Pertempuran di Surabaya dan Tewasnya Jenderal Mallaby

Pasukan Indonesia menewaskan Mallaby dalam pertempuran 10 November.

Antara/Didik Suhartono
Pertempuran di Surabaya dan Tewasnya Jenderal Mallaby. Warga mengikuti upacara di atas Jembatan Merah, Surabaya, Jawa Timur sebagai peringatan Hari Pahlawan. Ilustrasi
Rep: Haura Hafizhah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aubertin Walter Sothern (A.W.S.) Mallaby atau juga dikenal dengan Brigadir Jenderal Mallaby adalah brigadir jenderal Britania yang tewas dalam peristiwa baku tembak 30 Oktober 1945 di Surabaya.

Baca Juga

Mallaby lahir pada 12 Desember 1899. Ia merupakan seorang perwira muda eksekutif Kerajaan Inggris dengan jejak karier yang cukup bagus.

Pada usia 42 tahun, ia mendapatkan promosi jenderal berbintang satu. Mallaby pernah menjabat sebagai perwira staf kepercayaan Laksamana Mountbatten, panglima tertinggi atas Komando Asia Tenggara (South East Asia Command/SEAC).

Saat di Surabaya, Mallaby memimpin pasukannya pada 25 Oktober 1945 untuk melucuti tentara Jepang sesuai dengan isi Perjanjian Yalta. Tujuan ini mendapat perlawanan dari pasukan Indonesia karena AFNEI menuntut mereka menyerahkan senjata-senjata yang telah dirampas Indonesia terlebih dahulu dari Jepang. 

Lalu, pada 27 Oktober 1945, sebuah pesawat terbang Dakota yang datang dari Jakarta menebarkan ribuan lembar pamflet di udara tepatnya di Surabaya, Jawa Timur. Pamflet itu berisi seruan kepada semua pihak termasuk kepada warga Surabaya agar melucuti senjata mereka atau mereka menghadapi dengan dilumpuhkan dengan senjata.

Isi pamflet tersebut adalah “Persons being arms and refusing to deliver them to the allied forces are liable to be shot (orang-orang yang menjadi senjata dan menolak untuk mengirimkannya ke sekutu nantinya dapat ditembak)”.

 

Bagi para pejuang, isi pamflet tersebut jelas menunjukkan niat Inggris untuk mendudukkan Belanda kembali sebagai penguasa di Indonesia. Seketika itu juga, sejumlah tokoh Surabaya pun mengadakan pertemuan.

Mereka membahas berbagai pertimbangan dan memperhitungkan beberapa kemungkinan. Apabila mereka menyerahkan senjata kepada sekutu berarti Indonesia akan lumpuh karena tidak mempunyai kekuatan lagi. Namun, jika tidak menyerahkan senjata ancamannya akan ditembak di tempat oleh pasukan Inggris atau sekutu.

Para pejuang Indonesia memikirkan hal tersebut, bagaimana caranya agar mereka tidak dilumpuhkan. Inggris tidak mengetahui kekuatan pasukan serta persenjataan lawannya.

Sedangkan telah diketahui dengan jelas kalau kekuatan Inggris hanyalah satu brigade atau sekitar 5.000 orang. Selain itu, mereka baru dua hari mendarat pada 25 Oktober 1945 dan dipastikan tidak mengerti tentang Surabaya.

Setelah pertemuan dan mengatur strategi dengan Carl von Clausewitz yang merupakan pakar teori militer sekutu. Terdapat keputusan, yaitu “Angriff ist die beste Verteidigung” (menyerang adalah pertahanan yang terbaik). Maka dari itu, dengan tekad yang bulat diputuskan Indonesia tidak menyerah. Perintah tersebut langsung diberikan kepada Komandan Divisi Surabaya, Mayor Jenderal Yonosewoyo.

Pada 28 Oktober 1945, terjadi serangan besar-besaran dengan satu tekad, yaitu tentara Inggris yang membantu Belanda harus dihilangkan dari Surabaya. Serangan itu di luar dugaan Inggris pimpinan Mallaby yang salah satunya melucuti tentara Jepang sesuai dengan isi Perjanjian Yalta. Inggris pun akhirnya meladeni serangan dan terjadilah pertempuran. 

 

Beberapa konflik bersenjata antara kedua pasukan salah satunya terjadi pada 30 Oktober 1945 di dekat Jembatan Merah, Surabaya. Saat itu mobil Buick yang ditumpangi Mallaby dicegat oleh pasukan Indonesia ketika ia melintasi jembatan tersebut.

Kejadian tersebut mengakibatkan baku tembak yang berakhir dengan tewasnya Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tidak diketahui identitasnya. Terbakarnya mobil Mallaby akibat ledakan sebuah granat menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali.

Kematian Mallaby menyebabkan Mayor Jenderal E.C. Mansergh, pengganti Mallaby mengeluarkan ultimatum kepada pasukan Indonesia di Surabaya pada tanggal 9 November 1945 untuk menyerahkan senjata tanpa syarat. Pada 10 November 1945, pecahlah pertempuran 10 November karena Indonesia tidak menghiraukan ultimatum ini.

Bagi Indonesia, keberhasilan menewaskan seorang jenderal yang memiliki jam terbang tinggi memimpin pasukan berperang adalah sesuatu hal membanggakan. Namun, terbunuhnya Mallaby justru memantik rasa ingin tahu siapa orang yang berhasil menewaskan Mallaby dan lantas meledakkan mobilnya.

Pada 20 Februari 1946, Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party) dalam perdebatannya di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan tuduhan dan dugaan Inggris bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan Indonesia dan Mallaby dibunuh secara licik. 

Ia mengatakan peristiwa baku tembak ini timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak dengan pasukan Indonesia. Mereka tidak mengetahui gencatan senjata sedang berlaku karena mereka putus kontak dan telekomunikasi dari Mallaby. 

Menurutnya, setelah memerintahkan penghentian baku tembak oleh pasukan India tersebut dalam satu titik dalam diskusi gencatan senjata, Mallaby kembali memerintahkan untuk memulai tembakan kembali. Hal ini berarti gencatan senjata telah pecah karena perintah Mallaby dan Mallaby tewas dalam aksi pertempuran bukan dibunuh secara licik.

 

Jenazah Mallaby dikuburkan di Jakarta. Namun, untuk siapa yang membunuhnya secara terencana belum terungkap. Sebab, tidak ada saksi mata maupun keterangan Mallaby ini dibunuh oleh siapa. Yang ada hanyalah keterangan ia tewas saat pertempuran di Surabaya saat berumur 46 tahun.

 
Berita Terpopuler