Jika Biden Menang, Israel Tetap Untung dan Iran Terancam?

Kecenderungan elite Israel lebih mendukung Donald Trump

AP/Carolyn Kaster
Israel akan melakukan pendekatan intenral jika calon presiden dari Partai Demokrat, mantan wakil Presiden Joe Biden dinyatakan menang.
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Jika Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, memenuhi syarat memberikan suara di Amerika Serikat, secara alami dan logis dia akan memilih Presiden Donald Trump. Tak hanya itu, dia akan meyakinkan semua kenalannya melakukan hal yang sama.

Baca Juga

Meski demikian, di sisi lain ada satu aliran pemikiran yang percaya jika Netanyahu telah memeras semua yang dia bisa dari presiden Amerika Serikat saat ini. Netanyahu dipercaya akan lebih menyukai masa jabatan presiden Joe Biden pertama daripada Trump kedua.

"Tidak ada yang lebih berbahaya daripada presiden masa jabatan kedua. Terutama ketika presiden itu adalah Trump yang sejak awal tidak dapat diprediksi," kata seorang sumber diplomatik senior Israel tanpa menyebut nama, dilansir di Al-Monitor, Sabtu (7/11).

Menurut teori ini, Netanyahu telah mengikis bagian bawah tong barang yang terus diisi Trump selama empat tahun terakhir. Saat ini, dia lebih memilih kehadiran veteran Gedung Putih yang akrab dan stabil daripada sosok yang berfokus membentuk warisannya dan mengincar Nobel Hadiah Perdamaian. 

Kebenaran ada di antara keduanya. Jika Netanyahu bisa memilih, dia akan menghadapi dilema yang berat. Seorang jurnalis Israel, Ben Caspit, dalam artikelnya menulis, jika dia berani menebak Netanyahu pada akhirnya akan memilih Trump, dengan risiko mengalami penderitaan yang lama dan keras atas pilihan tersebut.

Mendampingi presiden selama periode kedua adalah pertaruhan. Meski demikian, sulit untuk mengabaikan hadiah strategis yang tak ada habisnya dan luar biasa, seperti yang telah diberikan sebelumnya semasa ia menjabat.

Faktanya, Duta Besar Israel di Washington, Ron Dermer, menikmati akses Gedung Putih yang hampir tidak terbatas. Tak hanya itu, dia juga mengambil bagian dalam merumuskan dokumen kebijakan yang sangat sensitif, yang disiapkan pembantu utama presiden.  

 

 

 

Trump adalah pepatah nyata akan hadiah yang terus diberi, sementara Netanyahu sangat menyukai hadiah. Netanyahu kecanduan akan pengaruh yang dia pegang di Gedung Putih dan akan kesulitan menghentikan penggunaan obat bius yang memabukkan ini.

 

Ketika Trump mengejutkan dunia dengan terpilih pada 2016, Netanyahu menunjukkan kegirangannya. Para diplomat profesional Israel mencoba memahami apa yang membuat presiden baru ini membawa warna baru, banyak yang menebak hal ini berkaitan dengan janji kebijakan.

 

"Itu adalah misteri. Kami tidak tahu siapa yang akan Trump bawa dan dia telah mengabaikan sebagian besar profesional Washington serta pihak Republik, karena orang-orang ini telah menandatangani petisi untuk melawannya," kata seorang mantan diplomat tinggi Israel tanpa menyebut nama.

 

Bahkan setelah para pejabat Israel mulai membiasakan diri dengan jabatan puncak Gedung Putih dan Dewan Keamanan Nasional, sosok tersebut sering kali berumur pendek.

Lingkaran dalam sang presiden sering kali menyerupai ajang kuda poni, dimana semua orang yang berada di posisi tinggi kerap dihempas dan sangat sedikit yang berhasil bertahan. Para pejabat di Yerusalem menyaksikan hal ini dengan perasaan campur aduk, antara keputusasaan dan ketidakpercayaan.

 

Biden justru sebaliknya. Seorang politik senior di Yerusalem menyebut dengan sosok ini, kondisi akan kembali saat masa pembentukan Clinton-Obama.

 

Suasana Gedung Putih (EPA-EFE/JIM LO SCALZO)

"Orang ini kami kenal, yang muncul melalui sistem dan bekerja selama bertahun-tahun di Senat, Gedung Putih, Departemen Luar Negeri, Dewan Keamanan Nasional. Kami tahu bagaimana cara bekerja orang-orang ini. Bisa ditebak, familiar. Benar-benar perasaan yang berbeda. Bukan lagi pengacara dan orang-orang Wall Street. Sekarang kita akan mengalami kembalinya kemapanan politik Amerika yang tidak selalu sejalan dengan kelemahan kita, tetapi sangat cocok dengan sistem Israel," kata seorang politik senior di Yerusalem yang namanya tidak ingin disebut ini. 

 

Jika Biden terpilih, Netanyahu masih bisa berterima kasih atas keberuntungan yang menyelamatkannya dari "gelombang biru" dan meninggalkan Senat di tangan Partai Republik.

 

"Selama Senat adalah Republikan, Netanyahu sudah siap," kata seorang sumber di lingkaran Perdana Menteri kepada Al-Monitor tanpa menyebut nama.

