Salah Kaprah Jabatan dan Panggilan Profesor di Indonesia

Literasi publik mengenai jabatan profesor masih rendah.

Dede Lukman Hakim/Republika
Wisuda sarjana (ilustrasi)
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa saat yang lalu, Ichsan Emrald Alamsyah (Republika, 2020) mengulas kontroversi penyematan panggilan profesor atas diri Hadi Pranoto. Di dalam video yang diunggah di Youtube dengan judul “Bisa Kembali Normal? Obat Covid-19 Sudah Ditemukan!!,” Hadi Pranoto yang diberi label profesor mengaku sudah menemukan obat untuk infeksi Covid-19. Video yang diunggah di kanal seorang artis di Indonesia itu sudah diturunkan oleh YouTube karena dianggap berisi informasi yang tidak benar mengenai klaim obat Covid19. Tidak hanya itu, label profesor yang diberikan kepada Hadi Pranoto ternyata tidak memiliki dasar yang jelas. 

Salah kaprah mengenai penggunaan istilah profesor sebagai gelar dan bukan sebagai jabatan masih terjadi di masyarakat sebagaimana pernah dibahas oleh Hasanudin Abdurakhman (Detik, 2019) dan Adnan Kasry (Riau Pos, 2006). Literasi publik mengenai jabatan profesor masih rendah.

Di dalam percakapan sehari-hari, kita bisa mendapati orang tua mendoakan anaknya bersekolah hingga jenjang profesor. Padahal tidak ada sekolah yang menerbitkan ijazah untuk gelar profesor.

Jenjang pendidikan tertinggi yang memberikan gelar adalah jenjang S3 atau doktoral. Sementara itu, profesor adalah jabatan fungsional tertinggi untuk profesi dosen atau peneliti. Di luar profesi dosen atau peneliti, jabatan profesor tidak bisa diperoleh dan disematkan sembarangan.

Jabatan Profesor di Indonesia

Dosen di dalam karirnya mempunyai jenjang jabatan fungsional. Jabatan fungsional ini mempengaruhi gaji yang diterimanya setiap bulan. Dosen baru belum mempunyai jabatan fungsional. Sesudah setahun resmi menjadi dosen tetap, jika memenuhi syarat seorang dosen bergelar master bisa mengajukan jabatan fungsional pertamanya yaitu asisten ahli sedangkan untuk yang bergelar doktor bisa langsung mengajukan jabatan fungsional ke jenjang lektor.

Urutan jenjang jabatan fungsional dosen dari paling rendah hingga paling tinggi adalah asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor. Profesor sebagai jabatan fungsional tertinggi mempunyai padan kata guru besar.

Berdasar Keputusan Menristek Dikti Nomor 164/M/KPT/2019 tentang Penyebutan Jabatan Akademik Dosen dalam Bahasa Inggris, dosen baru yang belum memiliki jabatan fungsional atau jabatan akademik mendapatkan padanan kata lecturer di dalam bahasa Inggris. Sesudah itu, padanan kata dalam bahasa Inggris untuk empat jabatan fungsional dosen berturut-turut adalah assistant professor untuk asisten ahli dan lektor, associate professor untuk lektor kepala, dan professor (full Professor) untuk profesor. Keputusan ini berlaku di seluruh perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Keputusan Menristek Dikti ini memberikan kejelasan aturan dari penyebutan di dalam bahasa Inggris untuk jabatan fungsional dosen.

Mereka yang berprofesi sebagai peneliti mempunyai jenjang jabatan fungsional yang berbeda. Jabatan fungsional tertinggi adalah profesor (riset) atau peneliti ahli utama. Sedangkan jenjang karir di bawah peneliti ahli utama secara berturut dari tingkat yang paling rendah adalah peneliti ahli pertama atau assistant researcher, peneliti ahli muda atau junior researcher, dan peneliti ahli madya atau senior researcher. Jabatan ini didasarkan pada Peraturan LIPI Nomor 20 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Peneliti.

