Radikalisme, Soal Mazhab: Mission Imposibble Menag Baru

Ada Mision Imposibble yang parut disadari Menag baru

HUMAS KEMENAG/ANTARA
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (kiri) bertukar naskah dengan mantan Menteri Agama Fachrul Razi saat serah terima jabatan di Kantor Kemenag, Jakarta, Rabu (23/12/2020). Presiden melantik Yaqut Cholil Qoumas menjadi menteri agama menggantikan Fachrul Razi pada periode sisa masa jabatan 2019-2024.
Red: Muhammad Subarkah

IHRAM.CO.ID, Oleh: DR Anwar Mujahidin, Dosen IAIN Ponorogo

Resuffle Kabinet Pemerintahan Jokowi-Makruf pada Rabo Pon tanggal 23 Desember 2020 yang juga mengganti menteri agama menimbulkan tanda tanya publik mengenai apa sebenarnya misi kementerian agama.

Mengapa menteri agama juga  diganti? Apa yang telah gagal dilakukan oleh sang menteri lama?

Maka, publik kemudian berspekulasi dengan menghubungkan latar belakang figur menteri baru yang dikenal memiliki sikap yang keras terhadap ormas tertentu yang dianggap intoleran bahkan berpotensi mengancam keutuhan NKRI.

Spekulasi publik sampai pada kesimpulan bahwa misi menteri agama adalah memberantas sikap keagamaan yang intoleran atau bahkan radikal yang mengancam stabilitas nasional.

Kesimpulan itu sebenarnya menjadi perspektif yang tidak sekedar spekulatif,  ketika pada awal masa jabatan persiden menunjuk menteri agama yang berlatar belakang militer. Misi untuk memberantas potensi sikap keagamaan yang intoleran dan radikal sudah terasa sejak Letnan Jenderal Fachrul Razi dilantik jadi menteri agama pada Oktober 2019 lalu.

Narasi yang menunjuk kelompok yang akan diberantas oleh sang menteri menjadi pembicaraan publik seperti keberåadaan kelompok yang disebut Pak mentri sebagai kelompok good looking, yang bercelana cingkrang, hafal Alquran, pintar mengaji di masjid-masjid kantor pemerintah dan BUMN.

Benarkah misi kemeterian agama adalah mengurusi pemahaman keagamaan, seberapa porsi kementerian agama dalam misi tersebut?

 

Menijau misi kementerian agama tak dapat dihindarkan untuk menengok sejarahnya.

Keberadaan kementerian agama yang sebelumnya bernama departemen agama adalah bagian dari perjuangan umat Islam Indonesia sebagai kompensasi dihapuskannya tuntutan umat Islam agar dasar negara mencantumkan dalam sila pertama mengenai kewajiban menjalankan syariat Islam yang dikenal dengan pagam Jakarta.

Sejarah tersebut perlu diingat karena memberikan pelajaran yang fundamental yang disumbangkan umat Islam untuk Indonesia.

Pertama umat Islam setuju konsep negara Indonesia bukan negara agama atau negara berdasar agama. Namun negara tidak terpisah sama sekali dengan agama.

UUD 45 menegaskan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya negara mengakui keberadaan agama yang diyakini warga bangsa Indonesia dan menjadi sumber nilai dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Negara menjamin kebebasan warga untuk memeluk, menyakni, memahami dan mengamalkan agamanya masing-masing.

Kedua. Meskipun negara bukan berdasarkan agama, namun bukan berarti negara tidak peduli dengan urusan umat beragama. Maka keberadaan kementerian agama adalah untuk mengurusi kebutuhan umat beragama dalam masalah agama, dalam kebutusan umat Islam ada kebutuhan pernikahan, Pendidikan, Haji dan Umrah, yang perlu dilayani oleh pemerintah.

Wahid Hasyim dalam catatannya sebagai wakil umat Islam yang ikut merumuskan dasar negara dan mengusulkan kemeterian agama menyatakan bahwa Kementerian agama menjadi simbol adanya hal mendasar mengenai jalan tengah antara konsep memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara.