 

Netanyahu disebut telah melakukan manuver pada mantan presiden Barack Obama selama delapan tahun. Dia juga diprediksi tidak akan mengalami kesulitan untuk mengarahkan Biden, terutama karena keduanya telah menikmati hubungan yang benar-benar bersahabat selama beberapa dekade.

 

"Mereka akan rukun. Ini tidak akan menjadi urusan yang penuh warna seperti halnya dengan Trump. Lagi pula, Biden tidak mungkin punya banyak waktu dan kesabaran untuk Timur Tengah, mengingat pandemi virus Covid-19, ketegangan dengan China, dan perundungan Putin," lanjutnya.

 

Urusan paling besar yang terlihat saat ini adalah masalah Iran. Trump menghadirkan mimpi terindah Netanyahu dalam hal ini. Dia menarik Amerika Serikat keluar dari kesepakatan nuklir dengan Iran dan mengeluarkan kebijakan "tekanan maksimum" di Teheran.

"Trump dan Biden, keduanya, tampaknya berencana untuk melakukan negosiasi dengan Iran jika terpilih. Yang menjadi pertanyaan adalah tujuan dan gaya masing-masing," kata seorang mantan pertahanan senior Israel kepada Al-Monitor tanpa menyebut nama. 

Dengan kata lain, Israel percaya Trump akan melakukan negosiasi dengan gaya Trump. Dia tidak akan mencabut sanksi terhadap Iran atau melakukannya namun sebatas simbolis.

Sumber tersebut juga menyebut dalam melakukan negosiasi, Trump percaya harus dilakukan dengan posisi kekuasaan tinggi dan memberikan tekanan pada saingannya. Di sisi lain, Biden akan mempertimbangkan isyarat niat baik dan mungkin memberikan pelonggaran sanksi, sebagai cara untuk menghasilkan iklim positif untuk negosiasi baru.

"Yang penting adalah intinya. Trump bisa tiba-tiba kehilangan minat, seperti kasus negosiasinya dengan Korea Utara," kata sumber diplomatik senior Israel.

Sumber yang sama juga menyebut Trump bisa saja berjuang untuk memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian, berapa pun biaya yang dibutuhkan, dan berakhir dengan perjanjian Iran yang sangat mirip dengan yang asli. Dengan Biden, hal seperti ini sulit diprediksi.

“Yang kami tahu pasti, Biden juga tidak akan menerima nuklir Iran. Kami berharap Biden akan membawa perjanjian nuklir yang lebih baik, berjangka panjang, yang akan menutup beberapa kekurangan di perjanjian pertama," kata dia.

Seseorang berdiri di bilik pemungutan suara sambil bersiap untuk memberikan surat suara di lokasi pemungutan suara di dalam Show Place Arena di Upper Marlboro, Maryland, AS, 02 November 2020. (EPA-EFE/MICHAEL REYNOLDS)

Akankah Trump atau Biden menggunakan kekerasan terhadap Iran jika negosiasi gagal? Ini adalah pertanyaan lain yang coba dijawab para pemikir terbaik di badan intelijen dan pertahanan Israel, tetapi tidak berhasil. Kementerian Luar Negeri dan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) terlibat dalam argumen jangka panjang tentang Trump.

Pakar Kementerian Luar Negeri mengatakan Trump hanya menggunakan kekuatan jika bisa dilakukan dalam satu kesempatan, yang secara lokal berarti terbatas. Dia memang memberi perintah untuk menjatuhkan komandan Korps Pengawal Revolusi Islam, Qasem Soleimani. Tetapi hampir bersamaan ia juga memerintahkan penarikan ribuan pasukan Amerika Serikat dari Suriah dan Timur Tengah.

Kapan pun penggunaan kekuatan jangka panjang dengan potensi keterjeratan dibahas, dia tidak ikut serta. Sifat Trump yang tidak dapat diprediksi, menurut analis keamanan dan intelijen, tidak mengesampingkan kemungkinan keputusan tentang petualangan militer melawan Iran.

Adapun Biden, sang Demokrat, situasinya tak kalah rumit. "Biden bukanlah Obama. Mimpi buruk Netanyahu adalah Biden dengan pakaian Obama. Tapi itu jauh dari kebenaran," kata sumber diplomatik senior Israel.

Biden berada di tengah-tengah antara liberalisme perdamaian Obama dan agresivitas keluarga Bush. Jika didorong hingga batas maksimal, dia bisa menggunakan kekuatannya dengan baik.

Jika Biden masuk ke ruang kerja Amerika Serikat, Oval Office, tidak ada seorang pun di Yerusalem yang memiliki pekerjaan rumah untuk disiapkan. Sumber ini menyebut pihaknya mengenal semua orang di balik Biden seperti punggung tangan mereka.

Nama-nama seperti Tony Blinken (asisten kebijakan luar negeri Biden), Michele Flournoy (dijadwalkan menduduki posisi di Pentagon), Jake Sullivan, Dennis Ross, Martin Indyk (semua mantan diplomat dan / atau penasihat kebijakan luar negeri), dan orang-orang di lapis kedua seperti Nick dan Bill Burns, Ilan Goldberg, saling mengenal dengan pejabat Israel dan isu-isu yang beredar di sekitarnya.

 

Sumber: https://www.al-monitor.com/pulse/originals/2020/11/israel-us-joe-biden-donald-trump-benjamin-netanyahu-indyk.html

 
Berita Terpopuler