Agustusan Kaum Santri

Apakah santri dapat memiliki jiwa patriotisme juga nasionalisme?

Pondok Pesantren Riyadlul 'Ulum.
Para santri Pondok Pesantren Riyadlul
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Bisyri, Guru Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an

Setiap momentum Agustusan tiba, segenap anak bangsa mengekspresikan kesyukurannya dengan beragam cara. Bagi sebagian kita yang ada di tengah kota-kota besar, sangat mungkin akan  merayakan hari kemerdekaan secara berbeda dengan yang misalnya ada di pojok-pojok republik ini. Antara yang di kawasan pegunungan, mungkin berbeda dengan yang di kawasan pesisir. Juga berbeda antara satu kelompok masyarakat dan kelompok lainnya.

Lalu ada yang mungkin membuat pesta, mengadakan beragam lomba. Ada juga yang mungkin menggelar doa bersama,menyelenggarakan refleksi bersama, dan atau ekspresi lainnya. Sungguh, semua itu adalah sangat indah. Semuanya seolah bertemu pada satu mantra(kalimatun sawa): Indonesia Merdeka!

Tulisan singkat nan ringan ini, sama sekali bukanlah pesan-pesan kemerdekaan. Bukan pula doa kemerdekaan atau yang lainnya. Tulisan ini anggap saja catatan singkat dari refleksi sederhana, yang harapannya dapat membantu melaporkan perihal: dalam suasana batin seperti apa, kaum santri merayakan Agustusan?

Sebelum melanjutkan, penulis mengajak untuk lebih dahulu membacakan Surah al-Fatihah untuk para syuhada yang gugur dalam  perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lahum al-fatihah...

Terminologi “santri” di dalam tulisan ini,  tidak semakna dengan artian “santri” yang diajukan oleh Geertz saat mendedah tipologi keberagamaan masyarakat Jawa dalam magnum opus-nya: Religion of  Java. Bahkan juga tidak semakna dengan artian “santri” yang disodorkan oleh UU No. 18/2019 tentang Pesantren, khususnya Bab I Butir 7.

Jika yang pertama dipandang memiliki problem tipologis, maka pada yang kedua, term “santri” terasa tak cukup memadai dan cenderung “eksklusif”. Saat ini, penulis belum akan menyebut makna “santri” yang distingtif, sebagaimana yang dimaksud dalam tulisan ini. Penulis justru berencana akan menyebutkannya di bagian akhir tulisan ini, sebagai bagian pamungkas. Insyaa Allah.

Sebagai landasan awal, izinkan penulis menawarkan semacam simpulan sementara (temporary conclusion) atau hipotesis, bahwa: masyarakat  (Muslim) Indonesia adalah masyarakat yang religius. Religiusitas  masyarakat Muslim Indonesia misalnya dapat kita tilik dari fakta sosial. Misalnya semua urusan dalam kehidupan Muslim Indonesia, akan selalu dikait-eratkan dengan hal ihwal agama. Apakah ada aspek kehidupan  Muslim Indonesia, yang tidak dikaitkan dengan ihwal agama? Bahkan, untuk “sekadar” jualan kebutuhan sehari-hari, semacam pasta gigi misalnya, produsennya sampai harus mengutip nash agama.

Narasi yang dibuat oleh “para bakul”, juga lalu mengikuti narasi momentum keagamaan yang akan/ tengah dirayakan masyarakat Muslim. Jika hendak  ditambahkan, pihak produsen pun tidak lagi melulu meminta bantuan para artis untuk menjadi bintang iklannya. Kenyataan ini adalah trend yang nyata terjadi di tengah masyarakat,  lalu ditangkap oleh penyedia jasa.

Apa lalu hal seperti ini adalah salah? Tidak! Tidak ada yang salah atas hal itu. Pada sisi tertentu, ia bahkan dipandang mengandung edukasi.

Walau pada sisinya yang lain, atau mungkin justru pada sisi yang sama, akan susah memisahkan atau membedakan antara edukasi dan “eksploitasi”. Religiusitas masyarakat Muslim Indonesia juga tampak  pada penghormatan masyarakat kepada tokoh-tokoh agama (Islam).

Perihal ini, bahkan kita mendengar di sebagian daerah, masyarakatnya lebih bersedia menghormati tokoh agama, dari  pada pejabat pemerintahan yang padahal adalah pemimpin formal mereka. Di dalam  konteks masyarakat yang serupa itulah, agama, atau lebih tepatnya tokoh agama, memiliki peran sangat menentukan.

Terakhir, religiusitas masyarakat Muslim Indonesia juga tampak dari sangat ramainya lalu-lintas transportasi tujuan Indonesia-Arab Saudi dan atau Arab Saudi-Indonesia. Umat Muslim Indonesia, sangat gandrung untuk dapat menunaikan ibadah umroh dan haji.

Sekali lagi, ini adalah gejala positif. Bahwa umat Muslim Indonesia semakin antusias dalam berlaku-agama. Yang tersebut di atas adalah secuil dari bukti bahwa Muslim Indonesia sangat religius, sangat memerhatikan hal ihwal agama.

Lalu, mungkin sebagian kita seolah mengajukan gugatan: religiusitas  Muslim Indonesia masih sangat formalistis, terlalu mengedepankan sisi eksoteris dalam beragama, dan belum menyentuh hal-hal yang lebih  substantif. Nada gugatan serupa ini, sangat mungkin muncul. Dan biarkan saja muncul.

