Mengais Berkas Kematian Wartawan Udin Bernas di Tong Sampah

Wartawan Bernas, Udin meninggal usai dipukul di rumahnya oleh orang tak dikenal.

antara
Kasus pembunuhan wartawan udin bernas
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Eko Widiyatno, Jurnalis Republika

Ini cerita lama yang sampai sekarang belum juga terungkap fakta sebenarnya. Cerita tentang kematian wartawan Harian Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin sekitar tahun 1996.

Secara pribadi, saya tidak mengenal almarhum semasa hidup. Mungkin sesekali bertemu pada saat liputan di Bantul. Namun karena tidak kenal, saya pun tidak pernah tahu wartawan yang namanya Udin.

Sebagai wartawan Republika yang ditempatkan di Yogyakarta, fokus liputan saya sehari-hari lebih sering di wilayah Kota Yogyakarta. Hanya sesekali ke Bantul, Sleman, Gunung Kidul dan daerah sekitarnya, bila memang ada hal-hal yang perlu diliput atau ditugaskan redaksi.

Sedangkan almarhum Udin, merupakan wartawan Bernas. Media lokal yang berkantor pusat di Yogya. Oleh redaksinya, almarhum Udin ditugaskan untuk meliput berita di wilayah Bantul yang memang merupakan daerah tempat tinggalnya.

Nama almarhum Udin, justru lebih akrab setelah almarhum meninggal dunia. Dari penuturan teman-teman wartawan di Yogya, almarhum memiliki perawakan agak besar. Sehari-hari sering melakukan liputan dengan menggunakan sepeda motor Honda Tiger. Sepeda motor yang pada masa itu berharga cukup mahal.

Sebagaimana diketahui, kematian Udin hingga kini masih 'gelap'. Dwi Sumaji alias Iwi, warga Sleman yang dituduh melakukan pembunuhan Udin oleh penyidik Polwil Yogyakarta (pada masa itu masih Polwil, belum menjadi Polda), tidak terbukti melakukan pembunuhan itu.

Wartawan Udin, meninggal pada Agustus 1996. Rumahnya, didatangi orang tak dikenal pada sekitar tengah malam, saat hampir semua orang sudah terlelap.

Jangan bayangkan kondisi Bantul pada masa itu seperti saat ini. Bantul tahun 1996, masih merupakan daerah tertinggal. Lampu-lampu penerangan jalan masih sangat minim. Menjelang Isya, kondisi jalan-jalan di Kota Bantul menjadi sangat sepi.

Pada saat seperti itulah, pintu rumah Udin diketuk orang misterius yang tak diketahui hingga kini. Udin yang saat itu telah lelap terbangun, dan membuka pintu dan menerima mereka di ruang tamu. Istrinya, yang ikut terbangun membuatkan teh bagi tamunya.

Namun, hanya sekejap mereka berbicang, tamu Udin tersebut langsung memukul kepala Udin hingga jatuh tersungkur. Istrinya, Marsiyem yang sedang berada di dapur, tidak mengetahui ada kejadian itu. Dia hanya tahu, suaminya sudah tergeletak di ruang tamu dengan bagian kepala dan bagian telinga mengeluarkan darah.

Keluarga dan tetangga Udin, langsung membawa Udin ke rumah sakit terdekat. Namun mengingat kondisi Udin yang cukup parah, Udin dirujuk ke RS Bethesda Yogyakarta. Sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit tersebut dalam kondisi koma, Udin akhirnya meninggal dunia.

Baca Juga

Kabar kematian Udin ini, langsung menjadi fokus berita berbagai media. Bahkan fokus pemberitaan mengenai Udin ini berlangsung cukup lama, karena diduga terkait dengan pemberitaaan yang pernah ditulis almarhum. Terutama terkait dengan dugaan korupsi di lingkungan Pemkab Bantul, yang memang beberapa kali ditulis Udin.

Saat itu, Pemkab Bantul dipimpin Bupati Sri Roso Sudarmo. Seorang militer berpangkat kolonel aktif. Pada masa Orde Baru tersebut, banyak daerah kabupaten/kotamadya yang dipimpin oleh militer aktif. Belum ada pilkada. Pemilihan atau tepatnya penetapan bupati/wali kota, hanya dilakukan dalam sidang paripurna DPRD setempat, yang terdiri dari lima fraksi, tiga fraksi dari parpol, satu fraksi dari utusan golongan, dan satu fraksi ABRI.

Saya sebagai teman sejawat almarhum, ikut turun ke lapangan untuk mencari tahu apa sebenarnya yang menjadi penyebab kematian Udin. Bukan hanya untuk bahan pemberitaan di Republika tempat saya bekerja, tapi juga untuk memenuhi rasa penasaran saya mengenai kejadian itu.

Saat itu, saya masuk dalam tim wartawan nonformal yang berusaha mencari fakta sebenarnya tentang kejadian itu. Bukan Tim Pencari Fakta yang dibentuk oleh PWI Yogyakarta. Tidak ada struktur organisasi di tim kami. Semuanya berstatus anggota.

