Trauma Aktivis Muslim Wina Pascapenggerebekan Polisi

Polisi dengan kekuatan berlebihan menggerebek rumahnya dengan dalih operasi teror.

Anadolu Agency
Trauma Aktivis Muslim Wina Pascapenggerebekan Polisi. Aktivis Muslim Austria Mohammad Jamal Morad. Polisi Austria menggerebek rumah Morad atas nama Operasi Luxor.
Rep: Andrian Saputra Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, WINA -- Peristiwa penggerebekan oleh aparat Kepolisian Austria pada November lalu begitu membekas dalam ingatan Mohammad Jamal Morad. Aktivis Muslim yang sudah tinggal selama 42 tahun itu mengatakan dirinya tak akan bisa melupakan saat aparat kepolisian menggunakan kekuatan berlebihan menggerebek rumahnya dengan dalih operasi teror. 

Baca Juga

Selama puluhan tahun, Morad telah tinggal di Wina. Ia memimpin sebuah lembaga sosial masyarakat dan menjadi bagian dari Komunitas Islam Austria.

Sebagai aktivis Muslim, Morad pun melakukan kerja sosial selama bertahun-tahun. Ia pun menjalin hubungan yang baik dengan para pejabat tinggi kepolisian Austria, birokrat, dan para politikus Austria.

"Melalui hubungan baik dan kerja sama yang kami jalin dengan pihak berwenang, kami bekerja sama dan bertindak dalam solidaritas bersama untuk mewujudkan perdamaian sosial di Wina, kota tempat kami tinggal. Kerja sama ini selalu positif. Saya tidak pernah punya masalah dengan polisi atau negara dalam hidup saya,” kata Murod seperti dilansir Anadolu Agency, Jumat (25/12).

Akan tetapi penggerebekan yang dilakukan polisi di rumahnya pada 9 November lalu, tepatnya pukul 05.00 tak pernah bisa terlupakan. Murod menceritakan saat itu, istrinya mendengar suara yang disangkanya pencuri. Sesaat kemudian lima hingga enam orang berpakaian hitam masuk ke dalam rumah Murod.

"Saya berhenti sebentar untuk memahami apa yang terjadi. Awalnya saya kira mereka bisa jadi pencuri, tapi sayangnya saya perhatikan ada pasukan khusus dan polisi yang dilengkapi dari atas ke bawah. Pasukan keamanan mendobrak pintu dan memasuki kamar saya tanpa menekan bel pintu dan mengarahkan laras senjata mereka ke arah saya. Saya perhatikan polisi sangat gugup, tangan mereka waspada dan senjata tidak terkunci. Mereka sudah bersiap-siap seolah-olah saya akan menanggapi mereka,” tambahnya.

 

Setelah itu, Morad mengatakan para pasukan itu pun memasuki kamar anak-anak dengan sikap yang sama. Polisi pun mengikat tangan mereka di belakang kepala.

“Ketika saya melihat mereka, saya berteriak dengan keras, tolong jangan bangunkan anak-anak saya seperti ini. Saya berteriak beberapa kali tetapi mereka tidak menanggapi. Saya memberi tahu polisi dengan senjata mengarah ke arah saya, mereka tidak berhak membangunkan anak-anak seperti ini dan jika terjadi sesuatu, saya akan menuntut mereka," katanya.

Namun demikian, polisi tetap memasuki kamar anak-anak dengan kasar. Mereka membangunkan anak-anak Murod dan memerintahkan mereka untuk berdiri.

“Mereka bertindak seolah-olah sedang menyerang musuh di medan perang. Saya kaget beberapa saat, saya rasa saya tidak akan pernah melupakan momen-momen itu. Lalu saya mencoba menenangkan diri. Dimana saya? Apakah saya di Wina? Apakah saya di rumah atau saya di Suriah, di mana hal serupa terjadi setiap hari? Saya berbicara kepada diri saya sendiri dan mencoba memahami situasi yang saya hadapi. Kemudian, sayangnya, saya menyadari saya berada di rumah di Wina, tempat saya hidup dengan damai selama 42 tahun," katanya.

