Pembatasan Natal oleh Hamas di Gaza Memicu Kontroversi

Hamas memberlakukan pembatasan Natal tahun ini

EPA
Hamas memberlakukan pembatasan Natal tahun ini, Umat Kristiani di Gaza.
Rep: Dea Alvi Soraya Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA— Otoritas Umum Pemberitaan dan Bimbingan di Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Palestina melalui salah satu direkturnya Dr Walid Owaidah, memutuskan untuk mengikuti perintah Hamas, untuk membatasi perayaan Natal di Gaza. 

Baca Juga

Keputusan ini sontak menuai kritik tajam dari banyak warga Palestina, terutama umat Kristen, menyusul tidak adanya kaitan antara keputusan tersebut dengan merebaknya pandemi di jalur Gaza.  

Disisi lain, dalam dokumen yang dikeluarkan 15 Desember lalu, Hamas mengklaim bahwa anjuran tersebut hanya berlaku bagi Muslim yang berencana menghadiri perayaan natal. Dokumen tersebut juga  merekomendasikan serangkaian tindakan untuk "membatasi interaksi" dengan perayaan Natal di Jalur Gaza. 

Langkah-langkahnya antara lain mengeluarkan fatwa dan kampanye online yang melibatkan para penceramah Muslim tentang perlunya memberlakukan pembatasan pada perayaan Natal. 

Beberapa warga Palestina mengutuk langkah Hamas sebagai "rasis" dan mengatakan itu adalah tanda tindakan keras gerakan Islam yang sedang berlangsung terhadap orang Kristen Palestina. 

"Ini adalah dokumen berbahaya oleh Hamas," kata aktivis hak asasi manusia yang berbasis di Ramallah, Shaheen Fahmi. Ini adalah kejahatan dan mereka yang bertanggung jawab harus dimintai pertanggungjawaban, ujarnya yang dikutip di Jarusalem Post, Ahad (20/12).

Aktivis politik Mohammad Abdel Salam mengatakan, keputusan Hamas tidak berbeda dengan yang diambil ISIS dan Taliban. Ozrang-orang ini tidak mengakui orang Kristen sebagai penduduk asli negeri itu,” tambahnya. 

Mohammed Abu Jayyab, seorang jurnalis dari Jalur Gaza, mengatakan bahwa dia berharap melihat Hamas menyusun rencana "untuk mengekang korupsi pejabat dan pelanggaran hak-hak orang" daripada menargetkan orang Kristen.

“Setiap tahun, kami menegaskan bahwa kami tidak mampu membawa perubahan positif,” tulis Abu Jayyab di halaman Facebook-nya. Kami terus mematuhi semua rencana dan kebijakan yang gagal, kata dia.

Persatuan Demokratik Palestina (FIDA), sebuah kelompok PLO sekuler, menyatakan kemarahan atas keputusan Hamas, menjulukinya sebagai "Penyimpangan terang-terangan dari nilai-nilai toleransi dan persaudaraan yang selalu berlaku di antara rakyat Palestina, Kristen dan Muslim," ujarnya.

 

 

Kelompok tersebut mengatakan bahwa keputusan tersebut adalah pelanggaran yang jelas terhadap Deklarasi Kemerdekaan [Palestina] dan Hukum Dasar Palestina, yang menetapkan penolakan Intoleransi dan menekankan hak semua untuk secara bebas menjalankan ritual keagamaan. Menurutnya, keputusan rasis yang dirilis Hamas dapat menimbulkan ancaman bagi perdamaian sipil Palestina, memprovokasi perselisihan sektarian.

Front Perjuangan Rakyat Palestina, kelompok politik PLO lainnya, juga mengutuk kebijakan dan tindakan gerakan Hamas yang menargetkan kebebasan publik dan hak yang dijamin hukum Palestina.

Karakteristik terpenting dari masyarakat Palestina adalah toleransi dan hidup berdampingan di antara semua komponen rakyat Palestina. Keputusan Hamas adalah serangan terhadap kebebasan dan pelanggaran serius terhadap hak-hak bagian integral dari rakyat Palestina kami," tulis kelompok itu dalam sebuah pernyataan.

Kelompok tersebut menuding keputusan Hamas tidak terkait dengan upaya membendung penyebaran COVID-19. "Ini menegaskan tanpa keraguan bahwa keputusan itu berasal dari visi sektarian yang sempit," tambahnya. Dia juga memperingatkan Hamas tentang bahaya kebijakannya yang menyebarkan racun perpecahan di antara orang-orang Palestina.

Ilustrasi pohon Natal- (ANTARA/Didik Suhartono)

Kementerian Wakaf dan Urusan Agama yang dikendalikan Hamas pada Sabtu malam mengeluarkan "klarifikasi" terkait keputusan kontroversial tersebut. "Kebijakan kami didasarkan pada toleransi dalam Islam, yang mendukung kebebasan beribadah," kata kementerian itu.

“Umat Kristen di Palestina pada umumnya, dan di Jalur Gaza pada khususnya, adalah mitra di tanah air, perjuangan dan perjuangan, dan kami mewakili bersama mereka nilai-nilai tertinggi hidup berdampingan manusia dan memiliki hubungan strategis dengan mereka. Pemerintah [Hamas] mengamankan ritual keagamaan mereka dan melindungi gereja serta tempat perayaan mereka," jelasnya.

Menurut kementerian, dokumen tentang perayaan Natal itu ditujukan kepada umat Islam yang berpartisipasi dalam acara keagamaan non-Muslim dan tidak ada hubungannya dengan umat Kristen yang mengadakan perayaan mereka. 

Jumlah orang Kristen di Jalur Gaza telah menurun secara signifikan dalam dekade terakhir. Pada 2009, diperkirakan ada 3.000 orang Kristen di Jalur Gaza. Saat ini, ada kurang dari 1.000 orang yang masih tinggal di daerah kantong pesisir yang dikuasai Hamas.

 

Sumber: https://www.jpost.com/arab-israeli-conflict/gaza-news/hamas-bans-muslims-from-attending-christmas-celebrations-in-gaza-652637

 
Berita Terpopuler