Hamas Sambut Berakhirnya Pemerintahan Donald Trump

Hamas menilai Trump menjadi sponsor ekstremisme dan mitra pendudukan Israel

Palestina, Hamas, Fatah
Rep: Kamran Dikarma Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Kelompok Hamas yang mengontrol Jalur Gaza menyambut berakhirnya masa pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Menurutnya, Trump telah menjadi sponsor ekstremisme dan mitra pendudukan Israel atas Palestina.

Baca Juga

"Tidak ada penyesalan atas kepergian Trump, karena dia telah menjadi sumber dan sponsor terbesar ketidakadilan, kekerasan dan ekstremisme di dunia serta mitra langsung pendudukan Israel dalam agresi terhadap rakyat kami," kata juru bicara Hamas Fawzi Barhoum pada Rabu (20/1).

Menurutnya, saat ini Joe Biden selaku pengganti Trump memiliki tanggung jawab untuk mengubah kebijakan di kawasan Timur Tengah, termasuk terkait konflik Israel-Palestina. "Presiden AS Joe Biden harus membalikkan arah kebijakan yang salah dan tidak adil terhadap rakyat kami, serta meletakkan dasar untuk keamanan dan stabilitas di kawasan," ujar Barhoum.

Selama masa pemerintahan Trump, peluang Palestina untuk dapat menjadi negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya kian tergerus. Pada Desember 2017, Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. AS menjadi negara pertama yang mengambil keputusan demikian.

Pada Mei 2018, AS merelokasi kedutaan besarnya untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Langkah itu menuai kecaman keras dari rakyat Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

 

Sebelum 2018 berakhir, pemerintahan Trump memutuskan menghentikan pendanaan rutin untuk Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Keputusan itu seketika menyebabkan UNRWA dilanda krisis keuangan. AS merupakan penyandang dana terbesar UNRWA dengan kontribusi rata-rata 300 juta dolar AS per tahun.

Tak hanya itu pemerintahan Trump pun menghentikan bantuan United States Agency for International Development (USAID) untuk Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Langkah-langkah itu dipandang secara luas sebagai cara untuk menekan kepemimpinan agar bersedia terlibat dalam pembicaraan damai dengan Israel.

Setelah AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Palestina memang mundur dari perundingan damai yang dimediasi Washington. AS dianggap sudah tidak lagi menjadi mediator yang netral karena memihak pada kepentingan politik Israel. 

 
Berita Terpopuler