Berdasarkan keterangan di atas, setiap dosen di Indonesia selama mempunyai jabatan akademik sebenarnya bisa dipanggil profesor. Di dalam dunia akademik internasional, jabatan profesor apa pun jenjangnya baik assistant professor maupun associate professor sebenarnya lazim untuk dipanggil profesor.

Ini berbeda dengan mereka yang berkarier sebagai peneliti yang harus menunggu hingga mencapai jabatan fungsional peneliti ahli utama untuk dapat dipanggil sebagai profesor. Perbedaan yang ada antara dosen dengan peneliti ini mengikuti aturan resmi yang berlaku tentang jabatan fungsional kedua profesi.

Selain hal yang telah diterangkan di atas, ada hal lain yang membuat dosen di Indonesia yang belum full professor tidak lazim dipanggil sebagai profesor. Jika kita cek di dalam KBBI, jabatan profesor merujuk kepada jenjang kepangkatan tertinggi dosen dan bersinonim dengan guru besar. Ini artinya jabatan fungsional atau akademik “keprofesoran” yang bukan tertinggi, atau belum (full) professor atau guru besar, mengeluarkan seorang dosen dari definisi profesor di dalam kamus bahasa Indonesia.

Inilah yang berlaku di Indonesia di dalam percakapan sehari-hari hingga kini. Walaupun sebenarnya seorang dosen saat sudah memiliki jabatan fungsional paling rendah yakni asisten ahli atau assistant professor dapat dikatakan memiliki dasar aturan untuk disebut sebagai profesor tetapi panggilan profesor hanya diberikan kepada mereka yang sudah mendapat jabatan fungsional tertinggi, guru besar atau (full) professor. 

Di Amerika Serikat dan Malaysia

Panggilan profesor kepada dosen dengan tidak memandang jabatan fungsional atau latar belakang pendidikan terakhirnya berlaku di Amerika Serikat. Panggilan profesor di Amerika Serikat menurut Gary Stute (Quora, 2016) digunakan di dalam percakapan yang sifatnya santai nonformal atau terkadang menurut Jenny Davidson (Quora, 2016) juga dipakai sebagai panggilan di dalam situasi formal atas seorang dosen dengan tidak memperdulikan status tenure (menapak karir profesi perdosenan) dan tingkat pendidikan terakhirnya. Meski demikian, sebutan profesor atas dosen di Amerika Serikat di dalam percakapan ini berbeda dengan penggunaan dalam dokumen tertulis.

Di dalam dokumen tertulis aturannya lebih kaku. Assistant professor disingkat asst. prof. kemudian associate professor kadang dituliskan dengan singkatan assc. prof. dan bukan prof. saja. Perbedaan di dalam penulisan gelar ini membedakan antara dosen berjabatan assistant professor, associate professor, dengan professor. Jadi ada perbedaan praktik antara panggilan dengan penulisan jabatan dosen.

Sementara itu, berdasarkan pemaparan Hafiz Al Kalanji (The Patriots, 2018), secara umum dapat dikatakan jabatan profesor di Malaysia hampir sama dengan di Indonesia. Di antara beberapa model jabatan keprofesoran yang ada di Malaysia, terdapati ada dua jabatan profesor yang mungkin menarik dibicarakan di sini yaitu profesor diraja dan profesor kehormat.

Jabatan pertama diberikan kepada seorang ahli yang diakui kepakarannya secara global dan mendapatkan perkenan dari Yang di-Pertuan Agong untuk menyandang ini. Di Indonesia, kita tidak mempunyai profesor model ini.

Jabatan keprofesoran kedua, profesor kehormat, diberikan di Malaysia kepada tokoh yang berpengaruh di dalam masyarakat tanpa disertai beban kewajiban tertentu. Di Indonesia, jabatan profesor kehormat ini tampaknya mirip dengan jabatan profesor atau guru besar tidak tetap.

