Respons Komnas HAM untuk Muhammadiyah Soal Kasus Laskar FPI

Muhammadiyah menilai penyelidikan Komnas HAM di kasus laskar FPI terkesan tak tuntas.

Antara/Nova Wahyudi
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik.
Rep: Dian Fath Risalah Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik menyatakan, menghormati masukan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah agar Komnas HAM mengungkap fakta kasus penembakan terhadap enam anggota Front Pembela Islam (FPI). Sebelumnya, PP Muhammadiyah menilai penyelidikan Komnas HAM terkesan tidak tuntas.

"Menurut kami, masukan PP Muhammadiyah sangat berharga. Kami, sebagaimana juga diinginkan PP Muhammadiyah, meminta Presiden untuk menindaklanjuti keempat rekomendasi kami tersebut," kata Taufan kepada Republika, Selasa (19/1).

Terkait dengan permintaan PP Muhamadiyah agar Komnas HAM mendalami berbagai temuan, lanjut Taufan, Komnas HAM sudah melakukan penyelidikan yang mendalam.

Baca Juga

"Kami hati-hati dengan membangun konstruksi perkara ini secara kronologi, didukung data-data yang kami kumpulkan, juga keterangan saksi baik dari pihak FPI, pihak kepolisian, saksi lapangan dan keterangan ahli. Kami sudah menggambarkan pula bagaimana secara kronologi peristiwa ini terjadi sehingga kami jatuh pada kesimpulan bahwa pelanggaran terjadi pada tewasnya empat laskar FPI yang notabene sudah dalam penguasaan polisi sementara dua lainnya tewas dalam peristiwa saling serempetan dan tembak-menembak di antara kedua belah pihak," tutur Taufan.

Untuk kasus tewasnya empat laskar FPI yang berada di bawah kekuasaan/kontrol aparat tersebut, sambung Taufan,  Komnas HAM menyimpulkan bawah ada indikasi adanya tindakan unlawful killing.
Meski, petugas Kepolisian menyampaikan alasan bahwa penembakan tersebut didahului perlawanan keempat laskar tersebut.

Meski di dalam rilis resmi PP Muhammadiyah tidak menyebutkan usulan tentang pengadilan HAM yang berat, secara lisan hal ini disebutkan oleh pengurus yang ikut dalam konferensi pers. Usulan itu dinilai aneh oleh Taufan.

"Agak aneh usulan soal HAM berat tersebut, sebab di satu sisi PP Muhammadiyah justru mendukung rekomendasi Komnas HAM untuk peradilan pidana, yang berarti sependapat dengan kami bahwa ini bukan termasuk kategori pelanggaran HAM yang berat," ujar Taufan.

Bahkan, sambung Taufan, pihaknya sudah menjelaskan di dalam berbagai keterangan pers bahwa unsur-unsur untuk dinyatakan sebagai pelanggaran HAM yang berat tidak terpenuhi dalam kasus ini. Merujuk UU 26 tahun 2000, mau pun merujuk kepada Statuta Roma, maka setidaknya mesti ditemukan beberapa unsur antara lain, adanya desain operasi berdasarkan kebijakan lembaga atau instansi atau negara dengan tujuan pembunuhan atau serangan terhadap orang sipil tersebut.

"Temuan kami operasi ini adalah penguntitan (surveillance) dan bila dilihat dari kronologi peristiwa lebih merupakan satu peristiwa tindak kekerasan berupa penembakan yang terjadi karena adanya pergesekan antara laskar FPI dan petugas polisi yang ditandai dengan saling serempet, kemudian terjadi tembak-menembak sehingga tidak mengindikasikan 'penyerangan yang disiapkan secara sistematis dan tersetruktur'," jelas Taufan.



 

Khusus untuk kasus tewasnya empat laskar FPI, kata Taufan, Komnas HAM meminta ditindaklanjuti ke peradilan pidana. Peradilan pidana menyangkut tindakan unlawful killing bukan lah suatu kasus pidana yang ringan, sehingga yang dibutuhkan nantinya adalah keseriusan penegakan hukum atas kasus ini.

"Itulah sebabnya kami menyampaikannya kepada Presiden untuk mendapatkan perhatian serius. Unlawful killing dapat dikategorikan sebagai serious crime sementara HAM yang berat sesuai standar internasional dimasukkan ke dalam kategori the most serious crimes," terang Taufan lagi.

"Kami juga perlu meluruskan pandangan mengapa kami menyampaikan laporan kepada Presiden. Mekanisme itu sesuai dengan pasal 97 UU 39 tahun 1999. Dengan begitu, adalah tidak berdasar bila menyebut penyampaian laporan ke Presiden sebagai pelanggaran etik Komnas HAM," ujar Taufan, menambahkan.

Dikonfirmasi terpisah, Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menilai tugas dan wewenang Komnas HAM dalam penyelidikan tersebut sudah tuntas sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh UU 39/1999.

"Hanya memang masih ada beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum agar tuntas dan diproses di pengadilan," kata Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara kepada Republika, Selasa (19/1).

Lebih lanjut Beka menerangkan, dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, bila satu kasus dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM, maka prosesnya dilanjutkan oleh Jaksa Agung sebagai penyidik. "Jadi bukan di Kepolisian, " ucap Beka.

"Karena sudah dinyatakan ada pelanggaran HAM oleh Komnas HAM, kami minta ditindaklanjuti oleh Kepolisian dibawah supervisi Presiden supaya proses dilanjutkan di proses pengadilan pidana," tambah Beka.

Pada Senin (17/1), PP Muhammadiyah Bidang Hikmah dan Kebijakan Publik dan Hukum dan HAM menyatakan sikap terkait empat rekomendasi Komnas HAM terkait kematian enam laskar FPI. Muhammadiyah mendukung Komnas HAM agar kasus tersebut dilanjutkan ke ranah pengadilan pidana, sebab menurutnya pembunuhan terhadap empat laskar FPI bukan hanya pelanggaran HAM biasa melainkan pelanggaran HAM berat

PP Muhamadiyah menilai tugas penyelidikan yang telah berjalan terkesan tidak tuntas dalam pengungkapannya termasuk pengungkapan aktor intelektual di balik penembakan tersebut. Oleh karenanya, PP Muhammadiyah meminta Presiden Joko Widodo selaku kepala negara dan kepala pemerintahan untuk memberikan perintah secara tegas kepada pihak yang berwenang untuk mengungkap aktor intelektual di balik penembakan tersebut.

Tujuh Poin SKB Pelarangan FPI - (Infografis Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler