Pengakuan Mengejutkan Tentara Myanmar Bantai Muslim Rohingya

Komandan militer menyerukan agar menembaki semua yang terlibat.

Anak-anak mendaur ulang barang dari reruntuhan pasar yang dibakar di sebuah desa Rohingya luar Maugndaw di negara bagian Rakhine, Myanmar, 27 Oktober 2016. Gambar diambil tanggal 27 Oktober 2016.

Rumah-rumah terbakar di desa Gawdu Zara, negara bagian Rakhine utara, Myanmar, Kamis, (7/9). Wartawan melihat api baru terbakar di desa yang telah ditinggalkan oleh Muslim Rohingya,

Rep: Rizky Jaramaya Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID,   YANGON -- Dua anggota militer Myanmar mengakui kejahatan mereka ketika melakukan pembantaian terhadap warga Rohingya pada Agustus 2017. Dalam sebuah rekaman video, Myo Win Tun mengatakan, komandannya memberikan perintah untuk menghabiskan semua warga Rohingya yang mereka temui.

Dengan suara datar, Myo Win Tun menggambarkan bagaimana komandannya yakni Kolonel Than Hitke telah menginstruksikan untuk memusnahkan warga Rohingya. Perintah tersebut berbunyi, "Tembak semua yang kalian lihat dan yang kalian dengar".

"Saya terlibat dalam pembunuhan 30 pria, wanita, dan anak-anak Muslim tak berdosa yang dikuburkan di satu kuburan," kata Myo Win Tun, sambil menatap kamera dengan tenang.

Di waktu yang sama, prajurit Zaw Naing Tun mengatakan, dia dan rekan-rekannya di batalion lain mengikuti arahan dari atasannya. "Bunuh semua yang Anda lihat, baik anak-anak atau orang dewasa," perintah sang atasan.

"Kami memusnahkan sekitar 20 desa," ujar Zaw Naing Tun yang juga mengubur mayat di sebuah kuburan massal.

Kesaksian dari kedua anggota militer itu menandai pertama kalinya anggota Tatmadaw atau sebutan bagi militer Myanmar secara terbuka mengaku mengambil bagian dalam sebuah operasi untuk memusnahkan warga Rohingya. Kekejaman yang dijelaskan oleh kedua prajurit itu menunjukkan ada bukti pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga Rohingya di Myanmar.

"Ini adalah momen monumental bagi Rohingya dan rakat Myanmar dalam perjuangan untuk keadilan. Mereka bisa menjadi pelaku pertama dari Myanmar yang diadili di ICC (pengadilan internasional)," ujar Kepala Eksekutif di Fortify Rights, Matthew Smith, dilansir New York Times, Selasa (8/9).

The New York Times secara independen tidak dapat mengonfirmasi bahwa kedua tentara tersebut melakukan kejahatan yang mereka akui. Namun detail dalam narasi mereka sesuai dengan deskripsi yang diberikan oleh puluhan saksi dan pengamat, termasuk pengungsi Rohingya, warga Rakhine, tentara Tatmadaw, dan politisi lokal.

Beberapa penduduk desa secara independen mengonfirmasi keberadaan kuburan massal yang disebutkan oleh dua tentara dalam kesaksian mereka. Ini adalah sebuah bukti dalam penyelidikan di Pengadilan Kriminal Internasional dan proses hukum lainnya.

Dua tentara itu mengatakan, operasi penumpasan terhadap Rohingya dilakukan oleh batalion infanteri dan pasukan keamanan lainnya. Mereka menggambarkan operasi terpadu bertujuan untuk memusnahkan satu kelompok etnis minoritas. Kedua tentara itu ditahan di Pengadilan Kriminal Internasional pada Senin (7/9). Mereka bisa memberikan kesaksian dalam proses pengadilan dan ditempatkan dalam perlindungan saksi.


