Mempertanyakan Efektivitas Kebiri Kimia

Perlu kajian teliti sebelum memvonis kebiri kimia ke pelaku kekerasan seksual anak.

Reuters
Hukuman kebiri kimia ini sudah diadopsi beberapa negara di dunia, seperti Korea Selatan, Rusia, dan Polandia. Penerapan kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual anak kini sudah dimasukkan dalam PP Nomor 70 Tahun 2020.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Adysha Citra Ramadani, Antara

Hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak menuai pro dan kontra. Pasalnya kebiri kimia dinilai tidak efektif secara jangka panjang.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Sandra Moniaga menyebut, hukuman kebiri kimia sebagai bentuk penyiksaan dan pelanggaran prinsip HAM. "Kami berpendapat bahwa kebiri kimia merupakan salah satu bentuk penyiksaan yang tidak seusai dengan prinsip hak asasi manusia," kata Sandra kepada Republika, Selasa (5/1).

Komnas HAM menilai, perlu ada pengkajian ulang atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2015 tentang Perlindungan Anak, dan PP Nomor 70 Tahun 2020 tersebut. Meskipun demikian, Komnas HAM mengapresiasi pemerintah yang telah mempertimbangkan aspek lain dalam PP tersebut.

"Sebaiknya (pengkajian ulang). Tetapi kami apresiasi aspek lain PP 77/2020 yang diatur seperti publikasi nama pelaku dan lain lain, " ujarnya.

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, menuturkan, sejak awal Komnas HAM berbeda pandangan dengan usulan hukum tambahan kebiri kimiawi tersebut. Meski, lanjut Taufan, pelaku kejahatan seksual terutama kepada anak-anak adalah kejahatan yang serius karena tidak saja menyakiti anak yang jadi korban, tetapi juga menghancurkan masa depan mereka. Namun, penghukuman seperti ini bertentangan dengan filosofi dan maksud pemidanaan yang tujuannya untuk mencegah dan merehabilitasi pelaku kriminal.

"Hukuman pidana tidak dimaksudkan sebagai sarana balas dendam, kekejaman tidak perlu dibalas dengan kekejaman, begitu lah ciri hidup peradaban masyarakat modern, " tuturnya.

Indonesia bahkan sudah memasukkan prinsip bahwa setiap orang tidak tidak boleh mengalami penyiksaan (pasal 28G ayat 2 UUD 1945), juga di dalam paal 33 ayat 1 UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang bunyinya, “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaanya.”

Indonesia juga telah meratifikasi aturan Konvensi yang Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia sebagaimana telah diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam Resolusinya No. 39/46 tanggal 10 Desember 1984 dan mulai diberlakukan tanggal 26 Juni 1987. Pada Pasal 7 dalam Kovenan ini mengatur dengan sangat jelas konsern tentang perlindungan manusia dari ancaman penyiksaan yang dilakukan pihak lain. “Tidak seorangpun boleh dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabatnya, khususnya tidak seorangpun, tanpa persetujuannya secara sukarela dapat dijadikan eksperimen medis atau ilmiah.”

"Jadi, norma hak asasi manusia untuk tidak melakukan penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi sudah menjadi bagian dari norma hukum Indonesia," ujarnya.

Meski Komnas HAM sangat menolak kekerasan seksual, namun norma dan prinsip HAM harus dijadikan pegangan bersama di dalam menyusun dan menerapkan hukum. Taufan juga menekankan tidak ada bukti ilmiah bahwa penerapan kebiri kimia akan menyelesaikan masalah kekerasan seksual.

"Khususnya terhadap anak-anak. Kita mesti menyiapkan berbagai strategi lain untuk mengatasi masalah ini yang terus meningkat tiap tahun dan kompleksitas masalahnya juga makin tinggi, " ujarnya.

Namun, karena Perpu tentang penerapan kebiri sudah menjadi UU 17 2016 di mana hukuman tambahan kebiri kimia, penggunaan alat deteksi dan rehabilitasi sudah menjadi bagian dari norma hukum kita, maka PP ini adalah pengejawantahan dari UU tersebut.

"Saya meminta penggunaan PP ini mesti sangat-sangat terbatas, harus melalui kajian yang teliti untuk tidak sembarang digunakan kepada pelaku, juga membutuhkan pengawasan yang ketat dalam rangka mengurangi dampak medis mau pun psikologis yang oleh para ahli sudah sangat diwanti-wanti terutama dari IDI dan profesi medis dan psikologis lainnya," tegasnya.

Ia pun mencontohkan kasus Allan Turing di Inggris yang setelah dikebiri kimia, menimbulkan dampak psikologis yakni melakukan bunuh diri. Sehingga Inggris kemudian tidak lagi menggunakan hukuman ini. "Ini perlu menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam penerapan PP tersebut," tegas Taufan.

