Liputan Konflik Ambon: Habis Bensin di Wilayah Kristen

Ketika disambangi warga di wilayah Kristen tersebut, prasangka berkecamuk di kepala.

dok. Pribadi
Fitriyani Zamzami
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika

Pada September 2011, saya ingat ditugaskan kantor berangkat ke Ambon. Kala itu, setelah trauma yang belum sembuh betul, wilayah tersebut kembali diguncang konflik yang bisa berujung sama parahnya dengan yang terjadi pada pergantian milenium. Bukannya bikin tenang, rekan-rekan di kantor malah menakut-nakuti sambil bercanda. "Nanti kalau pulang tinggal nama, kami bikin kaosnya," kata mereka. "Sialan…" ujar saya.

Hanya sekali sebelum itu saya mampir di Ambon, ketika meninggalkan Papua pada 1999 dengan kapal Pelni. Dari atas kapal, di pelabuhan, saya lihat asap membumbung dari banyak tempat di kota. Penumpang gelap yang putus asa tak dapat tiket banyak yang nekat memanjat tambang yang menambatkan kapal ke dermaga.

"Acaaangggg!!!" seru sebagian penumpang kapal meniru iklan layanan masyarakat TVRI pada masa-masa kelam itu. "Obeeettt!!!" yang lain membalas. Betapapun manisnya Tanah Para Raja, apa mau dikata kenangan itulah yang telanjur hinggap di kepala daga.

Singkat cerita, pada 13 September 2011, saya tiba di Bandara Pattimura Ambon. Saat itu Selasa pagi, lepas dari bandara, semua kontak di Ambon, seperti kompakan, mati telepon genggamnya. Naik taksi ke kota bukan pilihan masuk akal. Jalan-jalan diblokir.

Saya coba minta izin ikut rombongan polisi yang hendak mengawal pejabat Mabes Polri ke kota. Dikasihlah itu tempat duduk di sedan patroli dengan dua petugas di depan, dan satu pegang senapan serbu di samping saya di kanan kursi belakang. Paulie, Jefry, Jimmy, mereka punya nama. Bukan Muslim, pikir saya.

Di iring-iringan paling depan, ada mobil anti kerusuhan, Barracuda; menyusul tiga kendaraan offroad, mobil Gegana, baru sedan patroli yang saya di dalamnya. Seluruh senapan terkokang, baju tempur lengkap, blokade-blokade dipinggirkan.

Tatapan warga di pinggir jalan penuh selidik melihat iring-iringan. Seperti masih kurang mencekam itu tip di mobil dinyalakan petugas. Lagu yang keluar, wallahi, “Gaza”-nya Michael Heart. “We will not go dowwwnnn…” Macam di luar suasananya masih kurang mirip zona perang saja.

Singkat cerita, saya berhasil sampai ke Masjid Agung Alfatah, pusat pengungsian warga Muslim. Dari situ akhirnya saya dapat kontak jurnalis di Ambon dan melancarkan liputan beberapa hari kemudian.

Dari kantor saat itu instruksinya jelas: Jangan memanas-manasi!. Mau tak mau, saya harus menyambangi kedua komunitas, Muslim dan Kristen untuk dapat cerita-cerita yang adil soal kondisi saat itu.

Saat saya tiba di sana, baru saya paham ini bukan perkara ringan. Maluku dan Kota Ambon khususnya, sejak konflik berdarah dulu kini terbagi-bagi dalam klaster-klaster. Ada wilayah Islam sendiri, wilayah Kristen sendiri. Masing-masing wilayah dipasangi barikade saat itu. Orang asing selalu dapat tatapan curiga di masa-masa seperti itu.

Sekali waktu dekat Pasar Batu Merah, saya sempat dihentikan sejumlah pemuda yang sedang kumpul-kumpul. Mereka menarik kartu pers yang saya kalungkan tanpa tanya-tanya lebih dulu. "Oh, Islam. Jalan sudah…," ujar mereka.

Nah, satu waktu, saya berkendara dengan rekan jurnalis di Ambon, Jaya Barenz. Panggilan akrabnya Jay, ia masih wartawan junior kala itu. Kami menaiki sepeda motor bebek yang sudah lama lewat masa jayanya. Baik speedometer maupun penanda kondisi tanki bensin semuanya tak berfungsi. Saat itu, sepulang dari menyambangi proyek Jembatan Merah Putih, kami melintas wilayah Aster. Ini wilayah di tepi jalan besar menuju pusat Kota Ambon.

Di wilayah itu, tiba-tiba saja motor berhenti. Tanki bensin rupanya sudah kosong. Habis bensin adalah satu hal. Tinggal kita dorong sebentar ketemu SPBU atau penjual bensin eceran. Tapi raut muka Jaya kasih tahu bahwa perkaranya lebih pelik dari itu. "Ini wilayah Kristen," kata dia. Seperti saya, Jay juga seorang Muslim.

Pelan-pelan, kami dorong itu motor menyusuri jalan besar sambil lirik kiri-kanan. Suasana tergolong sepi karena itu hari Ahad. Pikir saya, orang-orang masih di gereja.

Karena kelelahan, kami akhirnya berhenti sejenak di semacam pertigaan. Tiba-tiba, datang beberapa warga tempatan. Tubuh mereka kekar-kekar. Hanya mengenakan singlet, terlihat ramai tato di tangan mereka.

"Ada apa?" mereka bertanya. "Habis bensin, Bang" kami jawab sehalus mungkin. Di kepala sudah berkecamuk macam-macam skenario dan strategi melarikan diri. Terlebih, selama di Ambon hampir setiap hari saya dapat cerita soal brutalnya masa konflik.

"Tunggu di sini, jangan ke mana-mana," kata salah satu dari warga yang menyambangi kami sejurus kemudian. Ia berbalik sebentar, kemudian mengambil sepeda motor dan bergegas pergi. Rekannya yang lain mengawasi kami. Suasananya tak jenak beberapa waktu.

Akhirnya, yang bersangkutan tiba kembali. Di tangannya ada botol besar. Ia tersenyum ketika menunjukkan isinya: bensin. Ketakutan saya kala itu luruh seketika. Saya malu hati akibat rerupa prasangka yang sempat hinggap di kepala. Apalagi setelah kemudian Abang itu tak mau dibayar pulak.

Setelah sepeda motor bisa digeber dan mengucapkan terima kasih, saya dan Jaya tertawa-tawa lega sepanjang jalan. Sungguh, prasangka adalah barang beracun, terutama di masa-masa konflik seperti itu.

 
Berita Terpopuler