Jabatan profesor atau guru besar tidak tetap di Indonesia mempunyai dasar aturan Surat Dirjen Dikti no. 454/E/KP/2013 tanggal 27 Februari 2013, Pasal 72 ayat 5 UU Nomor 12 Tahun 2012 dan Peraturan Mendikbud Nomor 40 Tahun 2012. Berdasarkan aturan ini, seseorang dapat diangkat menjadi guru besar tidak tetap dengan tidak perlu memiliki status sebagai dosen tetap, tidak terikat dengan kewajiban menjalankan Tri Dharma perguruan tinggi, tidak diberikan tunjangan jabatan, dan diangkat karena memiliki karya yang bersifat tacit knowledge.

Dua orang tokoh yang telah mendapat jabatan guru tidak tetap ini adalah SBY dan AM Hendropriyono. Berkenaan dengan penganugerahan jabatan atas SBY dan AM Hendropriyono ini, Guru Besar UGM di bidang Manajemen dan Kebijakan Publik Muhadjir Darwin (Kompas, 2014) sebenarnya mempermasalahkan tolok ukur yang dipergunakan di dalam pengangkatan keduanya. Namun tulisan ini tidak hendak membicarakan hal tersebut lebih jauh.

Lepas dari itu, panggilan profesor yang diberikan kepada dosen di Malaysia juga berlaku seperti di Indonesia. Berdasar tulisan seorang dosen Malaysia Othman Talib (2011) di laman pribadinya, panggilan profesor hanya diberikan kepada dosen yang sudah mencapai jabatan akademik professor penuh [full professor] sedangkan kepada mereka yang belum mencapai jenjang jabatan akademik professor penuh dipanggil sesuai dengan gelar akademiknya yaitu Doktor untuk yang bergelar Dr. atau Ph.D. dan En atau Puan untuk mereka yang bergelar akademik Master.

Profesor sesudah Pensiun atau Meninggal

Jabatan profesor bukan jabatan yang dibawa mati. Jika seseorang berjabatan fungsional profesor meninggal atau pensiun dan sudah tidak aktif di dunia akademik, maka penyematan jabatan profesor atas dirinya seharusnya berhenti. Namun aturan ini tampaknya tidak diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin sebagai panggilan kepada seorang profesor yang sudah pensiun dari dunia akademik atau sudah meninggal masih bisa diterapkan seperti lazim terjadi di beberapa negara sebagai penghormatan namun di dalam dokumen tertulis seperti kartu nama dan kartu identitas seharusnya tidak boleh dilakukan.

Menurut Nurfitri Thio (2011), administrator laman web Kopertis Wilayah XII, aturan mengenai ini sudah jelas. Profesor juga bukan gelar akademik yang bisa disandang seseorang hingga liang kubur.

Profesor bukanlah gelar yang bisa terus dipakai oleh seseorang yang sudah purnabakti atau pensiun dari dunia akademik. Produk hukum yang mengatur ini terdapati di dalam pasal 1 UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 1 PP No. 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen serta Tunjangan Kehormatan Profesor, dan pasal 105 PP 60 tahun 1999.

Hal senada juga diutarakan Adnan Kasry, Guru Besar Manajemen Sumber Daya Perairan dari Universitas Riau. Di tulisan yang terbit di Riau Pos dengan judul “Profesor bukan Gelar Akademik” (2006), ia mencermati betapa banyaknya nama jalan dan gedung di beberapa kota menggunakan nama seorang tokoh yang sudah meninggal lengkap dengan atribut profesor seperti Jl. Prof. Moh. Yamin, SH di Jakarta Pusat dan RS Prof. Dr. Sulianti Saroso di Jakarta Utara. Praktik ini seharusnya dihentikan sebab menyalahi peraturan yang ada.

Profesor adalah jabatan akademik yang tersemat atas diri seseorang ketika ia masih aktif di dunia akademik yang berbeda dengan gelar akademik seperti Sarjana, Master, atau Doktor yang bisa dibawa hingga meninggal.

