Ulama dan Kekuasaan: Bagaimana Petunjuk Alquran?

Polemik kekuasaan dan ulama lestari sepanjang zaman

historia
Serdadu Belanda menangkapi para ulama dan haji yang dituduh sebagai biang pengobar pemberontakan Petani Banten pada 1888. Ulama kala itu mewakili suara rakyat kecil yang hidupnya sangat sengsara karena terjadi keidakadian sosial yang dibuat oleh kolonial.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh: Dr. Anwar Mujahidin, Dosen Ilmu Tafsir IAIN Ponorogo

Beberapa minggu terakhir setelah kepulangan Habib Rizieq Shihab ke tanah air, menguat wacana adanya gangguan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bahkan ada yang eksplisit menyebutkan adanya ancaman terhadap pemerintahan yang sah.

Tudingan tudingan tersebut patut diduga kuat dialamatkan kepada kelompok keagamaan tertentu, karena kemudian menguat wacana hubungan agama dan kekuasaan. Bahkan banyak pihak termasuk tentara ikut berkomentar bagaimana seorang ulama seharusnya memerankan diri.   

Banyak sudut pandang yang bisa disodorkan untuk menyoroti bagaimana hubungan agama dan kekuasaan dan bagaimana ulama seharusnya memerankan diri dalam konstelasi kehidupan kebangsaan. Di antara sudut pandang tersebut, tinjauan normatif terhadap kitab suci  umat Islam, sudah selayaknya dilakukan karena ia merupakan rujukan primer untuk medapat pencerahan, bagaimana ayat-ayat al-Qur`an mengajarkan hubungan dengan kekuasaan. Apakah mengingatkan penguasa pemerintahan bukan tugas ulama? Apakah ulama harus selalu bersikap lembut?

Ternyata kalau kita tinjau dalam al-Qur`an banyak sekali ditemukan ayat-ayat tentang pemerintahan terutama berwujud kisah-kisah para nabi yang diperintah untuk menghadapi rezim yang berkuasa, sebut saja Ibrahim dengan Namrud, Sulaiman dengan Ratu Balqis, Musa dengan Fir`aun , Dawud dengan Jalut dan tentu Nabi Muhammad saw dengan Abu Jahal pemimpin suku Quraish.      

Kisah yang paling fenomenal berkaitan dengan tugas kenabian dan penguasa pemerintahan adalah kisah Musa. Kisah Musa termasuk kisah yang mendominasi surat surat al-Qur`an karena tersebar dalam 33 surat al-Qur`an. Sebagian di ataranya adalah kisah yang diulang-ulang yaitu episode Musa menghadapi Fir`aun.  Perintah Tuhan agar Musa menghadapi Fir`au di antaranya terdapat dalam surat al-A`raf ayat  103 dan al-Qashash ayat 32. 

Musa sebenarnya merasa berat ketika diberi mandat untuk menghadapi Fir`aun. Wahyu Tuhan kepada Musa diturunkan ketika Musa masih dalam perjalan kembali ke Mesir tempat Fir`aun berkuasa setelah sekian tahun mengasingkan diri.

Musa pada awalnya tidak sengaja membunuh seseorang yang satu suku dengan Fir`aun, karena niat awal Musa adalah melerai dua orang yang sedang bertikai. Karena Musa mendapat informasi akan mendapat hukuman mati, maka Musa melarikan diri keluar Mesir.

Maka ketika Musa selesai dari pengasingan dan mendapat tugas menghadapi Fir`aun, Musa menyampaikan kekhawatirannya kepada Tuhan kalau Fir`aun akan menhukumnya dengan hukum mati karena kesalahan yang pernah ia perbuat.

Tuhan kemudian mengutus Harun untuk membantu Musa, karena Harun lebih fasih lisannya untuk berargumentasi dihadapan Fir`aun dan para pembesar kerajaanya. Musa juga dibekali serangkaian mukjizat sebagai kekuatan dan bukti bahwa ia utusan Allah.

Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah menyampaikan catatan mengenai pilihan kata ba’atsanā yang digunakan dalam surat al-A`raf ayat 103 yang berarti Kami mengutus (memberi mandat Musa untuk menghadapi Fir`aun). Quraish Shihab merujuk kepada al-Sya’rāwi yang menyatakan bahwa kata tersebut dipahami sebagai isyarat adanya fitrah yang melekat pada diri setiap insan.

Keimanan telah ada dalam diri manusia sejak manusia pertama Adam as. karena Allah yang menciptakanya secara langsung dan menugaskannya secara langsung pula.

Dengan demikian, Allah mengutus seorang nabi, tidak untuk menciptakan akidah baru, tetapi sekadar membangkitkan dan menghidupkan atau memunculkan kembali apa yang telah ada terpendam dalam diri setiap insan.

Para Nabi diutus dalam rangka membangkitkan apa yang terpendam dan meluruskan apa yang menyimpang itu. Tugas kenabian dan para pewarisnya adalah mengingatkan apa yang semestinya diperbuat oleh manusia yang itu sudah menjadi fitrah manusia.  

