Dilema Kuburkan Jenazah Muslim Covid Sri Lanka di Maladewa

Mengubur jenazah Muslim di Maladewa makin menyuburkan diskriminasi di Sri Lanka.

AP Photo/Eranga Jayawardena
Dilema Kuburkan Jenazah Muslim Covid Sri Lanka di Maladewa. Petugas pemakaman menunggu jenazah Covid-19 untuk dikremasi di pemakaman di Kolombo, Sri Lanka, Jumat (11/12).
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Seorang pakar hak asasi manusia pada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengecam rencana Maladewa mempertimbangkan penguburan bagi Muslim Sri Lanka yang meninggal karena Covid-19. Dalam sebuah pernyataan pada Rabu (16/12), pelapor khusus PBB untuk kebebasan keyakinan, Ahmed Shaheed, mengatakan langkah memakamkan jenazah Covid-19 Muslim di Maladewa bisa memungkinkan marjinalisasi lebih lanjut terhadap komunitas Muslim di Sri Lanka.

Baca Juga

Pernyataan Shaheed itu muncul di tengah meningkatnya kritik terhadap aturan pemerintah Sri Lanka yang memerintahkan kremasi bagi warga yang meninggal karena Covid-19, termasuk Muslim. Mayoritas penduduk Sri Lanka beragama Buddha.

Namun, langkah itu dikritik umat Muslim dan dinilai diskriminatif dari pemerintahan Presiden Gotabaya Rajapaksa. Kremasi bertentangan dengan syariat Islam. Dalam Islam, jenazah harus dikuburkan dan dibaringkan menghadap ke arah kiblat di Makkah.

Selain itu, umat Muslim Sri Lanka juga bersikeras  penguburan harus dilakukan di negara mereka sendiri. Di ibu kota Sri Lanka, Kolombo, seorang pria Muslim mengatakan dia menganggap kebijakan kremasi pemerintah Rajapaksa bermotivasi rasial.

Mohideen, yang bibinya dikremasi setelah dia meninggal karena Covid-19, mengatakan pemerintah telah menjadikan ini masalah politik. Kini orang Sinhala berpikir jika mereka diizinkan dimakamkan, itu akan menjadi kekalahan politik bagi mereka.

NFM Fahim, yang bayinya berusia 20 hari juga dikremasi pekan ini. Dia mengatakan sangat terpukul oleh tindakan tersebut.

"Saya tidak tega menerima abu. Luka saya akan mulai sembuh hanya jika mereka mengakhiri kremasi paksa," kata pria berusia 38 tahun itu kepada Aljazirah, dilansir Kamis (17/12).

Putra Fahim, Syekh, termasuk di antara 19 korban Covid-19 Muslim yang dikremasi oleh pemerintah Sri Lanka atas keinginan keluarga mereka pekan ini. Tindakan itu dilakukan setelah Mahkamah Agung negara itu menolak petisi yang menentang kebijakan kremasi pada 1 Desember 2020. Pengadilan tidak memberikan alasan atas tindakan tersebut.

Fayaz Joonus, salah satu pemohon, menyebut kebijakan tersebut menyedihkan dan traumatis. Dia mengatakan Sri Lanka adalah satu-satunya negara di dunia yang memaksa Muslim mengkremasi orang mati.

Sebelumnya pada Senin, negara tetangga yang merupakan Muslim Sunni, Maladewa, melalui Menteri Luar Negerinya Abdulla Shahid mengumumkan pemerintah tengah mempertimbangkan permintaan khusus dari Rajapaksa untuk memfasilitasi upacara pemakaman Islam di Maladewa bagi Muslim Sri Lanka yang meninggal karena Covid-19. 

Baca juga: MUI Desak Sri Lanka Cabut Aturan Kremasi Jenazah Muslim

 

Namun demikian, tanggapan Maladewa atas permintaan Rajapaksa itu dipandang pakar HAM PBB sebagai hal yang mengkhawatirkan. Shaheed juga menekankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengizinkan kremasi dan penguburan bagi orang yang meninggal karena Covid-19.

"Sepertinya permintaan itu tidak datang dari komunitas Muslim atau dengan persetujuan mereka. Pada akhirnya bisa memungkinkan peminggiran (marjinalisasi) lebih lanjut terhadap komunitas Muslim di Sri Lanka," kata Shaheed dalam sebuah pernyataan kepada Aljazirah.

Sri Lanka memberlakukan kebijakan kremasi pada Maret 2020. Mereka beralasan virus corona dapat mencemari air tanah. Tindakan itu menuai kritik dari PBB dan kelompok hak asasi, serta politikus oposisi di Sri Lanka.

Namun demikian, pemerintah belum mengonfirmasi apakah Rajapaksa meminta Maladewa memfasilitasi penguburan tersebut. Juru bicara presiden Keheliya Rambukwella mengatakan kepada Aljazirah pada Rabu, masalah tersebut tidak pernah dibahas dengan kabinet.

Para pejabat Sri Lanka telah menyarankan Maladewa memulai langkah tersebut. Wakil Direktur Jenderal Layanan Kesehatan Masyarakat, Hemantha Herath, mengatakan kepada Daily Mirror pada Senin bahwa pemerintah Maladewa telah turun tangan untuk memfasilitasi penguburan.

"Karena mereka terpecah menjadi pulau-pulau, dan tidak menghadapi masalah yang sama seperti kita. Pemerintah Maladewa telah menawarkan untuk menguburkan mayat di salah satu pulau mereka. Kami tidak tahu seberapa praktis ini sampai kelayakan dilakukan. Opsi praktis belum dieksplorasi. Hanya dengan begitu kita bisa tahu apakah ini akan terjadi atau tidak," katanya.

