Mentan: Kedelai Butuh Patokan Harga Acuan

Pemerintah tak perlu berusaha keras mendorong petani agar mau membudidayakan kedelai.

Antara/Fauzan
Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo mengatakan tengah menyiapkan komoditas kedelai agar masuk dalam kelompok bahan pangan strategis.
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo mengatakan tengah menyiapkan komoditas kedelai agar masuk dalam kelompok bahan pangan strategis yang diprioritaskan Kementerian Pertanian. Menurut dia, perlu adanya harga acuan bagi kedelai agar kepastian petani terjaga.

"Apakah kita pernah swasembada kedelai? Pernah jaman Soeharto. Tapi ada hpp (harga pembelian pemerintah) hadir dengan enam kali lebih besar dari harga beras," kata Syahrul dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR, Senin (25/1).

Ia mengatakan, jika kebijakan harga berpihak pada petani, pemerintah tak perlu berusaha keras mendorong petani agar mau membudidayakan kedelai. Syahrul membeberkan, keuntungan yang diterima dari petani kedelai saat ini sangat kecil dibanding komoditas jagung maupun padi yang sama-sama kelompok tanaman pangan.

"Kondisi harga kedelai sekarang, untung Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta per hektare sudah terlalu bagus. Jagung itu Rp 4 juta-Rp 5 juta, padi Rp 5 juta-Rp 6 juta. Jadi mau dipaksa tanam kedelai apapun mungkin nggak bisa," katanya.

Sebagai gambaran, rata-rata harga kedelai petani saat ini berkisar di atas Rp 6.000 hingga Rp 9.000 per kg. Adapun, kata Syahrul, biaya produksi kedelai sudah mencapai di atas Rp 6.000 per kg. Oleh karena itu, harga jual kedelai petani pasti berada di atas Rp 6.000 per kg.

Sementara itu, harga normal kedelai impor tiba di tingkat pengrajin hanya Rp 6.000 per kg sampai Rp 7.000 per kg. "Jadi tidak bisa petani kita dihadapkan head to head dengan petani Brazil, Kanada, Amerika," katanya.

Baca Juga

Oleh karena itu, Syahrul mengatakan akan segera berkonsultasi dengan Presiden Joko Widodo untuk dapat membuat kebijakan harga acuan kedelai. Ia mengatakan, saat ini semakin banyak masyarakat Indonesia yang mengonsumsi tahu dan tempe yang dibuat dari kedelai bahkan menyebar hingga ke luar Jawa.

Itu sebabnya, pengembangan kedelai dalam negeri harus mulai ditingkatkan demi mengurangi ketergantungan impor. Di satu sisi, Syahrul menilai perlu ada kebijakan pengendalian impor kedelai. Diketahui komoditas itu saat ini masuk dalam kelompok non larangan terbatas (lartas) sehingga bebas untuk diimpor.

Sementara itu, Ketua Komisi IV, Sudin mengatakan, impor kedelai yang dilakukan selama ini merupakan kedelai produk rekayasa genetika atau Genetically Modified Organism (GMO). Sementara, petani tidak boleh memproduksi kedelai GMO.

Ia pun meminta ada ketegasan dari pemerintah mengenai hal itu. "Kita tidak boleh GMO, tapi yang diimpor GMO semua. Harus konsisten, tidak boleh GMO masuk atau ya kita sama-sama saja main GMO," katanya.

 
Berita Terpopuler