Baca Juga

Seorang pengacara Kanada yang mewakili Bangladesh, Payam Akhavan dalam gugatan terhadap Myanmar di Pengadilan Kriminal Internasional tidak berkomentar mengenai identitas dua tentara tersebut. Akhavan meminta pertanggungjawaban untuk mencegah kekejaman lebih lanjut terhadap 600 ribu warga Rohingya yang berada di Myanmar. "Impunitas bukanlah pilihan. Keadilan lebih baik daripada tidak ada keadilan sama sekali," ujar Akhavan.

Pada Agustus 2017, Light Infantry Battalions 353 dan 565 melakukan "operasi pembersihan" di Kota Buthidaung dan Maungdaw. Komandan yang memerintahkan untuk memusnahkan warga Rohingya adalah Kolonel Than Htike, Kapten Tun Tun, dan Sersan Aung San Oo.

Prajurit Myo Win Tun mengatakan, sebuah kuburan massal digali di dekat pangkalan Light Infantry Battalion 552, di pinggiran kota Taung Bazar.

Pengungsi Rohingya yang tinggal di sebuah desa yang berdekatan dengan camp 552 mengaku mengenali Prajurit Myo Win Tun. Mereka mendeskripsikan secara rinci lokasi dari dua kuburan massal di daerah itu. Penduduk yang berada di wilayah tersebut juga mengetahui situs pemakaman massal di dekat pangkalan militer.

Basha Miya yang sekarang menjadi pengungsi di Bangladesh, mengatakan neneknya dimakamkan di salah satu kuburan massal di pangkalan itu, bersama dengan setidaknya 16 orang lainnya dari desa tetangga Thin Ga Net, yang dikenal dalam bahasa Rohingya sebagai Phirkhali.

Setelah tentara membuang mayat di dua kuburan massal yang terletak di tepi kanal, mereka menutupnya dengan sebuah buldoser. Prajurit Myo Win Tun mengatakan, dia bersama rekan-rekan lainnya menguburkan delapan wanita, tujuh anak, dan 15 pria dalam satu kuburan massal. Dia juga mengakui telah memperkosa seorang wanita.

"Kami tanpa pandang bulu menembak semua orang. Kami menembak pria Muslim di dahi dan menendang mayatnya ke dalam lubang," ujar kesaksian Myo Win Tun.

Sementara prajurit Zaw Naing Tun  yang merupakan mantan biksu Buddha mengatakan, batalionnya telah membunuh sekitar 80 warga Rohingnya. Dia dan anggota batalionnya menyeru 20 desa di Maungdaw, termasuk Doe Tan, Ngan Chaung, Kyet Yoe Pyin, Zin Paing Nyar dan U Shey Kya. Beberapa dari desa ini dibakar habis.

Dalam kesaksiannya, Zaw Naing Tun dan empat anggota batalionnya telah menembak mati tujuh warga Rohingya di Zin Paing Nyar. Mereka menangkap 10 pria tak bersenjata, mengikat mereka dengan tali, membunuh mereka dan menguburkan mereka di kuburan massal di utara desa.

Prajurit Zaw Naing Tun mengatakan dia tidak melakukan kekerasan seksual. Sebaliknya, dia berdiri sebagai penjaga ketika orang lain memperkosa wanita Rohingya.

Dalam beberapa minggu setelah pembantaian pada 2017, sekitar tiga perempat dari satu juta warga Rohingya pergi dari rumah-rumah mereka di negara bagian Rakhine. Ketika itu, pasukan keamanan menyerang desa dengan senapan, parang, dan penyembur api. Menurut saksi dan korban selamat, pasukan keamanan juga memperkosa gadis-gadis muda dan merobek kerudung mereka untuk digunakan sebagai penutup mata.

Doctors Without Borders memperkirakan 6.700 orang Rohingya, termasuk 730 anak-anak, menderita kematian akibat kekerasan dari akhir Agustus hingga akhir September 2017. Sementara PBB mengatakan, sekitar 200 permukiman Rohingya dihancurkan seluruhnya dari 2017 hingga 2019.

 
Berita Terpopuler