Sosok Syekh Yasin Padang Lahir di Makkah dan Cinta Nusantara

Karya-karya Syekh Yasin mencakup pelbagai macam bidang disiplin keilmuan Islam.

Gahtena.nl
Sosok Syekh Yasin Padang Lahir di Makkah dan Cinta Nusantara. Foto: Suasana Makkah tempo dulu. Terlihat onta yang tengah berbaring di samping pelananya setelah berjalan melintasi padang pasir.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Muhammad Fakhruddin

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Muslim Indonesia patut bangga ketika mengenal Syekh Yasin Padang yang merupakan ulama besar dunia Islam di bidang hadits dan sanad. Sosoknya diklaim satu-satunya ulama yang memiliki mata rantai sanad keilmuan dalam pelbagai bidang dan jalur periwayatan menyambung ke para ulama besar dunia Islam generasi sebelumnya yang paling lengkap dan luhur. 

Dilansir dari NU Online pada Senin (27/7), Syekh Yasin Padang dijuluki musnid al-dunya atau mata rantai sanad keilmuan dunia karena hampir semua ulama Muslim yang berkarir pascaparuh kedua abad ke-20, sanad keilmuan dan jalur periwayatan mereka bersumber dari atau tersambung dengannya. Kebesaran sosok Syekh Yasin juga tampak dari banyaknya murid yang menjadi ulama besar di pelbagai penjuru dunia, mulai dari Maroko, Mesir, Suriah, Lebanon, Sudan, Saudi Arabia, Irak, Turki, India, hingga Nusantara.

Kepakaran Syekh Yasin sebenarnya bisa ditinjau dari karya tulisnya yang berjumlah lebih dari 90 buah. Karya-karya Syekh Yasin mencakup pelbagai macam bidang disiplin keilmuan Islam, mulai dari ilmu tafsir, hadits, musthalah al-hadits, fikih, ushul fikih, logika, tata bahasa Arab. Tapi dari semua karyanya, yang paling dominan adalah karya-karya dalam bidang ilmu isnad (sanad).

Dari catatan sejarah, Syekh Yasin Padang lahir di Makkah pada tahun 1917 M (1335 H) dari keluarga asal Nusantara, tepatnya dari Padang, Sumatera Barat. Ayahnya, Syekh Isa Padang bermukim di Makkah dan tidak kembali lagi ke kampung halaman asalnya. Syekh Yasin Padang tumbuh di Makkah dan menjadi warga negara setempat hingga akhir hidupnya.

Walau demikian, kecintaan Syekh Yasin Padang pada Nusantara tak perlu diragukan. Dalam buku karangan Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (1995) menceritakan Syekh Yasin Padang mendirikan madrasah Dar al-‘Ulum al-Diniyyah atas kecintaannya pada Nusantara.

Sebelum madrasah itu berdiri, ada madrasah lain yang terkenal di Makkah, yaitu Madrasah Shaulatiyyah. Madrasah ini didirikan tokoh perempuan dari India, Shaulah al-Nisa’, pada 1874, karena itu disebut Shaulatiyyah. Pengelolaan madrasah itu diserahkan kepada ulama militan yang dikenal karena polemik-polemiknya melawan para misionaris Kristen di India, yaitu Rahmatullah bin Khalil al-‘Utsmani.

Banyak pelajar Indonesia yang menjadi murid madrasah itu, termasuk Syekh Yasin Padang. Ada suatu kejadian di madrasah tersebut yang membuat Syekh Yasin marah dan kemudian memutuskan untuk keluar. Pada suatu hari, seorang guru di madrasah itu merobek koran berbahasa Indonesia yang dibaca oleh sejumlah mahasiswa asal Indonesia. Guru itu juga mengejek aspirasi nasionalis orang-orang Indonesia dengan mengatakan bahwa bangsa bodoh yang memakai bahasa seperti itu tak akan bisa meraih kemerdekaan.

Kejadian ini disaksikan langsung oleh Syekh Yasin, dan tentu saja membuatnya marah dan memutuskan untuk keluar dari madrasah itu. Ia kemudian terlibat dalam usaha-usaha untuk mendirikan madrasah terpisah guna menampung mahasiswa asal Indonesia.

Berdirilah Madrasah Dar al-‘Ulum al-Diniyyah pada 1934. Ada sekitar 120 santri Jawa (istilah Jawa saat itu mencakup seluruh kawasan Indonesia, Melayu, bahkan juga Thailand Selatan) yang pindah ke madrasah baru itu, termasuk Syekh Yasin sendiri. Belakangan, Syekh Yasin menjadi mudir atau direktur madrasah tersebut hingga dia wafat pada 1990. 

 
Berita Terpopuler