Profesor Sebagai Julukan  

Meskipun jabatan profesor berlaku dalam nuansa akademis, semat profesor bisa saja diberikan di dalam konteks lain seperti pujian atas prestasi yang luar biasa. Profesor model seperti ini sifatnya adalah “gelar” (sengaja saya beri tanda kutip) atau julukan penghormatan. Contoh dari penyematan julukan profesor seperti ini terjadi atas diri Arsene Wenger, mantan pelatih klub besar Liga Primer Inggris Arsenal.

Wenger merevolusi pendekatan di dalam manajemen sepakbola melalui program diet dan pengaturan nutrisi atas pemain. Ia juga manajer yang memengaruhi manajer lain di Liga Inggris dalam penggunaan sains olahraga dan statistik pemain di dalam perekrutan dan strategi. Pendekatan yang dilakukannya ini kemudian ditiru oleh banyak manajer sepakbola.

Warisan Wenger bukan hanya atas klub sepakbola Arsenal, klaim Lee Dixon (The Guardian, 2018), tetapi atas sepakbola Inggris dan pengaruhnya di dalam penulisan ulang panduan pengelolaan sepakbola modern. Tidak hanya dalam aspek olahraga, Mattias Karen (ESPN Sport, 2018) dan sebelumnya Andel (Bleacher Report, 2012) juga menunjukkan fakta bahwa Wenger adalah manajer yang paham bahwa sepakbola juga juga tentang pengembangan bakat muda dan pengelolaan keuangan klub yang efisien. Dengan pengaruh dan prestasinya di industri sepakbola itulah, Wenger mendapatkan julukan The Professor.

Di dalam bahasa Inggris, Wenger mendapatkan panggilan The Professor atau dalam bahasa Perancis, Le Professeur. Sebutan The Professor, bukan profesor, diberikan kepada Wenger. Julukan atas Wenger ini berbeda dengan jabatan profesor atas diri dosen atau peneliti. Julukan Sang Profesor ini lantas tidak membuat Wenger dipanggil sebagai Profesor atau Prof. Wenger.

Kasus Pranoto Hadi

Di dalam video yang diunggah oleh musisi Erdian Aji Prihartanto atau Anji di akunnya Dunia MANJI, Hadi Pranoto dituliskan di layar sebagai “Prof. Hadi Pranoto” dengan label sebagai “Pakar Mikrobiologi.” Apa yang terjadi adalah malapraktik penyematan jabatan profesor.

Jikapun argumen yang hendak disodorkan dari praktik penyematan profesor atas diri Hadi Pranoto adalah karena konon teman-teman Hadi Pranoto sering memanggilnya profesor di dalam pergaulan sehari-hari sebagai paraban, argumen ini lemah. Sebab bagaimanapun juga di dalam konteks video itu, ada sesuatu yang hendak diklaim oleh Hadi Pranoto yang sifatnya serius dan mungkin bisa mencelakakan orang lain. Kepakaran dalam bidang mikrobiologi sebagai penjelas dari sematan profesor, menegaskan bahwa penggunaan jabatan profesor itu bukan dalam nuansa paraban.

Tambahan pula, berturut-turut dari Hadi Pranoto didapatkan tambahan informasi lainnya yang tidak benar seperti keanggotaannya di dalam IDI dan klaim sebagai pakar dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Beberapa hal yang disampaikan oleh Hadi Pranoto justru kian menunjukkan adanya niatan yang tidak baik dari dirinya. Belum lagi misalkan kasus ini ditakar dengan kemungkinan dapat mencelakakan diri orang lain.

Tidaklah keliru jikalau kemudian pihak yang berwajib serius membawa kasus ini ke meja hijau. Kita tentu juga berharap agar di masa mendatang tidak terjadi lagi kasus seperti kasus Hadi Pranoto. Demikian.

PENULIS/ PENGIRIM: Dipa Nugraha, Universitas Muhammadiyah Surakarta

 
Berita Terpopuler