Kala Rasulullah SAW Mengalami Sakaratul Maut

Bumi, langit, dan penghuninya bersedih melepas kepergian Nabi Muhammad yang mulia

Republika/Kurnia Fakhrini
Rasulullah SAW. Ilustrasi
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, Di hari yang terik, Rasulullah SAW meminta sebuah bejana. Air dingin di dalamnya dapat menyejukkan sedikit panas tubuhnya. Perlahan, kedua tangannya yang basah mengusap wajahnya. Seorang lelaki dari keluarga Abu Bakar as-Shidiq datang membawa siwak.

Muhammad memandang siwak itu dengan penuh hasrat. Mengetahui bahasa nonverbal suaminya, Aisyah RA meminta siwak itu. Dia pun mengunyah siwak hingga lunak untuk diberikan kepada suaminya tercinta.

Dengan siwak itu, Nabi yang mulia membersihkan mulut dan giginya. Dalam sakaratul maut, dia pun berdoa. "Allahumma ya Allah! Tolonglah aku dalam sakaratul maut ini." Kepala Rasulullah berada di pangkuan Aisyah.

Ummul Mukminin berkata, "Terasa olehku Rasulullah SAW sudah memberat di pangkuanku." Kuperlihatkan air mukanya, ternyata pandangannya menatap ke atas seraya berkata. "Ya handai tertinggi dari surga."

Aisyah kemudian berkata, "Engkau telah dipilih maka engkau pun telah memilih.

Demi yang mengutusmu dengan kebenaran." Rasulullah pun berpulang di antara dada dan leher Aisyah. Bumi, langit, dan penghuninya bersedih melepas kepergian Nabi yang mulia. Kisah yang disarikan dari Sejarah Hidup Muhammad yang ditulis Muhammad Husain Haekal ini menjadi akhir torehan hidup keagungan Muhammad SAW. Kisah ini sekaligus menggambarkan bagaimana Rasulullah SAW mengalami sakaratul maut.

 

 

Kematian pasti dialami semua makhluk. Tua atau muda, miskin atau kaya, sehat atau sakit bukan menjadi ukuran seseorang akan meninggal dunia. Malaikat maut hanya menjemput manusia berdasarkan perintah Tuhannya.

"Katakanlah, malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu, kemudian kepada Tuhanmu, kamu akan dikembalikan." (QS as-Sajadah: 11).

Dr Musa bin Fathullah Harun dalam bukunya Perjalanan Rabbani menjelaskan, mati adalah berpisahnya roh atau nyawa dari badan. Pemisahan roh dari jasmani seseorang ini menjadi tugas malaikat maut.

Di dalam Islam, maut atau kematian bukan menjadi kesudahan bagi manusia. Kematian hanya menjadi perpindahan dari alam dunia yang fana ke alam barzakh, yaitu alam pemisah antara dunia dengan akhirat.

Maut menjadi pintu gerbang untuk melalui akhirat. Ruh manusia yang wafat akan tinggal di alam barzakh hingga hari kebangkitan manusia dari kuburnya pada kiamat kelak.

"Sesungguhnya kubur itu awal persinggahan dari persinggahan-persinggahan akhirat. Barang siapa yang selamat darinya, maka yang sesudahnya lebih mudah darinya. Barang siapa yang tidak selamat darinya, maka yang sesudahnya lebih sukar darinya." (HR Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad dari Utsman bin Affan RA).

Kematian memiliki arti berbeda bagi setiap individu. Khususnya antara orang beriman dengan orang kafir. Kematian akan menjadi peristiwa penuh nikmat jika dialami oleh mukmin.

Sebaliknya, dia akan mengalami kesengsaraan apabila dia termasuk orang yang ingkar. Rasulullah SAW mengistilahkan orang mukmin yang wafat dengan mustarih. Artinya, orang-orang yang beristirahat.

Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa hamba-hamba beriman beristirahat dari kelelahan dunia dan segala yang menyakitinya menuju kasih sayang Allah SWT.

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW juga bercerita saat seorang mukmin didatangi oleh maut disampaikan kepadanya berita keridhaan dan kedermawanan Allah SWT. Maka tidak ada yang lebih dicintai olehnya dari apa yang ada dihadapannya.

Dia pun senang berjumpa dengan Allah dan Allah pun senang berjumpa dengannya. Dalam surah Ali Imran ayat 169, Allah SWT berfirman: "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb-nya dengan mendapat rezeki."

 
Berita Terpopuler