Main Mata Erdogan dengan Hayat Tahrir Al-Sham (HTS)?

Erdogan mempunyai keterkaitan erat dengan Hayat Tahrir Al-Sham

AP
Pasukan pemberontak Suriah berjalan di sebuah kawasan di Idlib, Suriah, Kamis (9/2).
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA - Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang berlangsung di resor Laut Hitam Sochi pada tahun 2018, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatukan suara. Bersama, mereka sepakat menugaskan Turki untuk membersihkan Provinsi Idlib di Suriah barat laut dari semua kelompok teroris.

Baca Juga

Kelompok teroris yang dimaksud, mengacu pada Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Kelompok ini sebelumnya dikenal sebagai Jabhat al-Nusra dan berafiliasi resmi dengan al-Qaeda di Suriah. 

HTS adalah satu-satunya kekuatan oposisi yang tangguh yang masih berdiri di Idlib. Terlebih setelah kubu-kubu ISIS di provinsi tersebut maupun seluruh bagian negara dibongkar.  

Tidak seperti ISIS, HTS hampir secara eksklusif terdiri dari pejuang Suriah yang bertempur di kota dan desa mereka sendiri. Kondisi ini membuat pemberantasan mereka sangat sulit. 

Dalam tulisan milik Sami Moubayed yang diunggah di situs European Eye on Radicalization, ia menyebut Erdogan menerima tugas itu. Sebagai gantinya, ia diberi serangkaian jaminan, termasuk dapat menjaga zona amannya di perbatasan Suriah-Turki dan tidak ada pos pemeriksaannya di Idlib yang menjadi sasaran. 

Ia diberi batas waktu hingga 15 Oktober 2018 untuk mengalahkan HTS. Namun, batas waktu itu terlewatkan, dan berulang di setiap perpanjangan berikutnya. 

Akhirnya, pada Maret tahun ini, ia bertemu lagi dengan Putin untuk membahas Suriah. Erdogan kembali ditugaskan dengan misi yang sama persis, namun untuk kali ini, tanpa batas waktu.  

Negara-negara Arab seperti Mesir, UEA dan Arab Saudi tidak senang dengan pengaturan itu dan berteriak main curang. Mereka beralasan bahwa Erdogan-lah yang mendukung bangkitnya kelompok-kelompok jihadis di Suriah utara. 

Mereka tidak percaya Erdogan benar-benar berbalik melawan milisi yang sama yang telah ia dirikan dan dukung sejak 2012. 

Faktanya, Erdogan mengirim beberapa tentara bayaran ini ke Libya pada akhir 2019 untuk berperang mendukung Perdana Menteri Pemerintah Kesepakatan Nasional, Fayez al-Sarraj. Perdana Menteri tersebut diyakini Uni Emirat Arab dan Arab Saudi sebagai sekutu Ikhwanul Muslimin (MB). 

Turki awalnya mencoba menegosiasikan jalan keluar yang aman untuk HTS dari Idlib tanpa terlibat dalam konfrontasi bersenjata yang sebenarnya. Pada Oktober 2017, milisi HTS mengawal unit pengintaian Turki ke Idlib, di mana tiga pertemuan berlangsung antara kelompok jihadis dan pejabat Turki. 

Turki, dengan sedikit keberuntungan, mencoba meyakinkan HTS untuk keluar dari Idlib, provinsi barat laut yang membentang dari desa Atmeh (utara Idlib, timur perbatasan Turki) ke Darat Izzat (barat laut Aleppo), sepanjang jalan ke Jalan Raya Aleppo-Gaziantep. 

Presiden Recep Tayyip Erdogan. (Foto file-Anadolu Agency) - (Anadolu Agency)

Ketika rencana itu gagal, Ankara mengadopsi pendekatan baru, yakni mendorong pembelotan dalam HTS, menabur benih perselisihan dalam barisannya dan mendorong pejuang untuk membelot dan bergabung dengan kelompok-kelompok jihadis lainnya. 

Pakar Suriah, Charles Lister, mengatakan tujuan akhir dari rencana Erdogan adalah menciptakan pesaing yang bisa dikelola (keluar dari HTS) daripada menjadi musuh. 

Pada kenyataannya, Ankara menginginkan orang lain melakukan pekerjaan kotornya. Jika misi berhasil, Erdogan akan masuk untuk mengklaim perjuangan tersebut. Namun jika gagal, ia akan menyalahkan orang lain. 

Erdogam juga tidak ingin menanggung risiko pertumpahan darah, di mana ia akan kehilangan prajurit Tentara Pembebasan Nasional atau Tentara Pembebasan Suriah. Dia membutuhkan mayat-mayat ini dalam operasi masa depan melawan Kurdi Suriah. 

