Masih Banyak ODGJ Dipasung di Tasikmalaya

Yadi kecil masih bisa bergaul dengan normal.

Republika/Bayu Adji P
Petugas mengevakuasi sejumlah pasien ODGJ di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Sabtu (26/12). Berdasarkan data Puskesmas Cipatujah, terdapat 150 kasus ODGJ di wilayah itu. Sebanyak enam orang di antaranya dipasung oleh keluarganya.
Rep: Bayu Adji P Red: Muhammad Fakhruddin

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Bayu Adji P*

SABTU (26/12) lalu, Republika berkesempatan mengunjungi sejumlah orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM) Gerak Cepat Bersama dan Yayasan Daarul Ihsan di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya. Ironisnya, masih ada warga di wilayah itu yang menangani ODGJ dengan cara dipasung.

Salah pasien yang dipasung itu berada di Kampung Sabeulit, Kepunduhan Sukajaya, Desa Cipatujah, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat itu, tinggal Endang (59 tahun) bersama kedua anaknya. Namun, anak pertamanya yang bernama Yadi Supriyadi (31) menderita gangguan jiwa. Lantaran tak tahu cara merawatnya, Endang memasung anak laki-lakinya itu dalam sebuah bilik tertutup berukuran 1,8x2,7 meter di bagian belakang atau dapur rumahnya.

Dari dalam kamar dengan pencahayaan yang sangat minim itu, Yadi selalu bilang ingin keluar. Tapi, ia tak bisa keluar. Sebab jika di luar, ia dianggap meresahkan keluarga dan warga sekitar.

Sudah sejak tiga bulan terakhir Yadi dikurung di ruangan sempit itu. Tidur, makan, buang air, ia lakukan di tempat itu. Pintu keluar dari ruangan itu digembok oleh ayah dan sejumlah tetangganya. 

Endang mengisahkan, anaknya itu sudah mengalami kelainan jiwa sejak masih berusia 7 tahun. Ketika itu, Yadi pernah berenang dan tenggelam di sebuah kolam. Setelah kejadian itu, ada yang berbeda dari Yadi. 

Menurut Endang, Yadi kecil masih bisa bergaul dengan normal meski memliliki sedikit gangguan jiwa. Yadi juga sempat disekolahkan, meski hanya sampai kelas 4 sekolah dasar (SD). "Ibu gurunya pernah bilang dikeluarkan saja, karena kondisinya kasihan. Tapi saya ingin menyekolahkannya terus," kata dia. 

Endang tak mengiyakan permintaan gurunya begitu saja. Sebab, ia ingin anaknya mengenyam pendidikan, meski hanya hingga SD. Namun, Yadi akhirnya putus sekolah juga lantaran tak juga naik kelas ketika masih kelas 4 SD. 

Setelah keluar dari sekolah, Endang berkisah, anaknya itu sering bermain ke dalam hutan hingga berhari-hari. Bahkan, tak jarang sampai berbulan-bulan. 

Ketika berusia 15 tahun, Yadi bahkan pernah membunuh anak kecil berusia 4,5 tahun. "Kata dia, anak kecil itu monyet. Habis itu saya sekeluarga diusir dari Tobongjaya (Kecamatan Cipatujah) dan pindah ke sini. Saya di sini sudah 15 tahun," kata dia. 

Setelah Endang dan keluarganya pindah ke Desa Cipatujah, kelakuan Yadi tak berubah. Anak itu masih sering bermain ke dalam hutan. Hingga berbulan-bulan.

Puncaknya, sekira tiga bulan lalu, Yadi mencoba untuk melukai ayahnya. "Saya selalu bilang, bapak ini bapak kamu. Bapak ini bapak kamu. Malahan nendang lagi, nendang lagi, mukul lagi, mukul lagi. Kata dia bapak edan, bapak gelo," kata dia. 

Akibat kejadian itu, Yadi akhirnya masuk kamar pasung. Bukan atas kemauan ayahnya sendiri, melainkan juga atas permintaan warga sekitar lantaran Yadi juga sering membuat resah para tetangganya.

Endang mengaku sudah berulang kali membawa anaknya itu berobat. Mulai dari membawanya ke rumah sakit hingga ke orang pintar di Kabupaten Garut. Pihak rumah sakit mendiagnosis anaknya memiliki gangguan kejiwaan. Sementara kata orang pintar, anaknya itu ketempelan makhluk halus. 

