Sejumlah Hambatan Kasus FPI Dibawa ke ICC Menurut Komnas HAM

Komnas menyebut sejumlah hambatan yang membuat ICC tak bisa menanggani kasus FPI.

Dhemas Reviyanto/ANTARA
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik (kiri)
Rep: Dian Fath Risalah Red: Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komnas HAM angkat bicara terkait dibawanya peristiwa kematian 6 orang laskar FPI ke Internasional Criminal Court (Mahkamah Internasional) akan menemukan beberapa hambatan. Salah satu hambatannya yakni lantaran Indonesia bukan negara anggota ICC.

Baca Juga

"Karena belum meratifikasi Statuta Roma. Karena itu, Mahkamah Internasional tidak memiliki alasan hukum untuk melaksanakan suatu peradilan atas kasus yang terjadi di wilayah jurisdiksi Indonesia, sebab Indonesia bukan negara anggota (state party), " kata Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik dalam keterangannya, Senin (25/1). 

Hambatan kedua, yakni unsur unable dan unwilling tidak terpenuhi. Hal tersebut lantaran  saat ini kasus tersebut masih diproses, baik oleh Kepolisian maupun lembaga negara independen yakni Komnas HAM RI. 

Karena masih dalam proses, artinya mekanisme peradilan Indonesia tidak sedang dalam keadaan kolaps sebagaimana disyaratkan pasal 17 ayat 2 dan ayat 3 Statuta Roma. Selain itu, kasus ini  juga tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. 

"Walaupun diakui memang ada pihak yang mendesak dan membangun opini sejak awal serta terus-menerus bahwa kasus ini adalah pelanggaran HAM yang berat, termasuk dengan cara menyebarluaskan disinformasi melalui video-video pendek yang mengutip berbagai keterangan anggota Komnas HAM atau aktivis HAM lainnya yang sebetulnya tidak berhubungan atau memiliki relevansi dengan kasus laskar FPI, " jelasnya.

 

Menurut Komnas HAM RI, langkah disinformasi ini disinyalir bersifat sistematis untuk membangun opini dan mendesakkan pada kesimpulan tertentu yakni menggolongkan kasus ini pada pelanggaran HAM yang berat. Padahal, berdasarkan data dan bukti yang dikumpulkan oleh Komnas HAM RI tidak ditemukan unsur-unsur pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dinyatakan Statuta Roma maupun Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Taufan pun merincikan, unsur-unsur untuk disebut pelanggaran HAM yang berat (the most serious crimes), antara lain adanya desain operasi yang direncanakan secara sistematis berdasarkan kebijakan institusi atau negara. Dalam kasus ini, Komnas HAM RI tidak menemukan bukti ke arah itu, baik dari data yang dikumpulkan maupun berdasarkan kronologi peristiwa yang tim penyelidikan Komnas HAM RI temukan. 

"Argumen sebaliknya dari TP3 yang mengaitkan kasus ini ke Presiden Jokowi tentu merupakan penyimpulan yang terlalu jauh," ucap Taufan.

Namun, bila yang dimaksudkan adalah meminta tanggung jawab Presiden untuk memastikan penegakan hukum atas peristiwa ini, Komnas HAM tentu saja bersepakat. Bahkan atas dasar itulah Komnas HAM melaporkan kasus ini secara langsung kepada Presiden Joko Widodo agar Presiden memastikan rekomendasi Komnas HAM ditindaklanjuti oleh penegak hukum. 

Selain itu, mekanisme pelaporan juga disebutkan di dalam pasal 97 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 yang menjelaskan bahwa salah satu pihak yang perlu mendapatkan laporan dari Komnas HAM atas perkara-perkara yang ditanganinya adalah kepada Presiden.  Walaupun, langkah melaporkan temuan dan rekomendasi Komnas HAM RI kepada Presiden Joko Widodo, dimana mekanisme itu berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 1999, ini malah dianggap sebagai pelanggaran etik oleh pihak tertentu.

Adapun, unsur lain untuk disebut sebagai pelanggaran HAM yang berat adalah adanya "pola serangan yang berulang sehingga dampak korbannya juga meluas". Unsur tersebut juga tidak ditemukan. 

"Kesimpulan Komnas HAM RI berdasarkan data yang akurat tentang adanya tindakan pidana unlawfull killing yakni pembunuhan yang bertentangan dengan hukum, yang disebut kejahatan serius, dapat kami pertanggungjawabkan baik dari dukungan data dan bukti maupun konsepsi hukum hak asasi, baik yang berlaku secara nasional maupun internasional," kata Taufan.

"Intinya, kesimpulan apakah kasus ini adalah pelanggaran HAM yang berat atau bukan, tentu saja tidak bisa didasarkan kepada asumsi apalagi dengan motif politik tertentu, tetapi harus berdasarkan data, fakta, bukti dan informasi yang diperoleh dan diuji secara mendalam berdasarkan konsepsi dan instrumen hak asasi manusia yang berlaku di tingkat nasional mau pun standar internasional," ujarnya melanjutkan.

Dengan tidak terpenuhinya berbagai syarat-syarat substansial tersebut, sambung Taufan, maka penting bagi Komnas HAM RI untuk meluruskan hal ini kepada masyarakat luas, agar masyarakat benar-benar memahami konteks dan substansinya serta tidak membangun asumsi yang tak berdasar. Komnas HAM RI mengimbau kepada masyarakat, TP3, para ahli hukum dan tokoh masyarakat untuk bersama-sama memastikan proses peradilan pidana sebagaimana rekomendasi Komnas HAM RI dan sudah disetujui Presiden maupun calon Kapolri terpilih untuk benar-benar dilaksanakan dengan transparan dan jujur.

 

 

 

 
Berita Terpopuler