Teman-teman wartawan lain, menjuluki tim kami ini sebagai tim Kijang Putih. Wartawan yang tergabung dalam tim ini, berasal dari berbagai media, lokal maupun nasional.

Nama tim Kijang Putih banyak diberikan teman-teman wartawan, karena dalam mobilitasnya sering menggunakan mobil kijang super berwarna putih. Mobil ini, sepertinya, sengaja disediakan kantor Bernas untuk mobilitas tim kami.

Saat itu masih sangat jarang wartawan yang bisa menyetir mobil. Kebetulan, saya menjadi salah satu wartawan yang sudah bisa menyetir. Saya bisa menyetir mobil juga bukan karena saya sudah punya mobil. Tapi karena ada mobil dinas di kantor Republika, yang kalau lagi nganggur, saya gunakan secara sembunyi-sembunyi untuk latihan menyetir.

Dengan kelebihan ini, saya masuk menjadi anggota tim kijang putih. Menjadi driver bagi teman-teman, sekaligus meliput ke sana-kemari untuk mencari tahu kebenaran cerita di balik kasus Udin. Tentunya, tanpa memiliki SIM A.

Berbagai lokasi yang rutin dan bolak-balik kami datangi saat itu, antara lain markas Polwil Yogyakarta di jalan lingkar utara Yogyakarta, rumah Udin di Jalan Parangtritis Bantul, kantor LBH Yogyakarta, dan rumah Iwi di Sleman. Hanya sekali ke rumah Dinas Bupati Bantul, tetapi tidak berhasil menemui Bupati.

Saat itu, mendapatkan penjelasan dari sumber-sumber resmi mengenai perkembangan penyelidikan kasus Udin, bukan main sulitnya. Sumber kami yang utama, lebih pada sumber informal, seperti dari istri almarhum Udin, LBH Yogya yang menjadi kuasa hukum keluarga Udin, Iwi, dan berbagai narasumber lain. Saking sulitnya mendapat informasi resmi, kami sampai mengais-ngais tong sampah di Mapolwil DIY.

Suatu ketika, tim Kijang Putih mendatangi Mapolwil DIY. Sebagaimana biasa, kami hanya sekadar untung-untungan. Siapa tahu, Kabagreskrim atau Kapolwil bisa memberikan keterangan tentang penyelidikan kasus Udin. Namun dari pagi hingga menjelang waktu deadline, kami tidak mendapatkan apa-apa.

Iseng-iseng, saat duduk-duduk di belakang kantor Polwil, saya mengais-ngais tong sampah. Kebetulan, tempat kami duduk-duduk, tepat berada di belakang kantor Bagian Reskrim.

Saat itulah, saya melihat ada beberapa lembar kertas lecek yang setelah saya amati berisi tulisan ketik yang menyebut nama Dwi Sumaji alias Iwi. Beberapa halaman kertas itu, langsung saya masukkan kantong celana.

Di perjalanan pulang dari Mapolwil, saya ceritakan temuan kertas ini pada teman-teman. Dari kertas itulah, peliputan kemudian fokus pada Dwi Sumaji, warga Sleman yang sehari-hari berprofesi sebagai sopir, dan dituduh menjadi pembunuh Udin.

Belakangan perkembangan cerita mengenai penyelidikan dan penyisikan kasus Udin, memang sempat "berbelok" arah. Dari yang semula terkait dengan pemberitaan, dibelokkan menjadi soal perempuan.

Dikisahkan pihak berwenang, Udin berselingkuh dengan istri Iwi. Hal ini kemudian menimbulkan kemarahan Iwi yang berujung pada pembunuhan.

Beberapa kali, anggota tim kijang putih bertemu keluarga Iwi di rumahnya. Selang sehari setelah temuan kertas itu, Iwi langsung ditangkap di rumahnya. Kami hanya bisa bertemu bertemu Iwi di Mapolwil DIY, saat diadakan keterangan pers mengenai penangkapan Iwi.

Dari beberapa kali pertemuan ini, rasanya memang tidak mungkin Iwi menjadi algojo pembunuh Udin. Iwi yang terkesan lugu sebagai orang desa, bagaimana mungkin bisa membunuh Udin? Istrinya, juga berulang kali menegaskan tidak pernah mengenal Udin. Sampai di sini, tim Kijang Putih tidak pernah bisa mengetahui cerita sebenarnya mengenai bagaimana Iwi bisa menjadi tersangka.

Yang jelas, dalam persidangan yang menjadikan Iwi sebagai terdakwa, Iwi akhirnya dibebaskan dari segala tuduhan. Sedangkan mengenai siapa dan apa latar belakang Udin menjadi korban pembunuhan, hingga kini, setelah sekian lama waktu berjalan dan berganti rezim, tetap menjadi misteri yang tak terpecahkan.

 
Berita Terpopuler