan prokes secara ketat," kata Bayu.

Sementara, epidemiolog dan peneliti pandemi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengkritisi pemerintah yang memperpanjang PPKM. Dicky mengusulkan sebaiknya pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti pada awal pandemi.

Dicky menekankan pentingnya pemberlakuan PSBB untuk menopang 3T (tracing, testing dan treatment). Pemberlakukan PPKM dianggap tak bisa memperkuat 3T.

Selama ini, Dicky mengingatkan 3T seharusnya merupakan kebijakan utama pengentasan Covid-19. Sedangkan, PPKM atau PSBB hanya bersifat kebijakan pendukung 3T.

"Harusnya PSBB yang sesuai regulasi. Itulah salah satu bentuk lockdown agar semua aktivitas sosial berhenti. Kotanya dimatikan dulu untuk perkuat pelaksaan 3T. Sehingga (3T) jadi optimal dan mengejar ketertinggalan dari penularan virus," kata Dicky pada Republika, Jumat (22/1).

Dicky mengkhawatirkan penularan Covid-19 bisa terus meluas jika penguatan 3T urung dilakukan. Kemudian imbasnya fasilitas kesehatan (faskes) makin kerepotan menangani pasien Covid-19 yang kian membludag.

"Penularan bisa makin besar dan chaos di faskes dan naiknya kematian makin besar," ujar Dicky.

Dicky juga mewanti-wanti kemungkinan angka kematian terus melonjak hingga 500 per hari. Untuk saat ini, angka kematian harian di Tanah Air sudah mencapai 300-an per hari.

"Ini yang harus diantisipasi dan dicegah. Ini tunjukkan pandemi makin tidak terkendali. Bukannya buat versi baru PSBB (PPKM) tapi PSBB lah yang harus dilakukan," ucap Dicky.

Selain memperpanjang PPKM, pemerintah juga menyiapkan langkah khusus, yakni karantina wilayah terbatas sampai tingkat mikro di lingkup RT dan RW. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, Rabu (27/1).

"Perkembangan kasus kami evaluasi dan tentu saja ini memerlukan langkah khusus yang berbeda dari yang selama ini telah dilakukan. Salah satu langkah khusus yang diminta Presiden Jokowi dalam penanganan Covid-19 sekarang ini adalah karantina wilayah terbatas sampai tingkat mikro di lingkup RT dan RW," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Rabu (27/1).

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menerangkan, karantina wilayah yang dimaksud Muhadjir prinsipnya adalah masyarakat secara bergotong royong membantu warga yang diketahui positif Covid-19 untuk melakukan isolasi mandiri. Isolasi juga bisa dilakukan secara kolektif apabila pemerintah daerah menyediakan lokasi secara khusus.

Menurut Wiku, penanganan pandemi memang perlu dilakukan hingga menyentuh lingkup terkecil komunitas, yakni RT dan RW. Karantina terbatas ini dilakukan dengan modal gotong royong, melalui pengaktifan kembali posko Covid-19 di wilayah masing-masing. Posko, ujar Wiku, bisa diisi oleh elemen masyarakat dan dibantu oleh BPBD, Satpol PP, TNI, dan Polri.

"Salah satu contoh riil dari pelaksanaan teknis posko adalah upaya respons cepat berbagai elemen di daerah saat adanya gempa di Sulawesi Barat lalu. Tim tanggap darurat di sana dapat melakukan mitigasi dampak pascabencana dengan tetap memperhatikan pengendalian penularan covid karena kita masih dalam masa pandemi," ujar Wiku dalam keterangan pers, Kamis (28/1).

Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyambut baik wacana karantina wilayah terbatas lingkup RT hingga RW. IDI menilai, karantina wilayah terbatas mikro ini menjadi satu model penguatan PSBB atau PPKM.

"Karantina wilayah ini adalah model penguatan PSBB atau PPKM. Itu betul dan bagus, IDI setuju," ujar Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih saat dihubungi Republika, Kamis (28/1).

Bahkan, IDI sebenarnkan mengharapkan, model karantina wilayah skala mikro dilakukan sejak dulu. Jika memungkinkan, dia melanjutkan, karantina wilayah ini dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, tetapi prioritas di zona merah yang penularannya tinggi.

Sebab, dia melanjutkan, di daerah zona ini banyak orang tanpa gejala (OTG) dan mereka sudah masuk di rumah-rumah penduduk. "Jadi, OTG sudah masuk di kampung-kampung dan harus dilakukan seperti itu," katanya.

Oleh karena itu, dia melanjutkan, pengawasan di wilayah kecil harus dilakukan supaya terpantau dengan baik. Bisa aparat RT/TW, gang-gang kampung, ketika di pedesaan ada pos desa yqng dibantu Babinsa, Babinkamtibmas, kemudian petugas kesehatan di kampung-kampung itu termasuk dokter dan perawat atau bidan desa yang melakukan supervisi.

"Mereka inilah yang melakukan pengawasan atau monitoring mobilitas penduduk, warga yang keluar masuk, kemudian apakah disiplin melakukan protokol kesehatan. Itu lebih gampang dilakukan kalau lingkup kecil karena kan dikenali," katanya.

In Picture: Keluarga Makamkan Sendiri Jenazah Covid-19 di TPU Cikadut

Petugas rumah sakit dan keluarga terpaksa memakamkan sendiri jenazah positif Covid-19 dengan APD seadanya di Pemakaman khusus Covid-19 Tempat Pemakaman Umum (TPU) Cikadut, Kota Bandung, Rabu (27/1). Hal tersebut disebabkan petugas yang biasa mengangkut jenazah positif Covid-19 di TPU Cikadut melakukan aksi mogok bekerja. - (Edi Yusuf/Republika)

 
Berita Terpopuler