Geopolitik Timteng Berubah: Berdamai dengan Israel

Negara-negara yang membela Palestina melakukan normalisasi hubungan dengan Israel.

Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Ada dua hal sering terlupakan saat membicarakan nasib bangsa Palestina. Termasuk ketika suatu negara Arab menormalisasi hubungan dengan Israel, seperti Uni Emirat Arab (UEA). Normalisasi selalu memunculkan kontroversi.

Pertama, tak ada pihak manapun, baik individu maupun negara, berhak mendikte Palestina bagaimana mengelola persoalan negara, termasuk hubungan dengan Israel. Nasib bangsa Palestina ditentukan rakyat Palestina sendiri, melalui pemimpinnya di Gaza dan Tepi Barat, terutama otoritas yang sah di Ramallah. Kedua, seperti Palestina, setiap negara Arab mempunyai hak sama untuk mengatur hubungan internasionalnya.

Termasuk, hubungan dengan Israel. Ini masalah kedaulatan, diputuskan setiap negara atas dasar kepentingannya sendiri. Bukan berdasarkan apa yang diinginkan bangsa lain, termasuk oleh Palestina atau negara Arab lain.

Itulah tampaknya yang mendasari UEA ketika menormalisasi hubungan dengan Israel. Sebelumnya, Mesir dan Yordania menandatangani perjanjian damai dan normalisasi hubungan dengan Israel.

Lewat perjanjian damai pada 1979, Sinai dikembalikan ke Mesir, setelah diduduki Israel pada Perang 1967. Perjanjian perdamaian Yordania dengan Israel pada 1994, menyelesaikan sengketa wilayah kedua belah pihak.

Normalisasi hubungan UEA-Israel berbeda dengan Mesir dan Yordania. UEA tak berbatasan dengan Israel. Mereka tak mempunyai sengketa wilayah dan tak terlibat perang bersama negara Arab melawan Israel pada 1948, 1956, 1967, dan 1973.

Di antara negara Arab, UEA terhitung negara baru. Ia merdeka dari Inggris Raya pada 2 Desember 1971, dengan membentuk negara federasi dari tujuh Emirat, yakni Abu Dhabi, Dubai, Ajman, Fujairah, Ras al-Khaimah, Sharjah, dan Umm al-Qaiwain.

Seperti Negara Teluk lain, berkat minyak dan gas, UEA menjadi negara modern dengan taraf kehidupan tinggi. Normalisasi hu bungan dengan Israel tampaknya akan dimanfaatkan betul oleh UEA. Kedua negara sepakat bekerja sama di berbagai bidang.

Bahkan, UEA bisa menjadi pintu ekspor produk Israel ke negara Arab dan Islam (mayoritas Muslim) yang tak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel. Umat Islam yang ingin mengunjungi Masjid al-Aqsha bisa pergi melalui Abu Dhabi atau Dubai.

Perjanjian damai Mesir-Israel pada 1979, mengundang kontroversi hebat. Muhammad Ibrahim Kamil mundur sebagai menlu Mesir. Ia memprotes perjanjian itu, menilainya tak adil karena tak menegaskan penarikan diri Israel dari Gaza dan Tepi Barat.

Di tingkat rakyat Arab pada umumnya, terdapat suasana frustrasi dan marah. Saat itu, mereka masih terpengaruh konsep persatuan Arab yang digagas Presiden Gamal Abdul Nasir, terutama di Mesir, Irak, Suriah, Libya, Aljazair, dan Yaman.

Lalu muncullah 'perebutan kepemimpinan regional' di antara negara Arab. Negara yang tergabung dalam Liga Arab bersidang darurat menolak perdamaian Mesir-Israel. Sebagai protes, mereka memindahkan kantor tetap Liga Arab dari Kairo ke Tunis, Tunisia.

Mesir dikeluarkan dari Liga Arab. Sepuluh negara, termasuk Organisasi Pembebasan Palestina, membentuk Jahbatu al Rafd, fron penolakan perdamaian Mesir-Israel.

Bagi Mesir yang terlibat perang langsung dengan Israel pada 1948, 1956, 1967, dan 1973, melalui perdamaian berhasil mendapatkan kembali Sinai yang diduduki Israel pada 1967. Perdamaian memberi kesempatan membangun, yang sebelumnya habis untuk perang.

Namun, perdamaian dan normalisasi hubungan Mesir-Israel dan 'berbagai peristiwa besar di Timur Tengah setelahnya', menyebabkan berakhirnya 'al-Wishayah al- Arabiyah (perwalian negara-negara Arab) atas nasib atau persoalan bangsa Palestina.

Masing-masing negara kini memutuskan atas dasar kepentingan dalam negerinya. 'Peristiwa-peristiwa besar' itu antara lain aneksasi Irak ke Kuwait, invasi militer AS ke Irak yang berakhir pada kejatuhan Presiden Saddam Husein, juga Arab Spring.

Berbagai peristiwa besar itu mengubah geopolitik di Timur Tengah. Antara lain, menguatnya pengaruh Iran dan Turki. Iran mempunyai pengaruh kuat di Irak, Suriah, Lebonon, dan Yaman. Sedang Turki, yang dianggap pelindung Islam politik, ada di Libya, Suriah, dan Irak.

Pengaruh dua negara ini dianggap berbahaya oleh sejumlah negara Arab poros Arab Saudi-Mesir, bahkan lebih berbahaya daripada Israel. Kedua negara ini, termasuk yang menolak keras normalisasi hubungan UEA-Israel.

Perubahan geopolitik di Timur Tengah, tentu berpengaruh besar pada perjuangan dan nasib bangsa Palestina. Sejauh ini, mereka menolak keras semua normalisasi hubungan negara Arab dengan Israel, termasuk yang dilakukan UEA.

 
Berita Terpopuler