Morad mengatakan polisi bertindak terhadapnya seperti memerangi teroris. “Kemudian pengawas dari tim yang menggerebek rumah kami tiba. Saya bertanya kepadanya, apa yang kamu lakukan di sini? Mengapa Anda bertindak seperti ini? Anda mengenal saya dan saya mengenal Anda. Dan dia mengatakan aku sangat mengenalmu, aku tahu masa lalumu dengan sangat baik. Bagi saya, Anda adalah orang yang tidak bersalah, tetapi saya telah menerima perintah dan saya mengikuti," katanya.

Morad mengatakan saat itu aparat memberinya sebuah file yang berisi tuduhan terhadap Murod yang juga memuat nama 29 orang lainnya yang memperoleh perlakuan sama. Menurut Morad, beberapa dari mereka yang ada dalam daftar adalah orang-orang yang dikenalnya kerap melakukan pekerjaan yang baik dalam memberikan kontribusi kepada masyarakat. 

 

Setelah menggerebek rumahnya, aparat kepolisian  membawa Morad ke tempat kerjanya. Ada hampir 25 petugas polisi dan 10 mobil polisi.  Tetangga Murod pun menyaksikan perlakuan yang dialaminya. Menurutnya, meski tak terlihat kesan permusuhan dari tetangganya, namun ia merasakan pandangan tetangga pascakejadian itu yang menilai dirinya sebagai teroris.

“Tapi saya dapat melihat di mata mereka bahwa mereka berpikir seorang teroris tinggal di sebelah kita. Sayangnya, saya harus hidup dengan itu untuk sementara waktu," katanya.

Tak sampai di situ, Morad mengatakan rekening banknya pun diblokir setelah operasi. Aktivitas komersialnya benar-benar berhenti, dan pengacaranya tidak dapat mengakses berkas kasus karena alasan kerahasiaan. Dia tidak tahu apa tuduhan konkret terhadap dirinya, yang merupakan pelanggaran hak asasi.

Morad mengatakan dia akan melanjutkan perjuangan hukumnya. Menurutnya, operasi itu juga menyebabkan ketakutan serius di kalangan komunitas Muslim di Austria.

Sementara itu, akibat penggerebekan, kedua putri Morad berusia tujuh dan 12 tahun mengalami masalah psikologis yang serius. Putri sulung Morad, RM mengatakan dia terbangun mendengar suara keras dan berteriak, dan sebelum dia bisa memahami apa yang terjadi, polisi memasuki kamarnya dengan senjata laras panjang. Dia mengatakan polisi menunggu beberapa saat tanpa berbicara pada awalnya.

“Salah satu dari mereka menyuruh saya untuk melihat saudara perempuan saya. Saya menatapnya. Matanya tertutup. Kemudian saya menatapnya lagi dan memperhatikan matanya sedikit terbuka. Dia bangun, tapi menutup matanya karena takut,” katanya.

 

RM mengatakan perasaannya campur aduk antara ketakutan, ketidakpastian, dan kecemasan. Dia mencoba memahami mengapa mereka mengalami perlakuan seperti itu. RM mengatakan sejak penggerebekan itu kakaknya menderita sakit perut yang parah.

“Adikku tidak ingin membicarakan hal ini. Saya pikir dia tertekan perasaannya. Selama seminggu setelah kejadian, kami tidur bersama orang tua kami. Kami tidak ingin kembali ke kamar tempat semua ini terjadi,” katanya.

Sekitar 30 aktivis dan akademisi Muslim ditahan dan diinterogasi dalam penggerebekan polisi di 60 alamat berbeda pada 9 November dalam operasi yang disebut Operasi Luxor. Mereka dituduh mendirikan organisasi teroris, dukungan keuangan untuk terorisme, pembentukan kejahatan terorganisir, dan pencucian uang di Austria.

Penggunaan kekuatan yang tidak proporsional oleh polisi terhadap orang-orang yang dikenal masyarakat dan memperlakukan mereka sebagai teroris menimbulkan reaksi dari berbagai lapisan masyarakat. Banyak LSM, jurnalis, dan penulis menyerukan agar masalah ini segera diklarifikasi.

 

https://www.aa.com.tr/en/europe/austrian-muslim-family-cannot-forget-terror-operation-/2087758

 
Berita Terpopuler