Kritik Tegas untuk Perpres RAN PE

Implementasi Perpres RAN PE berpotensi timbulkan konflik sosial di masyarakat.

ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA
Pasukan Brimob Mabes Polri melakukan penyergapan saat simulasi penanganan ancaman bom dan serangan terorisme di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Lebak Bulus, Jakarta, Rabu (16/12/2020). Perpres nomor 7 Nomor 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) perlu didefinisikan dengan matang hindari bias makna di publik.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Ronggo Astungkoro

Peraturan Presiden (Perpres) nomor 7 Nomor 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) menuai kontra. Pemerintah pun diminta memperjelas makna ekstremisme dalam aturan tersebut.

Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA), Fadhli Harahab, mengatakan salah satu klausul Perpres menyebut pemerintah akan melatih masyarakat soal pelaporan terhadap dugaan adanya ekstremisme yang mengarah pada aksi terorisme (Polmas). Ia mengingatkan dampak negatif yang bisa saja muncul dari rencana tersebut.

"Bahaya kalau pemerintah tidak bisa mendefinisikan dan menjelaskan kepada masyarakat. Bias pemaknaan itu bisa saja menimbulkan paham yang menyudutkan golongan tertentu. Bisa jadi orang yang kritis terhadap pemerintah dilaporakan dengan tuduhan tersebut," kata Fadhli dalam keterangan resmi yang diterima Republika pada Selasa (19/1).

Menurutnya, pemerintah harus bisa menjelaskan pemaknaan ekstremisme secara gamblang. Tujuannya agar tidak menimbulkan bias makna bagi masyarakat.

"Apalagi kalau menyangkut identitas tertentu. Misalnya, ada orang bercelana cingkrang, jarang bergaul, kritis pula terhadap pemerintah. Padahal tidak demikian (ekstremis)," ujar Fadhli.

Fadhli justru menyinggung kehadiran ekstrem kiri. Mereka menebar kekerasan verbal terhadap kelompok tertentu yang berpotensi pada aksi terorisme.

"Vandalisme rumah ibadah atau bullying umat beragama, itu juga ekstremisme yang bisa juga berdampak pada aksi terorisme," ucap Fadhli.

Fadhli meragukan mekanisme pelaporan dari masyarakat bakal berjalan efektif. Ia menilai pengetahuan masyarakat soal wawasan intelejen terbilang minim hingga bisa mengakibatkan kesalahan fatal dalam pelaporan. "Saya pikir kalau itu terjadi, bukan tidak mungkin justru akan mengakibatkan konflik sosial baru," ungkap Fadhli.

Partisipasi masyarakat juga menjadi perhatian peneliti Institute for Scurity and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi. Dia khawatir hal tersebut dapat meningkatkan potensi konflik horizontal di tengah masyarakat.

"Jika rambu-rambunya tak disiapkan dan disosialisasikan dengan baik, ada kekhawatiran hal ini akan meningkatkan potensi konflik horizontal dan pelanggaran hak asasi manusia," kata Fahmi kepada Republika.

Dia menerangkan, potensi konflik horizontal pelanggaran hak asasi manusia itu dapat terjadi melalui sejumlah hal. Hal tersebut, di antaranya praktik-praktik intoleransi baru, persekusi, bahkan kekerasan berbasis penistaan atau istilahnya blasphemy based violence di tengah masyarakat.

"Apalagi dengan telah diakomodirnya berbagai bentuk sistem pengamanan lingkungan swakarsa," kata dia. Dalam Perpres tentang RAN PE, salah satu rencana aksinya adalah membangun sebuah sistem deteksi dini dan respons cepat masyarakat dalam hal keamanan lingkungan.

"Sayangnya, yang menonjol adalah soal pemolisian masyarakat dan bagaimana mendorong masyarakat agar mau dan sigap melapor jika di wilayahnya terdapat situasi dan kondisi yang mengarah pada ekstremisme berbasis kekerasan," kata dia.

Perpres juga dinilai mencampuradukkan ekstremisme dengan radikalisme. Sebab sejumlah agenda dalam aturan tentang RAN PE mengarah pada terorisme menggunakan diksi terkait radikalisme.

"Perpres tersebut membeberkan sejumlah rencana aksi. Namun jika dilihat, ada sejumlah agenda, terutama yang digelar oleh BNPT, menggunakan diksi yang terkait dengan radikalisme yaitu kontraradikalisasi dan deradikalisasi," sambung Fahmi.

Meski sama-sama bisa menghadirkan berbagai bentuk kekerasan, ekstremisme dan radikalisme adalah dua hal yang sangat berbeda. Semestinya, kata dia, dua hal itu tidak dicampuradukkan satu sama lain. Dengan pencampuradukkan tersebut, maka berpotensi mengakibatkan tidak tercapainya itikad baik dan tujuan dari hadirnya Perpres itu.

