Politik Uang Masih Marak di Pilkada 2020

Pilkada 2020 tetap marak dengan politik uang

Dok, Polres Bone Bolango
Polres Bone Bolango, Polda Gorontalo bersama TNI membubarkan massa pendukung di rumah paslon pilkada.
Rep: Fauziah Mursid Red: Muhammad Subarkah

IHRAM.CO.ID, JAKARTA--Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menyebut alasan masih maraknya politik uang dalam Pilkada 2020 karena cukup berpengaruhnya dalam menentukan pilihan.

Hal itu disampaikan Djayadi, menyusul temuan survei LSI mengenai politik uang di Pilkada maupun sikap masyarakat terhadap dalam Pemilu selama ini.

Berdasarkan 17 persen responden yang mengaku ditawari politik uang di Pilkada, 36 persennya mengaku tawaran tersebut berpengaruh kepada pilihan mereka.

"Cukup tinggi pengaruh dari tawaran uang itu maka itu mungkin yang menjadi salah satu alasan mengapa politik uang tetap marak di Pilkada kali ini," ungkap Djayadi dalam paparannya saat merilis hasil survei secara daring, Ahad (10/1).

Djayadi mengatakan, dari pengakuan responden yang pernah melihat tetangganya ditawari politik uang juga jumlahnya lebih besar yakni 20 persen. Ia menjelaskan, 40 persen juga responden meyakini jika politik uang di Pilkada 2020 berpengaruh terhadap pilihan masyarakat saat pemungutan suara 9 Desember lalu.

Angka ini sedikit lebih tinggi dari pengaruh politik uang berdasarkan pengakuan pribadi untuk menentukan pilihannya yakni 36 persen.

Djayadi mengatakan, pengaruh politik uang kepada pilihan seseorang juga sejalan dengan temuan LSI tentang 30 persen responden yang menilai pemberian suap atau gratifikasi hal yang wajar dalam pemilihan. Sekitar 30 persen responden kata Djayadi, juga menyebut hal itu berpengaruh terhadap perilaku memilih mereka.

"Diantara yang menjawab politik uang wajar, itu ada sekitar 30 persen kalau digabungkan akan menerima dam memilih calon yang memberi uang atau hadiah dan akan menerima dan memilih calon yang memberi lebih banyak," ungkapnya.

 
 


Sebelumnya, Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis survei tentang Pilkada dan Politik Uang di masa Wabah Covid-19 menemukan ada sekitar 17 persen masyarakat yang mengaku ditawari uang atau barang untuk mempengaruhi pilihannya di Pilkada 9 Desember lalu.
 
Djayadi menjelaskan, responden yang mengaku ditawari politik uang ini lebih banyak di kalangan etnis Melayu. Sedangkan dari segi pendidikan, responden yang paling banyak ditawari uang atau atau barang cenderung lebih banyak di kalangan yang berpendidikan menengah ke bawah.
 
 
Hal ini kata Djayadi, sesuai fenomena tingkat toleransi masyarakat terhadap politik uang yang lebih banyak di kalangan yang berpendidikan menengah ke bawah. Kemudian juga politik uang menyasar di kalangan yang secara pendapatan di kalangan kelas menengah ke bawah dan kalangan pedesaan 
 
"Fenomena politik uang lebih banyak menyasar kalangan bawah, baik dari segi pendidikan dari segi kelas sosial, pendapatan, dan dari segi tempat tinggal desa dan kota," ungkap Djayadi.
 
Sedangkan, temuan lainnya, responden yang mengaku pernah melihat tetangganya ditawari politik uang jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan yang menyatakan dirinya pernah ditawari uang atau barang dalam pilkada 2020.
 
"Ada 20 persen masyarakat yang mengaku melihat atau mengetahui tetangganya ditawari uang atau barang dari calon tertentu dan yang paling banyak ditawarkan itu bentuknya uang dan sembako," ungkap Djayadi.
 
Survei LSI dilakukan dengan metodologi menggunakan telepon ke 2000 responden yang dipilih acak dari database nomor telepon LSI. Adapun database itu diperoleh dari survei face to face bertemu langsung responden dlam berbagai survei beberapa waktu terakhir.
 
Survei menggunakan asumsi metode simple random sampling ukuran sampai 2000 responden memiliki toleransi kesalahan sekitar 2,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
 
 
 

 
Berita Terpopuler