Selama konflik Suriah, HTS telah menjadi musuh yang paling cakap bagi oposisi bersenjata Suriah. Kondisi ini memberi Erdogan lebih banyak alasan untuk menghindari pengiriman proxy-nya ke pertempuran bunuh diri melawan mereka. 

Mencari rekrutan selalu relatif mudah bagi pemimpin Jabhat al-Nusra, Abu Mohammad al-Golani. Para pemuda datang mengetuk pintunya, ingin bergabung dengan al-Nusra terlebih dahulu, dan kemudian HTS. Bahkan, banyak yang memohon untuk bergabung. Perhatian media yang diberikan Barat kepada al-Golani adalah iklan terbesar yang bisa ia harapkan, dan gratis. 

Orang-orang datang ke HTS karena berbagai alasan dan Erdogan menangkap fenomena ini sejak awal perang Suriah. Beberapa melihat janji nyata dalam program jihadisnya, sementara yang lain menginginkan senjata untuk melindungi rumah dan lingkungan mereka. 

Banyak yang hanya membutuhkan perlindungan dari milisi lokal, karena semua manifestasi kenegaraan telah runtuh di seluruh Suriah utara. Tanpa polisi dan tentara resmi, orang-orang harus menjalankan urusan mereka sendiri dan melindungi kehidupan serta harta benda mereka. Orang-orang membutuhkan senjata dan HTS punya banyak untuk dibagikan. 

Pasukan ini diorganisasi menurut garis militer semi-konvensional dan diberi otonomi besar di medan perang.  Komandan pleton diizinkan mengambil keputusan di tempat tanpa menunggu instruksi dari komando yang lebih tinggi.

Mereka memiliki kebebasan sesuka hati untuk menembak, menyerang desa, menangkap tawanan dan mencelakakan siapa pun yang dianggap musuh. 

Taktik pecah belah ala Turki mulai berbuah dengan pembentukan Hurras al-Din pada Februari 2018. Hurras al-Din merupakan sebuah koalisi kelompok-kelompok jihadis yang membelot dari HTS setelah menjauhkan diri dari al-Qaeda pada Juli 2016.  

 

Mereka secara singkat dengan cepat menjadi pemain yang tangguh di Idlib. Kelompok ini berani menantang HTS dalam wilayah kekuasaannya sendiri.  

Fakta bahwa mereka menghancurkan Idlib dan menyebabkan warga sipil melarikan diri dalam jumlah besar tidak membuat Erdogan marah. Yang penting baginya adalah pemisahan antara HTS dan Hurras al-Din terus memberdayakan dirinya di meja perundingan. 

Dua kelompok ini membuat proxy Erdogan menonjol dan dipandang moderat. Di sisi lain, kondisi ini memberi Rusia lebih banyak alasan untuk mempertahankan kehadiran militer Turki di daerah tersebut.  

Pada bulan Juni, HTS, dalam koordinasi langsung dengan Turki, melakukan serangkaian operasi mengesankan yang bertujuan mengubah citra dirinya sebagai sekutu dalam perang melawan teror. Sebagai permulaan, anggota HTS menangkap Saraj al-Din Mukhtarov, alias Abu Salah al-Uzbaki, seorang jihadis terkenal yang dicari Interpol. 

Mukhtarov, menurut laporan, akan ditransfer ke tahanan Turki di mana Ankara berencana untuk menggunakannya sebagai alat tawar-menawar dalam pembicaraan di masa depan dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa. 

Militan HTS juga membunuh Khaled al-Arouri, alias Abu Qassim al-Urduni, seorang komandan jihad berpangkat tinggi dari Hurras al-Din. Tetapi, yang lebih penting, HTS  menangkap teroris terkenal Jamaah Zeinah, alias Abu Malek al-Talli. Ia merupakan teman dekat dan kawan al-Golani yang membelot dari HTS pada April. Al-Talli berasal dari daerah Qalamoon di Suriah dan merupakan mantan pendiri Jabhat al-Nusra.  

Al-Talli pula sosok yang menculik para biarawati Maaloula dan tentara Lebanon di Arsal pada 2014. Pada Juni, ia sendirian menyatukan lima kelompok jihad yang menentang perjanjian Turki-Rusia di Idlib, menciptakan sebuah kelompok yang disebut "Fa Ithbato" atau "Tahan Posisi Anda".  

Lima kelompok yang berada di bawah komandonya adalah Tansikiyat al-Jihad (Komite Koordinasi Jihad), Liwa al-Muqatileen al-Ansar (semua orang asing), Ansar al-Din (dipimpin Abu Abdullah al-Shami), Hurras al-Din dan Ansar al-Islam. 

