Anatomi Hukum Kasus PTPN VIII VS Pesantren Habib Rizieq

Mengkaji kasus sengketa lahan HGU antara PTPN VIII dan Pesantren Habib Rizieq Shihab

Republika/Shabrina Zakaria
Sejumlah spanduk sambutan kedatangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab terpampang di sepanjang jalan menuju Markaz Syariah, Pesantren Alam Agrokultural, Mega Mendung, Kabupaten Bogor
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh: DR Maiyasak Johan, Advokat Senior/Mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI periode 2004 - 2009

Somasi PTPN VIII kepada pihak Pesantren Agrokultural Markas Syariah yang diasuh Habib Rizieq Shihab, telah membuat masyarakat luas tersentak. Dan setuju atau tidak, berbagai analisa dng pendekatan politik pun tak terhindarkan. 

Terlepas dari itu semua,  secara formal hingga saat ini Indonesia masih merupakan negara hukum, karena itu kita harus melihat sengketa antara PTPN VIII dengan pihak Pesantren ic Habib Riziek itu dari sisi hukum.

Dari aspek hukum perdata, kedudukan dari Pihak Pesantren/Habib Rizieq dalam praktik disebut sebagai “Pihak Pembeli yang beriktikad baik”. 

Dikatakan sebagai pihak pembeli yang beriktikad baik karena peralihan hak dari pihak yang mengaku sebagai pemilik dilakukan secara sah menurut kebiasaan Setempat.

Dan peristiwa peralihan itu sudah berlangsung lama, setidaknya sejak transaksi peralihan hak dari yang mengaku sebagai pemilik dengan pihak Pesantren/Habib Riziek, sementara pihak PTPN VIII menjelaskan sejak tahun 2013.

Yang membuat publik bertanya adalah selang waktu dari tahun 2013 hingga saat ini, terutama kita bangunan fisik pesantren kala dilakukan. Pertanyaannya saat itu pihak PTPN ada di mana? 

Adanya pertanyaan ini mengajak kita mundur ke belakang, sejak tahun dari berapa pihak-pihak yang mengaku sebagai pemilik menguasai tanah tersebut lalu menjual tanah tersebut kepada pihak pesantren/Habib Rizieq? 

Bisa jadi mungkin benar tanah itu merupakan HGU dari PTPN - tetapi telah ditelantarkan, karena itu digarap dan dikuasai oleh masyarakat termasuk beberapa pejabat. 

Nah, Pihak pesantren/Habib Rizieq dengan diketahui pejabat setempat membeli bidang-bidang tanah tersebut hingga seluas yang disebutkan dari mereka.

Secara teoritis, praktik dan normatif disini terindikasi mempunyai dua kemungkinan. Kemungkinan pertama bahwa komplain pihak PTPN VIII  telah lewat waktu (kadaluwarsa).

Kemungkinan kedua, menurut hukum acara seharusnya pihak PTPN VIII mengajukan komplain baik pidana atau perdata kepada pihak yang menjual tanah tersebut kepada pihak pesantren/ tersebut. Bukan kepada pesantren/Habib Rizieq.

Ini karena pihak pesantren/Habib Rizieq dengan diketahui semua aparat dari mulai kepala desa hingga gubernur membeli tanah tersebut dari pihak lain, yang mengaku dan menerangkan tanah tersebut miliknya.

Berbagai pengakuan yang menjual tanah tersebut itu dibenarkan oleh para pejabat terkait yang mengetahui dan memproses administrasi peralihan hak atas tanah tersebut. Bila tidak diakui, tentu jual beli tidak akan terjadi.

 

Dari uraian di atas, maka, secara hukum, dilihat dari aspek hukum perdata dan hukum acara perdata PTPN VIII  keliru dan tidak memiliki alasan hukum untuk meminta pihak Pesantren/Habib Rizieq untuk mengosongkan lahan tersebut.  Kecuali ada putusan pengadilan yang berkekuatan tetap yang memutuskan bahwa kedudukan pihak Pesantren/Habib Riziek sebagai pembeli beriktikad baik dibatalkan.

Dengan kata lain, somasi tersebut prematur serta salah pihak. 

Dari aspek hukum pidana, pihak PTPN VIII harus menyadari bahwa posisi hukumnya saat ini adalah ada sengketa kepemilikan antara PTPN VIII dengan Habib Rizieq. 

Sengketa itu berdiri di atas klaim yang sah. PTPN mengaku itu tanah merupakan bagian dari HGU miliknya, dan iihak Pesantren/Habib Rizieq mengaku itu juga miliknya yang g diperoleh secara sah dan halal dari pihak yang mengaku sbg pemilik tanah tersebut.

Berdasarkan ketentuan pasal 81 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penyidik tidak dapat melakukan proses pidana dengan tuduhan menguasai hak orang lain, sebelum ada keputusan hukum yang menyatakan tanah itu milik siapa.

Dan harus diingat pula, pihak PTPN VIII juga bisa menjadi pihak yang potensial tertuduh. Hal ini akan terjadi bila ada putusan hukum yang menetapkan PTPN VIII terbukti telah lalai menjalankan kewajibannya menjaga serta memelihara aset negara sehingga dikuasai pihak lain bahkan mengalihkannya kepada pihak lainnya, dalam hal ini pihak pesantren/Habib Rizieq.

Begitulah saya memandang kasusnya menurut hukum perdata, hukum acara perdata dan hukum pidana khususnya pasal 81 KUHP.

Dan ini bila kita sepakat bahwa ini masalah hukum dan akan diselesaikan menurut hukum.

Selain kita juga tahu siapa pihak yang mestinya dikejar oleh PTPN VIII secara hukum, ternyata bukan Pesantren/Habib Rizieq, melainkan pihak yang mengaku sebagai pemilik dan menjualnya kepada pihak pesantren tersebut.

Begitulah kira-kira anatomi bila kasus ini mau diselesaikan secara hukum. Namun, bila penyelesaian kasus ini tidak lewat mekanisme hukum, tentu itu jadi aneh dan luar biasa - sebab Indonesia masih negara hukum. 

 

 
Berita Terpopuler