Namun, setelah melalui berbagai pengobatan itu, Yadi tak juga sembuh. Ia pun tak memiliki banyak pilihan untuk melakukan perawatan kepada anaknya. Pemasukan dari kerja bersih-bersih di kantor polisi dan memungut barang bekas hanya cukup untuk menafkahi keluarga makan sehari-hari. 

"Saya sebagai orang tua mau anak saya sembuh. Saya sudah tidak punya istri. Istri menikah lagi. Saya biayain anak saya sendiri," kata lelaki kurus kecil itu sambil berusaha menahan air matanya bercucuran. 

Menurut dia, segala langkah sudah ditempuhnya. Ia sudah lapor kepada kepala desa setempat hingga kepada para polisi di tempatnya bekerja. Namun tak ada bantuan juga. Hanya petugas puskesmas yang kadang kala datang ke rumahnya untuk memberikan obat penenang ketika anaknya mengamuk di dalam kamar pasungnya.

Ia menambahkan, pihak puskesmas juga memfasilitasi dirinya untuk mengantar anaknya berobat. Namun, jarak rumah sakit dari tempat tinggalnya terlampau jauh. Berjarak sekira 2-3 jam perjalanan menggunakan kendaraan bermotor. Endang mengaku tak punya biaya untuk secara rutin mengantar anaknya berobat.

"Saya sebagai orang tua juga gak tega memasung anak saya. Ngerinya bukan main. Kalau anak saya sembuh, saya akan sangat bahagia. Dunia ini serasa milik saya," kata dia.

 

 

Mantan Guru Berakhir di Kamar Pasung

Tak jauh dari tempat Endang memasung Yadi, tepatnya di Desa Padawaras, kecamatan yang sama, terdapat seorang ODGJ mengalami pemasungan. ODGJ itu bernama Omay (52) atau yang lebih senang dipanggil Putri. Nasib Putri tak jauh berbeda dengan Yadi. Sejak tiga bulan terakhir ia dipasung oleh keluarganya karena memiliki gangguan kejiwaan.

Tempat pasung Putri lebih mirip kandang kambing dibandingkan kamar. Ukurannya hanya sekira 2x3 meter. Dindingya terbuat dari kayu, dengan alas hanya kasur tipis untuk tempatnya tidur. Tak ada pintu di tempat itu. Satu-satunya jalan keluar dari ruangan pemasungan itu hanya jika dinding kayu yang ada dibongkar. Makan, tidur, buang air, dilakukan Putri di tempat itu.

Ketika Republika mendatangi tempat pemasungan Putri, nyamuk-nyamuk datang menerjang. Wajar saja, tempat itu terletak di kebun. Dapat dibayangkan seperti apa Putri menjalani hari-harinya di tempat itu.

Saat melihat orang datang, Putri selalu merajuk ingin keluar. Ia ramah dan tak mengamuk. Hanya minta keluar dari tempat pemasungannya. "Putri mau keluar. Putri gak mau direhabilitasi," kata dia.

Putri merupakan seorang mantan guru di Jakarta. Ia juga merupakan sarjana pendidikan. Entah apa penyebab perempuan itu menjadi OGDJ. Namun, ketika diajak bicara, ia masih bisa menanggapi meski omongannya tak selalu merespon inti pembicaraan. 

Kepala Desa Padawaras, Yayan Siswandi menyebut, sudah tiga bulan terakhir Putri dipasung di tempat itu. Alasannya bukan karena membahayakan atau meresahkan warga sekitar, melainkan Putri sering bepergian tak terkendali. Bahkan, pernah Putri berpergian seorang diri ke Jakarta.

"Dipasung itu karena suka jalan-jalan. Keluarga kan capek nyarinya. Jadinya kasihan keluarganya," kata dia.

Ia mengatakan, saat ini Putri hanya tinggal dengan saudara-saudaranya. Sementara seluruh saudaranya memiliki pekerjaan masing-masing. Karena itu, tak ada jalan lain untuk merawat Putri selain dipasung. "Meresahkan mah tidak, tapi keluarga kasihan. Dipasung itu atas kesepakatan keluarga. Saya larang juga keluarga sendiri yang repot," kata dia.

Menurut dia, penyakit Putri itu "datang-datangan". Kadang sembuh, kadang kembali kumat. Pihak desa sudah pernah membawa Putri ke panti rehabilitasi di Kota Tasikmalaya. Setelah dibawa ke panti itu, Putri sempat kembali "normal" dan pulang ke rumahnya. Namun tak lama, gejala penyakitnya kembali muncul. 

