Rencana India Tutup 600 Sekolah Islam Picu Protes Publik   

India mengesahkan undang-undang penutupan sekolah Islam

Youtube
India mengesahkan undang-undang penutupan sekolah Islam. Siswa Madrasah di India
Rep: Dea Alvi Soraya/ Ratna Ajeng Tejomukti Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, ASSAM— Pemerintah India meresmikan sebuah undang-undang baru yang berisi keputusan penutupan 600 sekolah Islam di negara bagian Assam di timur laut India.

Baca Juga

Undang-undang yang disahkan pada Rabu (30/12) itu menuai protes dan kritik yang menyebut pemerintah sedang mencoba mempolarisasi masyarakat dan menciptakan ketegangan agama menjelang Pilkada, Maret mendatang.

"Pemerintah secara bertahap membuat Muslim di negara bagian tidak berdaya dengan mengganggu cara hidup kami," ujar Isfaqul Hussain, seorang aktivis yang berbasis di Tezpur, Assam, yang dikutip di Newagebd, Jumat (1/1).

"Pemerintah mencoba untuk mendorong komunitas Muslim ke sudut hanya untuk mempolarisasi masyarakat dan memenangkan kepercayaan dari komunitas non-Muslim sebelum pemilihan," sambungnya.

Sementara itu, Menteri Pendidikan Assam, Himanta Biswa Sarma, mengatakan undang-undang tersebut dilakukan dengan tujuan untuk membawa komunitas Muslim Assam, 30 persen dari total penduduk, agar lebih maju. 

"Setelah 10 tahun, anak-anak Muslim yang menjadi dokter dan insinyur dari sekolah-sekolah ini, mereka akan berhutang budi kepada pemerintah kami," katanya. 

Sebuah madrasah di Ferozepur Jhirka, India. - (twocircles.net)

Mohammad Fakaruddin Ahmad, seorang pengajar di Sekolah Menengah Noorpur Jut, sebuah madrasah di distrik Sonitpur, mengatakan tidak setuju dengan keputusan menteri. 

"Madrasah kami, seperti sekolah lain, mengajarkan sains dan matematika serta mata pelajaran lain dan juga menghasilkan dokter dan insinyur. Madrasah mengikuti kurikulum pendidikan dari pemerintah negara bagian dan kami mengajarkan pendidikan sekuler kepada siswa kami, selain memiliki kursus bahasa Arab dan studi Islam," jelasnya.

Hiren Gohain, seorang intelektual publik terkemuka dari Assam, merasa pemerintah lebih mengkhawatirkan nama 'madrasah' daripada pendidikan.

Dia juga mengatakan bahwa itu adalah 'bagian dari pola' untuk melemahkan minoritas Muslim di Assam dan memaksa mereka untuk jatuh ke dalam 'konstruksi politik' partai yang berkuasa.

"Motif politik adalah yang terpenting dalam pikiran mereka. Kekhawatirannya adalah bahwa lain kali mereka akan mulai mengubah nama tempat yang memiliki nama Islam," ujarnya.

Anowar Hussain, seorang pengacara di ibu kota negara bagian Guwahati, menggambarkan undang-undang tersebut tidak konstitusional. Konstitusi seharusnya memberikan hak kepada komunitas minoritas untuk mengelola lembaga pendidikan mereka. Namun undang-undang itu justru inkonstitusional. 

 

"Fokus pemerintah bukanlah pendidikan minoritas tetapi pemilihan, dan bagaimana memenangkan pikiran orang Assam lokal dengan mempolarisasi situasi sebelum pemilihan," ujarnya menambahkan.  

 

Partai oposisi Kongres juga menuduh BJP berusaha menciptakan ketegangan agama di negara bagian itu menjelang pemungutan suara bulan Maret. 

"Mengapa RUU itu hanya 100 hari sebelum pemilihan? Mereka ingin menciptakan ketegangan agama di Assam untuk memenangkan pemilu," kata juru bicara partai Kongres, Bhupen Borah.

Politisi oposisi mengkritik langkah tersebut dan mengatakan kebijakan tersebut mencerminkan sikap anti-muslim pemerintah di negara mayoritas Hindu itu. Menurut mereka langkah itu merupakan serangan terhadap Muslim. "Idenya adalah untuk memusnahkan Muslim," kata Wajed Ali Choudhury, seorang anggota parlemen dari partai oposisi Kongres.

Lebih dari 100 pensiunan pegawai negeri dan diplomat senior pada Selasa (29/12) mendesak pemerintah BJP di negara bagian terbesar di India, Uttar Pradesh, untuk mencabut undang-undang baru yang mengkriminalisasi pemindahan agama secara paksa pada pengantin wanita yang dianggap ditujukan terhadap Muslim.

BJP, yang memenangkan negara bagian untuk pertama kalinya pada tahun 2016, menghadapi kehilangan suara lokal setelah ada protes terhadap Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan yang kontroversial, undang-undang yang diberlakukan pada akhir 2019 untuk mempercepat pemberian kewarganegaraan India kepada migran non-Muslim dari Bangladesh, Afghanistan, dan Pakistan yang selama ini tinggal di negara itu tanpa dokumen. 

Undang-undang tersebut membuat marah penduduk asli Assam yang telah lama menuntut pengusiran semua penduduk tidak berdokumen yang memasuki negara bagian itu setelah 25 Maret 1971.

 

Sumber: https://www.newagebd.net/article/125946/outcry-in-india-as-authorities-shut-600-islamic-schools 

 
Berita Terpopuler