Berdasarkan misi historis di atas, maka secara tegas urusan agama tetap menjadi wilayah publik (otonomi masyarakat). Negara menjamin kebebasan masyarakat untuk memahami dan mengamalkan ajaran agamanya masing-masing. Karena negara tidak berdasarkan agama tertentu, maka tidak seperti Saudi Arabia misalnya, di mana negara menganut madzhab keagamaan tertentu dan dapat melarang madzhab keagamaan yang tidak sesuai dengan madzhab yang dianut negara.

Keberadaan MUI yang menjadi forum bagi ormas-ormas  Islam dari berbagai madzhab keagamaan menjadi wadah penting yang khas dalam konsep hubungan agama dan negara di Indonesia di satu sisi dan dalam merawat keragaman pemikiran dan pemahaman keagamaan.

MUI berdasarkan musyawarah mufakat berdasarkan kajian mendalam dari berbagai madzhab keagamaan yang dianut masyarakat Indonesia dapat mengeluarkan fatwa mengenai faham keagamaan tertentu yang dinilai menyimpang.M UI pernah membuat fatwa pada atahun 1980 yang diperkuat dengan fatwa pada tahun 2005 bahwa ajaran Ahmadiyah adalah sesat.  

 

                        

   

                        

Pemerintah Indonesia juga memiliki regulasi untuk menetapkan suatu paham keagamaan yang dinilai menyimpang dan sesat. Terdapat forum koordinasi lintas kementerian dan setingkatnya yang disebut BAKORPAKEM (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan)  yang terdiri dari kejaksaan, kementerian agama, kementerian dalam negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Polri, TNI dan Badan Intelelijen Negara (BIN).

Bakorpakem pernah membuat keputusan mengenai ajaran Ahmadiyah yang dianggap menyimpang. Meskipun tidak dapat dipungkiri keputusan tersebut kontrovesial karena dinilai melanggar hak kebebasan beragama.

Seandainya pemerintah dianggap tidak boleh ikut campur dalam urusan pemahaman keagamaan, maka fatwa MUI tentang Ahmadiyah sudah cukup kuat untuk dipatuhi.

Dengan demikian misi kementerian agama tidak mengurusi agama dalam arti segala pemahaman dan pengamalan agama. Agama tetap menjadi otoritas masyarakat. Nilai agama merupakan dasar dari kehidupan kenegaraan, kebangsaan dan ke-Indonesiaa.

Dengan Pancasila, agama berkedudukan sebagai sumber nilai yang berada di atas segalanya dan pondasai semua konstitusi dan institusi. Misi kementerian agama adalah sebatas urusan yang menyangkut tanggung jawab negara untuk melayani masyarakat beragama, seperti Pendidikan, Haji dan Umrah dan bimbingan masyarakat seperti pernikahan dan penyuluhan agama bagi pemeluk agama Islam.

Kementerian agama juga melayani kebutuhan umat beragama lain yang diakui sesuai dengan yang dibutuhkan umat agama masing-masing.       

Isu intoleransi dan radikalisme merupakan masalah kompleks yang tidak hanya berhubungan dengan paham keagamaan.

Namun ketika dihubungkan dengan pemahaman keagamaan, maka irisan dengan kementerian agama ialah pada bidang pendidikan dan bidang bimbingan masyarakat.

Langkah kementerian agama selama ini untuk menjadikan Islam moderat -islam rahmatan lill alamin-- sebagai paradigma yang mewarnai seluruh program kementerian agama telah berhasil memberi warna kehidupan keagamaan di Indonesia.

Ciri dan watak moderat telah mewarnai seluruh program penelitian, pengajaran dan pengabdian masyarakat di seluruh Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKIN) di bawah kementerian agama.

Paradigma Islam moderat juga merembes mewarnai atmosfer pemikiran dan pengajaran madrasah, pesantren dan masyarakat baik memalui program bidang Pendidikan maupun bimbingan masyarakat.

Program tersebut selain berhasil mewarnai kehidupan keagamaan di Indonesia, juga sekaligus menjaga harmoni hubungan agama dengan negara sebagai dicita-citakan para founding fathers republik Indonesia.    