 

 

Kisah berikutnya baik dalam surat al-A`raf maupun al-Qashshash setelah Musa mendapat tugas menghadapi Fir`aun adalah mengenai reaksi dan respon Fir`aun dan para punggawa kerajaannya ketika Musa datang dan menyatakan diri utusan Tuhan. Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah menuturkan bahwa Musa berkata kepada Fir’aun:

"Hai Fir’aun penguasa Mesir yang agung sesungguhnya aku ini adalah utusan dari Tuhan pemelihara semesta alam. Adalah kewajiban atasku yang tidak dapat aku abaikan untuk mengatakan sesuatu terhadap Allah dan atas nama-Nya kecuali yang haq, bahwa sesungguhnya aku datang kepada kamu wahai Fir’aun dan para pembesar Mesir dengan membawa bukti yang nyata berupa aneka mukjizat yang bersumber dari Tuhan pemelihara kamu semua. Untuk itu hendaklah kamu lepaskan Bani Israil pergi bersama aku menuju Bait al-Maqdis, karena ke sanalah kami diperintah pergi oleh Allah Swt.

Mendengar seruan Musa, Fir’aun kemudian menjawab, “Jika benar engkau membawa suatu bukti tentang kebenaran ucapanmu, maka datangkanlah bukti itu, jika betul engkau termasuk kelompok orang-orang yang benar dalam ucapan dan tindakan”.

Maka Musa langsung merespon permintaan tersebut dengan menjatuhkan tongkatnya, lalu seketika itu juga, tongkat tadi berubah menjadi ular jantan yang sangat jelas. Nabi Musa juga mengukuhkan dirinya dengan bukti yang lain yaitu dengan mengeluarkan tangannya dari bajunya atau dari ketiaknya, maka seketika itu tangannya menjadi putih bercahaya lagi indah terlihat dengan jelas oleh orang-orang yang melihat ketika itu. 

Setelah menyaksikan apa yang dipaparkan oleh Musa dan bukti-buktinya bahwa kedatangannya adalah perintah dari Allah, maka para pembesar kerajaan menyampaikan tanggapannya mengenai penyataan dan sikap Musa kepada Fira`an.

Dalam surat al-A`raf ayat 109, para pembesar kerajaan Fir`aun menyatakan bahwa sungguh apa yang ditunjukkan Musa adalah sihir yang nyata.

Ayat berikutnya yakni 110 menyatakan bahwa para pembesar itu juga menyatakan bahwa Musa berkehendak mengeluarkan Fir`aun dan kaumnya dari bumi Mesir (makar), maka para pembesar kerajaan meminta keputusan Fir`aun.

Para pembesar dan mengelilingi raja Fir`aun  tidak percaya terhadap mukjizat yang disampaikan oleh Musa dan menuduhnya sebagai permainan sihir atau tipuan pandangan mata. Selanjutnya, para punggawa kerajaan Fir`aun justru menuduh Musa hendak mengeluarkan Fir’aun dari negerinya, artinya Musa dianggap ingin makar dan menggulingkan kekuasaan Fir`aun. 

Tantangan Musa menghadapi Fir`aun dan para pembesar kerajaannya yang dikisahkan berulang di dalam al-Qur`an memberi pelajarang mengenai bagaimana seseorang yang membawa misi kenaibian kepada penguasan suatu pemerintahan akan menghadapi setidaknya dua hal.

Pertama akan disepelekan bukti-bukti dan argumentasi yang dibawanya. Argumen yang disampaikan seorang pembawa misi kenabian akan dianggap tipuan, sihir dan mungkin lelucon. Hal demikian dimaksudkan untuk menunjukkan taring kesombongan para penguasan untuk melemahkan siapa saja yang dianggap hendak melawan kekuasaannya.

Namun pada akhirnya, para ahli yang dalam konteks kisah Musa dengan Fir`aun adalah ahli sihir yang diundang dan dibayar oleh istana justru dapat membuktikan bahwa bukti-bukti yang disampaikan Musa tersebut bukan sihir.

Para ahli dapat membuktikan bahwa apa yang disampaikan Musa memang sesuatu yang haq yang berasal dari Tuhan. Dengan demikian, pembawa kebenaran akan menghadapi cacian-cacian yang merendahkan terutama dari orang-orang yang mengelilingi penguasa yakni para penjilat yang ingin mempertahankan posisinya.  

Respons kedua yang dihadapi oleh para nabi dan pewarisnya yang terdiri dari para ulama yang hendak membawa misi kebenaran kepada penguasa pemerintahan, akan dipandang sebagai tindakan mengganggu stabilitas negara, mengancam pemerintah yang sah dan makar.

Misi Musa menghadap Fir`aan sebenarnya hanyalah agar Fir`aun membebaskan Bani Israil dari perbudakan Fir`aun dan membawa mereka keluar Mesir menuju Bait al-Maqdis di Palestina.

Tetapi permintaan untuk mengubah kebijakan pemerintah yang sah seperti itu selalu dianggap oleh para penjilat penguasa sebagai merongrong wibawa pemerintah yang berkuasa, bahkan dianggap sebagai sebuah bentuk kudeta.

Para pembesar dan pejabat penting yang mengelilingi seorang penguasa akan membesarkan-besarkan sesuatu permintaan terhadap perubahan kebijakan yang semestianya biasa saja. Kritik dan perubahan semestinya dapat dimusyarahkan, tetapi bagi penguasa dan orang-orang yang mengelilinginya akan dianggap seseuatu aib yang mengganggu stabilitas kekuasaannya.

Kegaduhan ternyata bukan berasal dari suara kebenaran yang disampaikan, namun respons para pihak yang haus kekuasaan yang terusik dengan suara nyaring kebenaran.

Wallahu`alam      

 

 
Berita Terpopuler