Kondisi campur aduk tersebut ia nilai menjadi salah satu kelemahan Perpres tersebut. Hal tersebut ia katakan mnunjukkan belum tercapainya kesepahaman di antara para pemangku penanggulangan terorisme. Padahal istilah ekstremisme yang baru yang diperkenalkan pada publik dalam ranah pemberantasan terorisme ini cukup patut diapresiasi. "Bahkan ada yang masih ngotot merujuk pada diksi radikalisme yang oleh banyak ahli disebut tak punya cukup pijakan ilmiah," kata dua.





Baca Juga

Anggota Komisi III DPR, Jazilul Fawaid, menekankan implementasi Perpres RAN PE menaati prosedur demi mencegah penyalahgunaan. Pria yang akrab disapa Gus Jazil itu sebenarnya mendukung Perpres tersebut demi terciptanya persatuan dan kerukunan.

Ia berharap aturan yang baru saja diteken Presiden Joko Widodo itu mencegah lahirnya pikiran dan aksi ekstremis yang dapat memecah belah kedaulatan negara. "Tentu efektivitas pelaksanaan Perpres ini harus kita kontrol bersama agar terhindar dari abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), tidak menyalahi dan melebihi kewenangannya sehingga tidak menabrak demokrasi dan HAM," kata Gus Jazil pada Republika.

Gus Jazil yang sekaligus menjabat Wakil Ketua MPR berkomitmen memantau implementasi Perpres RAN PE agar tak melenceng dari tujuannya. Selain unsur DPR, ia mengajak masyarakat melakukan tugas pemantauan dan melaporkan jika terjadi penyalahgunaan kekuasaan.

Selain itu, Gus Jazil menekankan supaya pemerintah tak menyalahgunakan Perpres RAN PE guna mengekang kebebasan berpendapat masyarakat. Ia meyakini pemerintah bisa memilah pihak mana saja yang berpotensi menyulut kekerasan dan terorisme.

"Perpres ini tetap harus memberikan ruang bagi pikiran kritis untuk tetap berkembang hidup, sebab yang dicegah itu pikiran ekstrem yang menyulut aksi kekerasan dan teror," ucap Waketum Partai Kebangkitan Bangsa itu.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang RAN PE berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Dasar dikeluarkannya Perpres tersebut sebagaimana tercantum dalam Perpres yang diunggah di laman jdih.setkab.go.id yang dikutip di Jakarta, Ahad (17/1) yakni, menimbang:

a. Bahwa seiring dengan semakin meningkatnya ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di lndonesia, telah menciptakan kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional.

b. Bahwa dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, diperlukan suatu strategi komprehensif, untuk memastikan langkah yang sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan;

c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.

Dalam lampiran Perpres dijelaskan berdasarkan pertimbangan tersebut, RAN PE akan diwujudkan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1. Koordinasi antarkementerian/lembaga (KlL) dalam rangka mencegah dan menanggulangi Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme;

2. Partisipasi dan sinergitas pelaksanaan program-program pencegahan dan penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme, yang dilakukan baik oleh K/L, masyarakat sipil, maupun mitra lainnya;

3. Kapasitas (pembinaan kemampuan) sumber daya manusia di bidang pencegahan dan penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme;

4. Pengawasan, deteksi dini, dan cegah dini terhadap tindakan dan pesan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme; dan

5. Perhatian terhadap para korban tindak pidana Terorisme dan pelindungan infrastruktur serta objek vital (critical infrastructures) lainnya.

Sementara sasaran Perpres ini secara khusus adalah:

1. Meningkatkan koordinasi antar-kementerian/lembaga (K/L) dalam rangka mencegah dan menanggulangi Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme terkait program yang dituangkan dalam Pilar RAN PE;

2. Meningkatkan partisipasi dan sinergitas pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme, yang dilakukan baik oleh kementerian/lembaga, pemerintah daerah, masyarakat sipil, maupun mitra lainnya;

3. Mengembangkan instrumen dan sistem pendataan dan pemantauan untuk mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme;

4. Meningkatkan kapasitas aparatur dan infrastruktur secara sistematis dan berkelanjutan, untuk mendukung program-program pencegahan dan penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme;

5. Meningkatkan kerja sama internasional, baik melalui kerja sama bilateral, regional, maupun multilateral, dalam pencegahan dan penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.

Dalam lampiran juga disebutkan adanya permasalahan yakni perlunya optimalisasi peran pemolisian masyarakat dalam pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.

Untuk menyikapi hal tersebut melalui Perpres RAN PE ini akan dilakukan Pelatihan pemolisian masyarakat yang mendukung upaya pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada terorisme. Selain itu juga sosialisasi dan promosi pemolisian masyarakat sebagai upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.


 
Berita Terpopuler