HTS menyatakan mereka semua adalah pelanggar hukum, dan mengatakan tidak ada kelompok militer yang bisa didirikan di utara Suriah tanpa izinnya. Pada pertengahan Juli, sebagian besar pangkalan mereka diserbu HTS dan komandan utama mereka tewas atau ditangkap. 

Erdogan akan menggunakan kemenangan ini melawan Hurras al-Din. Hal tersebut juga ia gunakan untuk menunjukkan pada dunia serta Rusia bahwa ia bergerak maju dengan tugas membersihkan Idlib dari pengikut agama garis keras maupun jihadis radikal. 

Sebagai gantinya, ia akan menuntut konsesi yang lebih besar, vis-à-vis  mendapatkan status permanen untuk pasukannya dan tindakan lebih terhadap Kurdi Suriah. 

Erdogan telah menerima lampu hijau untuk meningkatkan jumlah pos pemeriksaan Turki di Suriah. Dari jumlah awal 12 menjadi 47, dengan tiga di antaranya berada jauh di dalam wilayah kekuasaan Rusia di pedesaan Hama dan Latakia.  

Bantuan kemanusiaan PBB sebanyak 89 truk dikirim ke Provinsi Idlib pada Kamis. Ilustrasi. - (Anadolu Agency)

Ia berharap, "keberhasilan" ini pada akhirnya dapat mengarah pada penghapusan HTS dari daftar hitam semua orang, kecuali mungkin Pemerintah Suriah.  

Sementara pemerintah Suriah terus menunjuk HTS sebagai kelompok teroris, tidak ada bedanya dengan al-Qaeda atau ISIS, Rusia lebih berhati-hati. Rusia menyadari mereka terlalu sulit untuk diberantas karena tahu medan di dalam dan luar dan sangat tertanam dalam diri komunitas mereka. 

Moskow lebih suka penyelesaian yang dinegosiasikan dengan para komandan HTS, yang mengarah pada penyerahan senjata mereka dan menyetujui persyaratan rekonsiliasi yang dijabarkan oleh markas mereka di Hmeimeem, pantai Suriah. 

"Sepertinya Turki berusaha menghadirkan HTS sebagai kelompok yang mampu, setidaknya untuk sekarang, dalam memberantas kelompok radikal seperti Hurras al-Din," kata seorang jurnalis Suriah dari Idlib yang merupakan editor senior di Asharq Alawsat, London, Ibrahim Hamidi, dilansir di Eeradicalization, Selasa (4/8).  

Ia menjelaskan, HTS ingin menjadi pemain tunggal di Idlib. Patut dicatat, dalam KTT Putin-Erdogan terakhir, tidak ada kecaman dari HTS seperti apa yang terjadi selama pertemuan puncak mereka pada September 2019. HTS adalah kartu penting di tangan orang Turki, yang tidak akan menyerah secara gratis.  

Kesimpulannya, terlepas dari upaya Erdogan untuk menumpuk kartu-kartu itu, ia hanya memiliki sedikit hal untuk ditunjukkan bagi dirinya sendiri. Seorang pakar Suriah yang terkenal dan mantan duta besar Belanda untuk Timur Tengah, Nikolaos van Dam, menyebut Turki mencapai kebalikan dari apa yang dituju.  

"Erdogan ingin menggulingkan rezim di Damaskus, tetapi gagal melakukannya. Ini memungkinkan miliaran dolar pengiriman senjata melintasi perbatasannya ke Suriah, yang sebagian berakhir di tangan kelompok-kelompok Islam radikal. Ia ingin menetralisir PYD / YPG Kurdi yang terhubung dengan PKK, tetapi PYD / YPG menjadi lebih kuat dari sebelumnya," katanya. 

Turki lantas memutuskan untuk menjauh dari konfrontasi langsung di Idlib. Mereka membuka kesempatan bagi kelompok-kelompok ini untuk melemahkan diri sendiri dan saingan mereka dengan saling bertarung. 

"Rezim Suriah tidak akan keberatan jika Turki melenyapkan kelompok-kelompok ini untuk mereka. Tetapi suatu hari Suriah akan berbaris melawan mereka yang didukung oleh Turki, dalam upaya untuk memulihkan semua wilayah Suriah, termasuk bagian-bagian yang ditempati oleh Turki sendiri," lanjutnya. 

 

 

https://eeradicalization.com/why-erdogan-is-not-serious-about-eliminating-hayat-tahrir-al-sham/

 
Berita Terpopuler