Akankah Nasib Netanyahu Seperti Trump di Pemilu Israel?

Netanyahu menghadapi pengadilan korupsi dan perpecahan partai

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menghadapi pertarungan yang sulit di tengah perpecahan di dalam partai sayap kanannya, Likud.
Red: Nur Aini

 

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Saat Israel bersiap mengadakan pemilu keempatnya dalam dua tahun terakhir, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menghadapi pertarungan yang sulit di tengah perpecahan di dalam partai sayap kanannya, Likud.

Netanyahu juga menghadapi ancaman penjara jika gagal membentuk pemerintahan berikutnya menyusul tuduhan korupsi terhadapnya. Meski Likud diperkirakan memenangkan pemilu bulan Maret, peluang pembentukan pemerintahan berikutnya masih tetap menjadi bahan perdebatan.

Penantang utama partai Likud dalam pemilu mendatang adalah partai sayap kanan Harapan Baru yang dibentuk Gideon Sa’ar dan Partai Kanan Baru pimpinan Naftali Benet. Konflik antara partai-partai sayap kanan ini kian memperumit pemungutan suara mendatang.

Netanyahu sudah tiga kali gagal membentuk pemerintahan persatuan sejak April 2019.

Sementara pemerintahan koalisinya dengan Partai Biru dan Putih pimpinan Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz pada Mei 2020 telah runtuh bulan lalu.

Baca Juga

Tidak ada lagi Trump untuk menyelamatkan Bibi

 

Pada saat pemungutan suara Israel digelar Maret mendatang, Donald Trump, yang membangun hubungan kuat dengan Netanyahu, sudah angkat kaki dari Gedung Putih alias tidak lagi menjadi Presiden AS.

Trump selama ini telah mendukung kebijakan Netanyahu dengan merelokasi Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, melegalkan pemukiman pendudukan Israel di Tepi Barat, dan mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan Suriah.

Selain itu, Trump mendorong kesepakatan normalisasi antara Israel dan sejumlah negara Arab – seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko.

Jika Trump selama ini berhasil mengangkat popularitas Netanyahu, terutama dalam basis sayap kanan, Presiden AS yang baru Joe Biden mungkin tidak banyak melakukannya.

Netanyahu telah berjanji mempercepat kampanye vaksinasi Covid-19 untuk memastikan selesai pada akhir Maret, sebuah langkah yang dinilai banyak analis sebagai trik kampanye.

Taktik memecah belah

 

Analis Israel percaya bahwa Netanyahu berencana memecah aliansi Joint List - koalisi empat partai Arab - dan partai oposisi sayap kanan, seperti yang dia lakukan dengan partai Biru dan Putih.

Pada pemilu 2 Maret 2020, Joint List memperoleh 15 kursi Knesset atau Parlemen Israel.

Pada Mei 2020, Netanyahu membentuk koalisi dengan partai Biru Putih yang dipimpin oleh Gantz.

Situasi ini mengadu Netanyahu dengan sekutunya Yair Lapid yang saat ini memimpin partai “Ada Masa Depan”.

Menurut pengamat, strategi Netanyahu untuk memenangkan pemilu mendatang berfokus pada pelemahan aliansi Joint List dan menyerang partai-partai sayap kanan Israel.

Pekan lalu, bentrokan meletus antara pasukan keamanan Israel dan warga Arab ketika Netanyahu tiba di kota Nazareth di utara untuk mengadakan pembicaraan dengan aliansi Joint List.

Beberapa wali kota memboikot pertemuan tersebut.

Para kritikus melihat kunjungan Netanyahu - yang ketiga ke kota Arab hanya dalam dua pekan - sebagai upaya partai Likud untuk mencari simpati pemilih Arab.

Netanyahu akhir-akhir ini menjanjikan "era baru" bagi warga Arab seiring dengan waktu pemilu yang kian dekat.

"Warga Arab harus sepenuhnya menjadi bagian dari masyarakat Israel," ucap Netanyahu seperti dikutip harian Israel Haaretz.

Netanyahu juga mengumumkan rencana pencalonan seorang tokoh Arab dari Partai Likud dengan jaminan kursi parlemen dalam pemilu mendatang.

Namun, Ahmed Tibi, seorang anggota Arab dari Knesset, terkejut dengan "cinta tiba-tiba" yang diungkapkan Netanyahu kepada warga Arab.

Berbicara kepada Anadolu Agency, Tibi mengatakan Netanyahu sedang mencoba "menjadikan kita idiot" dengan bekerja untuknya.

Mengingat retorika anti-Arab Netanyahu dalam kampanye pemilu sebelumnya, Tibi memperingatkan kebohongan perdana menteri Israel itu dan menggambarkan bujuk rayunya akan segera lenyap setelah pemilu.

Warga negara Arab merupakan 20 persen dari 9 juta penduduk Israel.

Perpecahan partai sayap kanan

 

Saat partai-partai sentris dan sayap kiri tidak menimbulkan ancaman serius terhadap peluang Netanyahu untuk terpilih kembali. Rencana Netanyahu untuk membentuk koalisi partai-partai sayap kanan juga menghadapi ketidakpastian di tengah perpecahan yang ada. Sa'ar dan Bennett, pemimpin dari dua partai penantang Partai Likud, mengumumkan rencana koalisi untuk membentuk pemerintahan baru.

Sementara Avigdor Lieberman, pemimpin partai Israel Our Home, berjanji tidak mendukung pemerintah yang dipimpin Netanyahu.

Menurut jurnalis Israel Yoni Ben Menachem, persaingan antara partai-partai sayap kanan akan memecah belah mereka sekaligus melemahkan posisi Netanyahu.

"Netanyahu berusaha membentuk koalisi 61 kursi di Knesset sehingga dia dapat mengesahkan hukum Prancis yang memberinya kekebalan dari penuntutan selama menjabat," kata Ben Menachem.

"Jajak pendapat di Israel menunjukkan bahwa sulit bagi Netanyahu untuk mendapatkan 61 kursi, karena Sa'ar mengumumkan bahwa dia tidak akan bergabung dengan pemerintah Netanyahu,” lanjut dia.

Netanyahu menghadapi tuntutan pidana dari Pengadilan Pusat Israel di Yerusalem Timur atas tuduhan penyuapan, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan.

Saat ini, Netanyahu mendapat dukungan dari partai sayap kanan Shas dan United Torah Yudaism dan berharap dapat membujuk Partai New Right untuk bergabung dengan koalisinya guna membentuk pemerintahan.

Meskipun ada kemungkinan partai-partai oposisi membentuk koalisi untuk mencegah hal ini terjadi, Ben Menachem mencatat bahwa perbedaan ideologis antara partai-partai Yahudi sayap kanan, sentris, dan sayap kiri, dan Joint List Arab membuat kemungkinan itu masih sulit terjadi

"Memang benar bahwa ada orang-orang di Israel yang menginginkan Netanyahu bernasib sama dengan Trump - kalah dalam pemilihan mendatang - tetapi masih terlalu dini untuk membuat kesimpulan [seperti itu]," kata Ben Menachem.

 
Berita Terpopuler