"Penerapan PP ini kalau dilihat pasal-pasalnya juga memuat tentang penggunaan alat deteksi elektronik dan rehabilitasi. Usul saya sebaiknya penerapan PP tersebut harus di dalam kerangka rehabilitasi," tambahnya.

Taufan menambahkan, ada satu hal yang masih kurang diperhatikan, yakni perlakuan rehabilitasi serius kepada korban khususnya anak. "Tidak ada PP khusus tentang itu, padahal pemulihan korban jangka pendek dan jangka panjang sangat dibutuhkan, " tegasnya.


Baca Juga

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai hukuman kebiri kimia adalah aturan yang bersifat populis. Sampai saat ini komitmen pemerintah untuk penanganan korban masih minim dan cenderung mundur.

"Tidak lengkapnya peraturan mengenai korban kekerasan seksual dan anggaran lembaga yang menangani korban seperti LPSK yang terus dipangkas adalah contoh sederhana," ujar Erasmus A.T. Napitupulu selaku Direktur Eksekutif ICJR.

Erasmus mengatakan, sedari awal ICJR tekankan, mekanisme kebiri sebagai intervensi kesehatan tidak bisa berbasis hukuman seperti apa yang dimuat dalam UU Nomor 17/2016. Bahkan, sampai detik ini, efektivitas kebiri kimia dengan penekanan angka kekerasan seksual juga belum terbukti.

"Maka jelas pelaksanaannnya yang melibatkan profesi yang harus melakukan tindakan berdasarkan kondisi klinis dan berbasis ilmiah akan bermasalah," tuturnya.

Bahkan, dalam PP tidak dijelaskan aspek apa saja yang harus dipertimbangkan. PP ini juga melempar ketentuan mengenai penilaian, kesimpulan dan pelaksanaan yang bersifat klinis pada aturan yang lebih rendah.
Selain itu, lanjut Erasmus, dalam PP tersebut memuat banyak permasalahan karena tidak detail dan memberikan keterangan yang jelas.

"Misalnya bagaimana mekanisme pengawasan, pelaksanaan dan pendanaan. Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali? Penyusun seakan-akan menghindari mekanisme yang lebih tehknis karena kebingungan dalam pengaturannya, " ujarnya.

Lebih lanjut Erasmus menuturkam, dalam kritik yang disusun ICJR, KPI, Ecpat dan Mappi FH UI pada 2016, sedari awal ide tindakan kebiri dicetuskan, telah terbukti dalam praktik di negara lain bahwa menyiapkan dan membangun sistem perawatan kebiri kimia  yang tepat membutuhkan banyak sumber daya dan mahal. Sampai dengan saat ini, pihak pemerintah dan kementerian-kementerian terkait pun tidak pernah memberikan penjelasan mengenai gambaran pendanaan yang harus disediakan untuk menerapkan sistem yang mahal ini.

"Terlebih sistem ini tidak sesuai dengan pendekatan kesehatan. Dari proyeksi yang bisa dilakukan, maka anggaran yang dikeluarkan tidak akan sedikit, karena selain pelaksanaan kebiri kimia, akan ada anggaran untuk rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik bagi terpidana kebiri kimia," tegasnya.

Fakta ini juga diperparah dengan minimnya anggaran yang disediakan negara untuk perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana. Berdasarkan data anggaran LPSK, ditemukan bahwa sejak 2015 sampai dengan 2019 jumlah layanan yang dibutuhkan korban dan diberikan oleh LPSK terus meningkat, pada 2015 hanya 148 layanan, 2019 menjadi 9.308 layanan, namun anggaran yang diberikan kepada LPSK sejak 2015 sampai dengan 2020 terus mengalami penurunan, bahkan cukup signifikan, anggaran LPSK pada 2015 berjumlah Rp.148 miliar sedangkan pada 2020 anggaran layanan LPSK hanya disediakan Rp 54,5 miliar, padahal kebutuhan korban meningkat.

"Sebagai catatan, pada 2019, anggaran yang terkait dengan layanan terhadap korban hanya sebesar Rp 25 miliar," ucapnya.

Selain anggaran, sampai saat ini, Indonesia belum memiliki pengaturan yang komprehensif dalam satu aturan terkait perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual. ICJR menekankan pentingnya negara mempertimbangkan soal prioritas perlindungan dan pemulihan korban.

"Hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan peningkatan anggaran lembaga yang bertugas pada pelayanan pemulihan dan perlindungan korban, serta penyusunan aturan atau undang-undang yang secara komprehensif mengatur perlindungan dan pemenuhan korban," tegasnya.