Gugatan semacam itu adalah bentuk dialektika, sehingga perlu juga didengar. Setidaknya dimaksudkan untuk “menjagapandulum agar bergerak secara wajar”, sekaligus untuk menjadi pengingat yang diharapkan memiliki peran korektif, dan bukan gugatan semata tanpa makna. Jadi, apa benar religiusitas Muslim Indonesia masih terlalu formalistis-eksoteris? Untuk menjawabnya, penulis ajukan informasi berikut.

Perayaan Agustusan, paling tidak dimaksudkan sebagai momentum mengingat-ingat kembali perjalanan negara bangsa Indonesia. Sebuah bangsa yang di masa lalu pernah mengalami “masa-masa sangat berat”,  dijajah bangsa pendatang, bangsa asing yang keseluruhannya sangat  asing.

Selain itu, Agustusan juga dimaksudkan sebagai momen untuk    meneladani patriotisme sekaligus nasionalisme para pejuang bangsa.  Mereka, para pejuang, adalah orang-orang yang dianugerahi keberanian, kerelaan, kesediaan, ketulusan, untuk berjuang mengorbankan  segalanya demi kemuliaan manusia sekaligus demi tegaknya keadilan. Sehingga, atas berkat rahmat Allah dan dengan didorong oleh keinginan yang luhur: Indonesia bangkit. Indonesia melawan. Indonesia menang!

Dengan mengingat-ingat itu semua, darah para pejuang diharapkan menetes deras kepada kita dan membakar gelora perjuangan kita, generasi yang hidup di masa sekarang. Lantas, apa kaitannya dengan kaum santri, apakah santri dapat memiliki jiwa patriotisme juga nasionalisme? Kita tidak akan pernah mengajukan pertanyaan naif seperti ini!

Pertanyaan yang mungkin kita ajukan adalah: Bagaimana santri dapat memiliki jiwa patriotisme sekaligus nasionalisme yang kokoh? Disebut   dalam banyak catatan sejarah, bahwa motor penggerak utama masyarakat Indonesia dalam perjuangan heroik mengusir kaum penjajah adalah para tokoh agama, para kiai, para ulama.

Imbasnya adalah pesantren menjadi episentrum perjuangan dalam melawan penjajah. Sebab ini juga, dalam sejarahnya, pesantren lebih sering muncul di daerah “terpencil”, bahkan terpaksa harus berpindah-pindah lantaran selalu menjadi target utama “operasi“ kaum penjajah.

Pascamerdeka, pesantren seolah terus bergerak dan merangsek masuk ke jantung-jantung kota besar. Kembali ke kiai-ulama yang adalah penggerak perjuangan.

Kiai atau ulama sering dimaknai sebagai  seseorang yang memiliki kedalaman pengetahuan agama (Islam), keistikomahan pengamalan ajaran agama (Islam), sekaligus kepekaan mendalam terhadap nasib sesama. Ketiganya lalu mengkristal pada sikap dan keadaan khasy-yah kepada Allah.

Seorang ulama akan senantiasa tunduk dan patuh hanya kepada Allah, bukan yang lain. Seorang ulama adalah pasti pejuang keadilan, sekaligus penentang segala bentuk kezaliman.

Di dalam doktrin agama, manusia  wajib  dimuliakan. Bahkan Allah sendiri  memuliakan manusia(anak Adam as). Karenanya, segala bentuk penjajahan di atas dunia wajib dihapuskan.

Itulah di antara kredo agama yang pasti tertanam kokoh dalam diri setiap kiai-ulama. Para kiai, mereka adalah orang-orang yang telah mencerap  saripati ajaran agama. Dan dengan bekal itulah, dengan bekal keyakinan dan kedalaman atas agama itulah, mereka para ulama-kiai memimpin langsung mengangkat senjata melawan penjajah.

Sampai di sini menjadi jelas bahwa: patriotisme dan nasionalisme kiai-ulama adalah patriotisme dan nasionalisme yang dijiwai oleh agama   (Islam). Nasionalisme dalam diri ulama-kiai adalah nasionalisme yang  basisnya sama sekali bukan berasal dari pemikiran/ filsafat manapun. Sebab nasionalisme yang tertancap kokoh dalam sanubari kiai-ulama adalah nasionalisme yang berbasis pada nilai-nilai suci agama (Islam).

Kita lalu paham, dalam nuansa heroisme seperti apa maklumat hubbul  wathan minal iman di-titah-kan! Adapun santri, yang tidak lain dan  tidak bukan adalah “khadim” kiai, ia akan “berusaha mati-matian” untuk  menduplikasilaku-lampah kyai. Dari keadaan seperti inilah, lantas santri mewarisi semua yang ada pada kiainya, tak terkecuali jiwa patriotisme dan nasionalisme.

Jika sudah harus diakhiri, agaknya kita sudah dapat menegaskan bahwa benar belaka umat Muslim Indonesia adalah Muslim yang religius.  Dalilnya: yang menjadi landasan nasionalisme dan patriotisme, yang selanjutnya tertanam kuat dan kokoh dalam sanubari Muslim Indonesia adalah ajaran suci agama (Islam). Bukan yang lain! Tidak yang lain!

Dan siapa saja anak bangsa yang mewarisi patriotisme dan nasionalisme serupa patriotisme dan nasionalisme yang dimiliki kiai-ulama, merakalah yang penulis maksud sebagai: kaum santri!.

Dirgahayu Republik Indonesia. Indonesia Maju. Indonesia Jaya.

 
Berita Terpopuler