Erdogan ke Putin: Armenia tak Boleh Hindari Tanggung Jawab

Erdogan berharap pusat pemantauan Turki dan Rusia di Nagorno Karabakh segera aktif.

AP
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Rep: Lintar Satria Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memberi tahu Presiden Rusia Vladimir Putin seharusnya Armenia tidak boleh dibiarkan menghindari tanggung jawab melanggar gencatan senjata dengan Azerbaijan. Hal ini disampaikan saat dua kepala negara melakukan sambungan telepon.

Pada Rabu (25/11) media Turki, Daily Sabah melaporkan Erdogan juga berharap pusat pemantauan Turki-Rusia di Nagorno-Karabakh dapat segera aktif. Dalam kesempatan itu ia kembali menegaskan sensitivitas Turki mengenai integritas wilayah Azerbaijan.

Erdoğan juga mengatakan kritik dari ketua Minsk Group lainnya tidak dapat dimengerti. Prancis, Amerika Serikat (AS), dan Rusia tergabung Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) Minsk Group.

Kelompok yang dibentuk pada 1992 itu bertujuan untuk meraih kesepakatan damai dalam konflik Armenia-Azerbaijan. Walaupun tidak berhasil menciptakan solusi damai tapi ada kesepakatan gencatan senjata pada 1994.

Hubungan Armenia dan Azerbaijan yang sama-sama bekas wilayah Uni Soviet memanas sejak 1991. Militer Armenia menduduki Nagorno-Karabakh, wilayah yang internasional akui bagian dari Azerbaijan.

Usai bentrokan yang dimulai pada 27 September lalu Armenia-Azerbaijan menggelar kesepakatan gencatan senjata. Pada 10 November lalu kedua negara menandatangani perjanjian yang ditengahi Rusia .

Baku membebaskan beberapa kota, hampir 300 pemukiman dan desa-desa dari pendudukan Armenia dalam perang yang berlangsung selama 44 hari. Perjanjian tersebut dinilai kemenangan bagi Azerbaijan dan kekalahan bagi Armenia.

Salah satu sumber mengatakan dalam sambungan telepon tersebut Erdoğan dan Putin juga membahas cara untuk meningkatkan volume perdagangan serta pembangunan di Suriah dan Libya. Erdoğan juga menekankan pentingnya kerja sama Turki-Rusia dalam stabilitas di Libya.

Baca Juga

 
Berita Terpopuler