"Saya terus konsultasi sama petugas puskesmas. Jadi mereka yang sakit kita bantu persyaratannya, agar bisa dibawa ke rumah sakit," kata dia.

 

Kakak Beradik Berbagi Kamar Pemasungan

Bukan hanya Putri dan Yadi, ODGJ yang dipasung di Kecamatan Cipatujah. Republika juga mengunjungi Desa Tobongjaya, masih di kecamatan yang sama. Di tempat itu, ada sepasang kakak beradik yang dipasung oleh keluarganya. Mereka adalah Yuyu (50) dan Tayan (45).

Tempat pemasungan mereka berada tempat berada di belakang rumah orang tuanya. Tempat itu hanya berukuran sekira 2,5x2,5 meter dengan sekat pemisah di tengahnya untuk memisahkan kakak dan adik. Dinding tempat itu terbuat dari tembok setebal sekira 10 sentimeter. Akses mereka berdua keluar hanya sebuah lubang berukuran 10x10 meter. Akses keluar bukan berarti mereka berdua bisa keluar dari tempat itu. Namun, lubang itu digunakan untuk memberi makan keduanya dan agar keduanya tetap mendapatkan cahaya matahari serta udara.

Berdasarkan pengamatan Republika, di sekitar tempat pemasung itu terdapat tinja-tinja yang sudah mengering. Dari keterangan warga sekitar, Tayan sering kali melempar tinjanya keluar melalui lubang kecil yang ada di dinding.

 

Salah satu tetangga yang ikut mengurus dua kakak beradik itu, Taryana (60) mengatakan, sudah dua tahun mereka berdua dipasung di tempat itu. Mereka berdua dipasung karena sering mengamuk. Keluarga dua orang itu hanga tersisa ibunya yang sudah berumur sepuh. Sementara ayahnya sudah meninggal dunia. Ibunya dirasa sudah tak sanggup lagi untuk merawat mereka berdua. Karenanya, atas kesepakatan warga, kedua orang itu dipasung.

Menurut Taryana, sang adik yang bernama Tayan lebih dulu menderita gangguan kejiwaan daripada kakaknya. Sementara Yuyu sempat menikah di Jakarta. Namun, ketika suaminya meninggal dunia, Yuyu menderita gangguan kejiwaan.

Ia menambahkan, warga sekitar sudah pernah berusaha membawa kedua kakak beradik itu berobat ke rumah sakit jiwa, tentu dengan bantuan dari kepala desa. Namun, setelah kembali dari rumah sakit, penyakit dua orang itu kambuh lagi.

"Karena sudah diobati ke RSJ, pulang kambuh lagi, jadinya dipasung," kata dia.

Para petugas dari LSM dan juga bidan dari Puskesmas Cipatujah langsung membongkar tempat pemasungan mereka berdua ketika sampai di lokasi. Keduanya kemudian dimandikan, dicukur agar rapih, kemudian dibawa untuk diobati. Rancananya para ODGJ itu, termasuk Yadi, Putri, Tayan, Yuyu, serta tiga orang ODGJ lainnya, akan dibawa ke Yayasan Daarul Ihsan untuk ditransitkan sementara waktu. Setelah itu, mereka akan dirujuk ke Rumah Sakit Cisarua, Jawa Barat, untuk mendapatkan penanganan medis lebih lanjut. 

Bidan, yang juga petugas kesehatan jiwa Puskesmas Cipatujah, Lia Marliana, mengatakan, di wilayah Kecamatan Cipatujah setidaknya terdapat sekira 150 ODGJ, dari mulai gejala ringan hingga berat. Sebanyak enam di antara para pasien itu mengalami pemasungan.

Menurut dia, para pasien ODGJ yang mengalami pemasungan itu mayoritas sudah pernah dirujuk ke rumah sakit jiwa. Namun, setelah kembali ke rumahnya, para pasien itu kembali mengalami gangguan lantaran obat yang diberikan tidak rutin. Karenanya, para pasien itu akhirnya dipasung oleh keluarganya.

"Memang kita harus bebas pasung, tapi kan di antaranya menimbulkan kekerasan kepada keluarga. Masa harus dibiarkan?" kata dia.

Menurut dia, petugas puskesmas sudah berusaha mengunjungi para pasien untuk mengontrol dan memberikan obat. Namun, para pasien itu tak mengalami perbaikan. 

Sementara itu, ia menambahkan, petugas kesehatan jiwa yang berada di Puskesmas Cipatujah sangat terbatas. Tidak mungkin petugas dapat secara rutin mengunjungi seluruh pasien ODGJ yang jumlahnya mencapai ratusan. 