"Wacana seperti RUU Perlindungan dan Pemulihan Korban atau RUU Penghapusan Kekersan Seksual yang berbasis pemulihan korban sudah harus mulai dicanangkan dan dibahas. Untuk Pemerintah, cukupkan lah fokus pada kebijakan yang hanya bersifat populis seperti kebiri, saatnya beralih pada mekenisme perlindungan dan pemulihan korban," tambahnya.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Pendidikan Retno Listyarti menilai tindakan kebiri kimia tidak akan efektif dilakukan jika motif pelaku kejahatan karena faktor psikologis, bukan dorongan libido atau hormon dalam tubuhnya. Retno mencontohkan di Eropa pelaku kejahatan seksual pada anak karena faktor hormon atau libido malah meminta agar dirinya disuntik kimia atau kebiri kimia agar tidak mengulangi perbuatan yang sama.

Ia menyarankan khusus bagi pelaku yang melakukan kejahatan karena faktor psikologis, maka langkah yang tepat ialah merehabilitasi sehingga bisa berdamai dengan masa lalunya dan tidak mengulangi perbuatan. "Jadi tidak ada gunanya suntik kebiri kalau kejahatannya karena faktor psikologis," ujarnya.


Sebenarnya, seperti apa kebiri kimia itu dan apa yang akan dialami oleh orang yang menerimanya? "(Kebiri kimia adalah pemberian) zat kimia yang tujuannya menekan fungsi testosteron atau menghambat fungsi testosteron," jelas dokter spesialis andrologi dr Nugroho Setiawan MS SpAnd saat dihubungi Republika.

Orang yang mendapatkan kebiri kimia akan mengalami keluhan testosterone deficiency syndrome (TDS) atau sindrom defisiensi testosteron. TDS merupakan kondisi di mana tubuh seorang laki-laki tidak memproduksi cukup hormon testosteron.

Orang yang dikebiri kimia, lanjut dr Nugroho, bisa mengalami beberapa gejala seperti gangguan ereksi dan gairah, lemas, mudah capai, dan mudah mengantuk. Selain itu, mereka juga berisiko terhadap beberapa kondisi atau masalah kesehatan.

"Risiko gemuk, tinggi kolesterol, kecing manis (diabetes) tipe dua, tekanan darah tinggi," tambah dr Nugroho.

Hingga saat ini, dr Nugroho mengatakan belum ada petunjuk mengenai zat kimia apa yang akan digunakan dalam proses kebiri kimia. Akan tetapi, mungkin saja yang digunakan adalah golongan obat yang dapat menekan produksi hormon gonadotropine. "Yaitu hormon yang merangsang pembentukan testosteron," jawab dr Nugroho.

Efek dari kebiri kimia dapat mengganggu produksi testosteron seumur hidup bila diberikan dalam jangka panjang. Terlepas dari PP yang baru saja ditandatangani, dr Nugroho mengatakan tindakan kebiri kimia tidak sesuai dengan kode etik kedokteran. "(Kebiri kimia) melanggar kode etik kedokteran," timpal dr Nugroho.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menandatangani PP Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak (PP Kebiri Kimia). Pada Pasal 2 ayat 1 dalam PP tersebut disebutkan bahwa tindakan kebiri kimia, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabiliasi dikenakan terhadap pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Sedangkan pada Pasal 5 disebutkan bahwa tindakan kebiri kimia dikenakan untuk jangka waktu paling lama dua tahun. Pada Pasal 6, disebutkan pula bahwa tindakan kebiri kimia dilakuakn melalui tahapan penilaian klinis, kesimpulan, dan pelaksanaan.

Kantor Staf Kepresidenan menyatakan aturan kebiri kimia merupakan upaya pemerintah merespons kegelisahan publik. Pemerintah menilai PP tentang kebiri kimia menguntungkan masyarakat.

"Ini kan pemerintah sensitif merasakan kegelisahan, merespons berbagai kejadian juga di negara-negara lain serta pandangan publik di Indonesia," ujar Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.

Moeldoko menyampaikan persoalan kekerasan seksual terhadap anak belum mendapat kepastian. PP yang mengatur kebiri, menurutnya, memberikan kepastian agar ada langkah lebih konkret terhadap pelaku pemerkosaan.

"Jadi sebenarnya masyarakat Indonesia sangat diuntungkan dengan PP ini, karena Presiden memberikan kepastian atas upaya non-yudisial yang bisa meredam. Saya kira poinnya di situ," ujar dia. Tambahnya, PP tentang kebiri sangat penting karena semua orang, khususnya anak kecil, harus mendapatkan perlindungan ekstra ketat dari negara.

Anak bermain saat pandemi Covid-19 - (Republika)

 
Berita Terpopuler