Beradasarkan fakta historis dan keberhasilan kemeterian agama dalam kampanye paradigma Islam moderat di atas, maka misi pemberantasan kelompok intoleran dan radikalisme yang tersirat dari misi presiden menunjuk menteri agama dari militer dan sekarang diganti dari figur yang dianggap keras pada kelompok tertentu menjadi kurang relevan.

Misi tersebut berpotensi munculnya sikap yang ambigu dari pemerintah terhadap agama. Pada satu sisi pemerintah menegaskan bahwa negara Indonesia bukan negara berdasarkan agama, namun disisi lain negara mendorong satu kementerian mengawasi dan membatasi pemahaman masyarakat terhadap agama.

Maka, cukuplah misi kementerian agama dalam bidang Pendidikan dan layanan yang yang semestinya ditonjolkan. Kriteria penunjukkan menteri agama, semestinya menonjolkan pesan akan kompetensi untuk memajukan pelayanan pemerintah dalam bidang pendidikan keagamaan, bimbingan masyarakat, haji dan umrah.    

Bahaya intoleransi dan radikalisme merupakan masalah yang kompleks dan tidak hanya berhubungan dengan masalah satu kementerian.

Bahkan untuk urusan pendidikan , di Indonesia juga masih ada Kementerian pendidikan. Banyak riset menunjukkan potensi paham intoleran dan radikal akibat pemahaman agama yang dangkal.

Pendangkalan pemahaman keagamaan terjadi di sekolah dan perguruan tinggi di bawah kementerian pendidikan. Porsi pendidikan agama di sekolah di bawah kementerian pendidikan agama yang hanya dua jam dalam satu minggu sudah lama dikeluhkan banyak pihak. Namun pemerintah tak bergeming.

Masyarakat justru secara kreatif, melahirkan sekolah full day dan sekolah berbasis pesantren yang menambal kurangnya jam pelajaran untuk pembelajaran agama.

Kreatifitas dan kemandirian masyarakat tersebut perlu diapresiasi oleh semua pihak, sehingga tumbuh pemahaman agama yang mendalam, moderat dan toleran.

 

Sikap pemerintah dalam menghadapi keragaman pemikiran dan dinamika masyarakat juga perlu diperbaiki. Demokrasi dengan jaminan kebebasan berpendapat dan beragama harus dirawat dengan baik.

Pemerintah yang tidak demokratis yang membatasi kebebasan berpendapat berpotensi lebih besar menumbuhkan sikap perlawanan yang keras di masyarakat.

Aspirasi yang tersumbat akan semakin keras tekanannya, sehingga tumbuh sikap-sikap radikal. Agama sebenarnya hanya menjadi dalih bagi masyarakat yang tersumbat aspirasinya.

Sikap pemerintah yang perlu diperbaiki adalah juga mengenai dinamika tumbuhnya kesadaran keagamaan di masyarakat.

Masyarakat tidak dapat dipaksa dengan metode belajar dan pemahaman keagamaan tertentu. Munculnya kegiatan keagamaan di masjid di kantor-kantor pemerintah dan BUMN harus dipandang positif sebagai bangkitnya kesadaran agama para ASN dan pegawai.

ASN dan para pegawai di kantor pemerintah yang dicurigai pemerintah selama ini terpapar paham radikal, bisa jadi berlatar belakang pendidikan agama yang minim yang hanya dua jam seminggu di sekolah di bawah kemeterian pendidikan tersebut.

Maka akan menjadi kontaproduktif bila kesadaran agama yang positif tersebut dipandang secara negatif dan dicurigai sebagai paham keagamaan yang intoleran. Potensi intoleransi dapat dicegah justru dengan mengapresiasi kesadaran dan kebangkitan agama tersebut dengan menghadirkan keterbukan sehingga ASN dapat belajar agama dari berbagai sumber.

Mencegah intoleransi dan radikalisme akan berhasil bila dilakukan dengan pendekatan humanisme yang tidak hanya satu kementerian tetapi bahkan semua pihak baik pemerintah dengan semua kementeriannya dengan masyarakat.   

   

 
Berita Terpopuler