Surplus Jumbo Neraca Dagang Gambarkan Kerapuhan Ekonomi RI

Kinerja ekspor Indonesia mencatatkan kontraksi tipis.

Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah kapal membawa peti kemas bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta (ilustrasi). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan, neraca perdagangan Indonesia sepanjang tahun 2020 mengalami surplus 21,74 miliar dolar AS. Republika/Putra M. Akbar
Rep: Adinda Pryanka Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebutkan, surplus neraca perdagangan tahun lalu yang mencapai 21,74 miliar dolar AS bukanlah sebuah prestasi. Justru, surplus yang disebut Yusuf sebagai surplus jumbo itu menggambarkan kerapuhan ekonomi Indonesia.

Baca Juga

Salah satu indikatornya, Yusuf menyebutkan, penurunan impor bahan baku/ penolong sebesar 18,32 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. "Ini indikator yang kurang baik bagi perkembangan industri manufaktur dalam negeri yang tergantung pada impor bahan baku," tuturnya saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (15/1).

Tidak hanya bahan baku, barang-barang modal juga mengalami penurunan nilai impor. Kontraksinya mencapai 16,73 persen menjadi 23,70 miliar dolar AS. Sementara, penyusutan impor barang konsumsi lebih landai, yakni 10,93 persen, menjadi 14,66 miliar dolar AS.

Secara keseluruhan, kinerja impor sepanjang 2020 sebesar 141,57 miliar dolar AS, turun 17,34 persen. Penurunan inilah yang menyebabkan surplus perdagangan tahun lalu terbilang besar, bahkan nilainya tertinggi sejak sembilan tahun terakhir.

"Surplus jumbo di tahun 2020 ini akibat ‘dibantu’ penurunan impor yang jauh lebih dalam dibandingkan penurunan pertumbuhan ekspor," ucap Yusuf.

Sementara itu kinerja ekspor mencatatkan kontraksi, meski tipis. Penurunannya hanya 2,61 persen menjadi 163,31 miliar dolar AS. Penyusutan terdalam terjadi pada sektor pertambangan dan lainnya yang turun 20,70 persen akibat penurunan jumlah permintaan dari negara lain sekaligus harga komoditas.

Tapi, Yusuf memproyeksikan, kondisi neraca dagang pada tahun ini akan lebih baik seiring dengan pemulihan ekonomi global. Khususnya perbaikan ekonomi negara tujuan ekspor utama Indonesia seperti China, Amerika Serikat (AS), ASEAN, Jepang hingga India. Kondisi ini tentu berpotensi mendorong meningkatnya ekspor dari Indonesia.

Yusuf menambahkan, pemulihan ekonomi di China dan India bahkan berpotensi menggerek harga komoditas ekspor utama Indonesia seperti sawit dan batubara. "Jadi, bukan saja volume yang meningkat, tapi juga secara harga akan meningkat," katanya.

Di sisi lain, beberapa perjanjian perdagangan juga sudah mulai berlaku pada tahun ini. Misalnya, perjanjian dengan Korea Selatan yang berpotensi menambah laju ekspor. Oleh karena itu, Yusuf memperkirakan, potensi ekspor untuk surplus masih ada.

Namun demikian, Yusuf menekankan, pemerintah tetap harus memperhatikan kinerja impor yang berpotensi meningkat di tahun ini. Sebab, proyeksi perbaikan ekonomi di dalam negeri dan pembangunan infrastruktur yang kembali akan digencarkan kembali pada 2021 akan mendorong impor bahan baku industri, barang modal maupun konsumsi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan, neraca perdagangan Indonesia sepanjang tahun lalu mengalami surplus 21,74 miliar dolar AS. Surplus ini mencatatkan rekor tertinggi selama sembilan tahun terakhir.

Ketua BPS Suhariyanto mengatakan, surplus yang tinggi pada tahun lalu merupakan tertinggi sejak 2011. "Saat itu, neraca kita surplus 26,06 miliar dolar AS," tuturnya dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (15/1).

 
Berita Terpopuler