Banjir di Sumedang Akibat Masifnya Alih Fungsi Lahan

Pengerukan dan buruknya darinasi juga jadi penyebab banjir Jatinangor dan Rancaekek.

Antara/Novrian Arbi
Pakar hidrologi Universitas Padjadjaran Prof Chay Asdak mengungkap penyebab terjadinya banjir di Jatinangor, Rancaekek, dan sebagian Cicalengka saat hujan melanda beberapa hari terakhir. Alih fungsi lahan hingga pengerukan menjadi penyebab banjir di wilayah itu.
Rep: Arie Lukihardianti Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pakar hidrologi Universitas Padjadjaran Prof Chay Asdak mengungkap penyebab terjadinya banjir di Jatinangor, Rancaekek, dan sebagian Cicalengka saat hujan melanda beberapa hari terakhir. Alih fungsi lahan hingga pengerukan menjadi penyebab banjir di wilayah itu.

Menurut Chay, ada sejumlah persoalan yang menjadikan banjir kerap menggenangi wilayah tersebut saat hujan tiba. Persoalan pertama adalah adanya alih fungsi lahan di kawasan Gunung Geulis, sebelah timur Jatinangor.

“Sisi timur Gunung Geulis itu kan sudah terjadi alih fungsi lahan secara masif, tanaman menyerupai hutan sekarang sudah berubah menjadi permukiman,” ungkap Prof Chay saat diwawancarai via telepon, Rabu (13/1).

Tidak hanya itu, di lereng timur Gunung Geulis juga banyak dilakukan pengerukan pasir, sehingga hal ini meningkatkan run off aliran air ke permukaan yang lebih rendah. Praktis, kawasan Jatinangor dan Rancaekek yang notabene berada di bawah menjadi 'korban' gelontoran air dari gunung-gunung yang sudah rusak tersebut.

Tergerusnya area persawahan menjadi permukiman turut menjadi masalah. Padahal, kata Prof Chay, persawahan setidaknya menjadi area 'parkir air; saat hujan turun, sehingga air tidak akan meluber hebat ke wilayah di bawahnya.

"Sayangnya, jumlah area pesawahan di wilayah ini terus menyusut oleh permukiman dan industri," katanya.

Persoalan kedua, menurut Guru Besar bidang ilmu pengelolaan daerah aliran sungai Fakultas Teknologi Industri Pertanian Unpad ini, banjir di Jatinangor dan Rancaekek diakibatkan sarana drainase yang tidak memadai. Seluruh jalan di kawasan tersebut banyak yang tidak disertai dengan sarana drainase di bahu jalan.

“Jadi mudah dimengerti ketika gelontoran air yang besar dari atas timur tadi, kalau drainasenya tidak baik, jalan akan menjadi sungai,” katanya.

 

Persoalan ketiga adalah pendangkalan dan penyempitan sungai di kawasan tersebut. Prof Chay mengatakan, sungai di Jatinangor dan Rancaekek mengalami pendangkalan akibat sedimentasi erosi, lumpur, dan sampah.

“Jangankan di Jatinangor, Kota Bandung saja yang infrastruktur dan monitoring sampahnya lebih baik, tetap masih jadi persoalan saat hujan,” katanya.

Terkait adanya proyek pembangunan jalan tol di kawasan Jatinangor, Prof Chay berpendapat perlu juga melihat apakah proyek tol mengganggu sistem drainase atau tidak. “(Proyek tol) tidak ada masalah asal drainasenya juga sesuai,” katanya

Prof Chay menilai, mengatasi persoalan tersebut butuh kesadaran berbagai pihak. Tidak hanya menjadi tugas pemerintah, masyarakat pun diminta lebih sadar untuk tidak membuang sungai ke wilayah sungai.

Dari sisi birokrasi, kata dia, masalah banjir di Jatinangor dan Rancaekek menjadi tanggung jawab dari berbagai wilayah administrasi. Karena itu, Prof Chay meminta tiga wilayah administrasi, yaitu Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung, dan Kota Bandung dapat bekerja sama menangani permasalahan banjir ini.

 

“Provinsi juga harus mengatur. Ini yang belum pernah kita dengar,” katanya.

 
Berita Terpopuler