Sementara itu, pemerintah Maladewa mengatakan, konsultasi atas permintaan Rajapaksa yang dilakukan selama panggilan telepon pada Senin dengan mitranya dari Maladewa, Ibrahim Mohamed Solih, terus berlanjut.

"Kami sedang mempertimbangkan apa yang akan menjadi tanggapan yang tepat dan manusiawi," kata juru bicara Solih, Ibrahim Hood.

Akan tetapi, tanggapan Maladewa tersebut justru menuai beragam pesan dan kemarahan. Banyak orang Maladewa yang menggunakan media sosial untuk mengungkapkan kemarahan mereka.

Salah satunya Aya Naseem, yang menyebut hal itu mendukung rasialisme terhadap Muslim dengan kedok kepahlawanan Islam. Sementara Afa Rameez menggambarkan langkah tersebut seperti Maladewa bermain ketika Sri Lanka tengah melakukan Islamofobia.

 

Baca juga: Tak Ada Kremasi Jenazah Covid Berkat Relawan Muslim Myanmar

 

Namun, ada pula yang mendukung Maladewa membantu pemakaman Muslim. Mantan Menteri Urusan Islam, Mohamed Shaheem Ali Saeed, mengatakan dia yakin Maladewa harus membantu Muslim Sri Lanka jika hak-hak mereka ditolak. Dalam unggahan di Twitter, ia menulis jenazah Muslim tidak boleh dikremasi.

Menurut otoritas kesehatan negara, sekitar 55 dari 157 kematian akibat Covid-19 adalah Muslim. Sri Lanka telah mencatat total 34.121 kasus sejak awal pandemi.

Bulan lalu, Hanaa Singer, koordinator PBB untuk Sri Lanka, memohon kepada pemerintah Sri Lanka untuk merevisi pendiriannya tentang kremasi dan mengizinkan penguburan yang aman dan bermartabat bagi korban Covid-19.

"Saya khawatir tidak mengizinkan penguburan berdampak negatif pada kohesi sosial dan yang lebih penting, juga dapat berdampak buruk pada tindakan untuk menahan penyebaran virus karena dapat membuat orang enggan mengakses perawatan medis ketika mereka memiliki gejala atau riwayat kontak," katanya dalam sebuah surat.

Amnesty International juga mengecam aturan kremasi awal bulan ini, dengan mengatakan Muslim Sri Lanka menghadapi ketakutan tidak bisa menguburkan orang yang mereka cintai dan kehilangan martabat di momen terakhir itu. Mereka juga mencatat untuk menambah penghinaan terhadap luka itu, keluarga dipaksa menanggung biaya kremasi.

Rambukwella, juru bicara pemerintah Sri Lanka, membantah tuduhan diskriminasi. Ia menambahkan, kebijakan tersebut direkomendasikan oleh panel ahli yang ditunjuk oleh pemerintah.

"Saya ingin menegaskan kembali kami tidak tergerak oleh rasialisme dan kami tidak ingin mendiskriminasi. Kami akan selalu mendengarkan para ahli dan memutuskan apa yang mereka katakan. Kami tidak mengambil keputusan sewenang-wenang. Kebijakan tentang kremasi berlaku untuk semua. Hukum ini tidak hanya berlaku untuk Muslim," katanya.

Sementara itu, para politikus Muslim mengatakan mereka tidak dapat menerima tawaran Maladewa untuk menguburkan korban Covid-19 Sri Lanka. "Saya berterima kasih atas tawaran murah hati dari Maladewa. Namun, kami tidak dapat menerima tawaran ini karena hanya akan menutupi pelanggaran berat terhadap hak-hak umat Islam. Kami ingin dimakamkan di Sri Lanka. Di tanah kami. Pemerintah menentang ilmu pengetahuan dan tekanan internasional," kata mantan legislator Ali Zahir Moulana.

Pemimpin Kongres Muslim Sri Lanka, Rauff Hakeem, juga menolak penguburan di Maladewa. Sebaliknya, dalam sebuah surat yang diunggah di Twitter pada Rabu, dia mengatakan Muslim akan menuntut pemerintah membatalkan kebijakan kremasi yang tidak berdasar pada ilmu epidemiologi.

"Kami akan menolak setiap upaya pemerintah menggunakan tawaran ini untuk menyangkal hak dasar kami untuk hidup dan dimakamkan di negara kami tercinta dengan bermartabat," ujarnya.

Muslim membentuk hampir 10 persen dari 21 juta penduduk Sri Lanka. Sejak berakhirnya perang berdarah selama puluhan tahun antara separatis Tamil dan militer pada 2009, mereka menghadapi permusuhan yang meningkat dari nasionalis Buddha Sinhala.

Kelompok garis keras menuduh Muslim memiliki tingkat kelahiran yang tinggi dan memaksa orang-orang masuk Islam untuk mengurangi mayoritas Buddha Sinhala di Sri Lanka. Masyarakat Buddha sendiri mencatat 70 persen dari populasi negara itu.

Dalam beberapa tahun terakhir, gerombolan orang - yang sering dihasut oleh biksu Buddha garis keras menargetkan rumah dan bisnis Muslim, serta tempat ibadah mereka. Permusuhan kemudian meningkat setelah serangan bunuh diri mematikan di gereja dan hotel pada April 2019 yang diklaim oleh kelompok ISIS. 

 

https://www.aljazeera.com/news/2020/12/16/maldives-marginalising-sri-lanka-muslims-with-covid-burial-plan 

 
Berita Terpopuler