Menurut Lia, pemasungan umumnya dilakukan lantaran para pasien sering mengamuk. Karenanya dianggap membahayakan warga sekitar, termasuk keluarganya. Ada juga sejumlah pasien ODGJ yang sering mengambil barang tetangganya. Dengan dalih menjaga keamanan, puskesmas memperbolehkan pemasungan kepada pasien sambil menunggu waktu untuk dirujuk ke rumah sakit. 

"Kita sudah koordinasi dengan kepolisian setempat, diperbolehkan untuk pasung agar tidak terjadi kekerasan," kata dia.

Untuk merujuk para pasien itu ke rumah sakit jiwa, Lia mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan dinas terkait. Pihaknya sudah berencana untuk membawa pasien pasung ke rumah sakit jiwa. 

Namun, pandemi Covid-19 menjadi membuat program itu tertunda. "Karena pasien harus di-swab dulu. Kita tak bisa karena alat tak ada," kata dia.

Bebas Pasung Dinilai Hanya Slogan

Kegiatan membebaskan para ODGJ yang mengalami pemasungan adalah langkah dari  LSM Gerak Cepat Bersama Jawa Barat. Sejak lima hari terakhir, Taryan berasama istrinya berkeliling Tasikmalaya menggunakan sepeda motor untuk melihat realitas para ODGJ di daerah itu. Hasilnya, masih banyak ODGJ yang mengalami pemasungan. Karenanaya, ia meminta bantuan Yayasan Daarul Ihsan, yang juga fokus dalam penanganan ODGJ, untuk melakukan pembebasan kepada para pasien yang mengalami pemasungan.

Tak ada peran dari dinas sosial setempat dalam kegiatan itu. Kegiatan mereka hanya dibantu oleh Lia, bidan yang merangkap sebagai petugas kesehatan jiwa di Puskesmas Cipatujah. 

Menurut Taryan, seharusnya dinas sosial lah yang memiliki kewajiban membebaskan para pasien ODGJ dari pemasungan. Namun di lapangan, peran dinas itu tak terasa. Buktinya, kata dia, masih banyak pasien ODGJ yang mengalami pemasungan.

"Saya kira bebas pasung hanya slogan. Karena masih banyak ODGJ yang dipasung oleh masyarakat," kata dia.

Taryan tak menyalahkan masyarakat atas pemasungan kepada anggota keluarganya yang mengalami ODGJ. Sebab, menurut dia, itu mungkin satu-satunya cara yang diketahui warga untuk merawat ODGJ. 

Ia menegaskan, tanggung jawab terbesar adalah pada dinas sosial dan dinas kesehatan setempat. Tugas dinas itu adalah memberikan pemahaman kepada keluarga dan menyediakan layanan pengobatan bagi para ODGJ. 

Ia tak menyangkal sudah ada program pemerintah untuk merujuk para pasien ODGJ ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan pengobatan. Namun, setelah pengobatan di rumah sakit selesai dan pasien dipulangkan, tak ada perhatian lebih lanjut. Padahal, masa pascaperawatan di rumah sakit adalah yang paling penting. Pasien ODGJ harus secara rutin meminum obat agar penyakitnya tak kambuh. Sementara, tak semua keluarga pasien ODGJ itu paham dan mampu secara pembiayaan.

"Mungkin ada sebagian petugas yang mau langsung turun ke lapangan, tapi mayoritas tidak," kata dia.

Taryan mencontohkan, dalam kasus pemasungan Yuyu dan Tayan, para ODGJ itu hanya tinggal bersama ibunya yang berusia sepuh. Sang ibu tak mungkin menemani kedua anaknya itu berobat ke puskesmas seorang diri. Karenanya, harus ada petugas yang selalu mengontrol langsung ke lapangan.

"Kami mohon kerja sama dari semua pihak untuk benar-benar menjalankan program bebas pasung, terutama dinas sosial. Mereka kan butuh kehidupan yang layak. Mereka itu manusia yang harus dimanusiakan," kata dia. 

Sementara itu, pemilik Yayasan Daarul Ihsan, Maman Suparman mengatakan, para pasien ODGJ itu akan dibawa ke tempat rehabilitasinya. Setelah itu, pasien akan dirujuk ke rumah sakit jiwa. 

"Karena dipasung itubkan tidak boleh. Begitu kita dapat informasi, kita langsung bergerak," kata dia.

 

*Jurnalis Republika

 
Berita Terpopuler