Jika Ada Efek Samping Vaksin, Indonesia tidak Boleh Gugat?

Beredar narasi Indonesia tak boleh gugat produsen vaksin jika ada efek samping

EPA-EFE/DEDI SINUHAJI
Seorang petugas kesehatan Indonesia menyuntikkan satu dosis vaksin COVID-19 milik Sinovac saat program vaksinasi di sebuah rumah sakit di Medan, Sumatera Utara, Indonesia, 21 Januari 2021. Indonesia memulai program vaksinasi terhadap penyakit coronavirus (COVID-19) untuk kesehatan medis pekerja dan pejabat tinggi pemerintah pada 14 Januari, sebagai langkah pertama dari upaya vaksinasi nasional.
Rep: Antara Red: Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Sebuah unggahan di media sosial menjadi pembahasan warganet karena menyebut Indonesia tidak bisa menggugat produsen vaksin COVID-19 jika produk itu punya efek membahayakan.

Baca Juga

Salah satu akun di Facebook mengatakan hal itu merupakan bentuk kezaliman. Rakyat diberi sanksi jika tak melakukan vaksinasi, tapi ketika ada risiko mereka tidak boleh menggugat.

Berikut narasi yang beredar di Facebook:

"Terus rakyat ini kau anggap apa? menolak vaksinasi diancam pidana, menerima vaksinasi apabila ada resiko dikemudian hari rakyat tidak boleh menggugat? sedemikian parahnya kedzaliman ini, seolah rakyat Indonesia ini hanyalah sekumpulan ternak yang hanya boleh pasrah dengan segala keputusan pengembala, memang pemilik negeri ini siapa?"

Unggahan itu juga menyertakan tangkapan layar salah satu situs dengan judul konten "Nah Loh! Indonesia Diminta Tak Boleh Gugat Kalau Vaksin Corona Punya Efek Membahayakan".

Namun, benarkah Indonesia tidak boleh menggugat jika vaksin COVID-19 berdampak bahaya?

 

Penjelasan: 

Informasi terkait tak ada gugatan atas efek samping vaksinasi ini memang ada beritanya. Namun, konteksnya adalah terkait penyediaan vaksin Pfizer kepada Indonesia, bukan vaksin lain termasuk Sinovac.

Pada berita Republika.co.id, Selasa 12 Januari 2021, Direktur Umum PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir mengungkapkan sampai saat ini vaksin Pfizer masih dalam proses finalisasi. Ia mengatakan pihak Pfizer menginginkan adanya persetujuan antara Pfizer global dengan pemerintah Indonesia.

"Ada beberapa klausa yang mereka minta diberikan semacam kebebasan atau dilepaskan klaim tuntutan hukum kalau seandainya ada masalah pada saat diberikan program vaksinasi," kata Honesti dalam rapat kerja dengan Komisi IX, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/1).

Sampai saat ini klausa tersebut masih dikomunikasikan dengan pemerintah. "Kita masih kita diskusikan sehingga kita tidak dapat cek kosong saja, bagaimana klausal ini kita negosiasikan dengan Pfizer BioNTech," ujar Honesti saat itu.

Jadi, Indonesia tidak boleh menggugat produsen vaksin COVID-19 jika produk memiliki efek samping bukanlah terkait dengan vaksin produksi Sinovac, melainkan untuk vaksin produksi Pfizer.

Perusahaan farmasi asal Amerika Serikat tersebut meminta Indonesia untuk tidak menuntut jika vaksin memiliki efek samping yang membahayakan.

Untuk memenuhi kebutuhan vaksin COVID-19 dalam negeri, dengan target 181 juta jiwa, pemerintah Indonesia memesan 426 juta dosis, paling banyak dipasok oleh Sinovac yaitu 125 juta dosis.

Dalam berita ini terjadi misinformasi di mana sejumlah pihak mengirim atau membroadcast pesan yang konteksnya tidak lengkap. Misinformasi terjadi ketika individu mereposting atau membagi pesan kepada orang lain yang konteksnya berbeda dari yang sebenarnya.

Informasi bahwa ada perusahaan vaksin meminta Indonesia tidak akan menggugat jika ada efek samping vaksinasi merupakan fakta. Dalam hal ini permintaan produsen vaksin Pfizer. 

Namun jika kemudian informasi ini dinarasikan olah berlaku untuk jenis vaksin produk lain seperti Sinovac buatan China, maka itu tidak benar. 

Pesan dengan narasi yang membingungkan ini beredar karena ada sejumlah individu yang hanya mengcapture judul berita tanpa menguraikan konteksnya dengan benar.

Dewan Pers selalu mengingatkan masyarakat untuk membaca berita sampai tuntas dan tidak berhenti di judul saja. Apalagi, jika judul berita itu merupakan tangkapan foto yang kemudian dikirim kemana mana.

 

 
Berita Terpopuler