Muslim Australia Khawatir Impor Konten Internet Sayap Kanan

Konten internet sayap kanan di Australia dinilai terkoordinasi.

wikipedia
Muslim Australia Khawatir Impor Konten Internet Sayap Kanan. Kelompok supremasi kulit putih
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah kelompok advokasi Muslim menyatakan kekhawatirannya Australia mengimpor konten sayap kanan dari Inggris, Amerika Serikat, dan Eropa melalui platform media sosial. Kelompok ini mengatakan telah mengidentifikasi perilaku meresahkan antara sebuah jaringan laman di Australia yang terhubung ke konten yang mengusung supremasi kulit putih (white supremacist) di luar negari. White supremacist merujuk kepada kelompok yang mengagungkan jika warga kulit putih adalah yang paling hebat.

Baca Juga

Jaringan Advokasi Muslim Australia telah menggunakan pengajuan ke penyelidikan Senat terhadap campur tangan asing melalui media sosial. Jaringan advokasi Muslim ini didirikan setelah insiden pembantaian terhadap Muslim di Christchurch, Selandia Baru pada 2019.

Mereka memperingatkan meningkatnya ekstremisme akan merusak keamanan, hubungan sosial, dan demokrasi. Kelompok ini menunjukkan 12 partai kecil dengan kebijakan anti-Muslim yang diskriminatif telah mencalonkan diri dalam pemilihan federal terakhir, yang merupakan jumlah kelompok terbesar yang mereka catat.

"Kami tetap sangat khawatir tentang ekspor retorika ekstremis sayap kanan dari Inggris, Eropa dan AS ke Australia melalui latihan yang terkoordinasi pada platform media sosial seperti Facebook, dan dampaknya yang berpotensi menghancurkan demokrasi, hubungan sosial, dan keamanan nasional Australia," kata kelompok Muslim tersebut dalam pengajuannya, dilansir di The Guardian, Kamis (23/7).

ABC melaporkan, ekstremis sayap kanan kini mencakup sepertiga dari semua investigasi domestik yang dilakukan oleh Badan Intelijen Australia (ASIO). Sebelumnya, ASIO tengah menyelidiki kegiatan kelompok ekstrem sayap kanan yang menggunakan isu virus corona untuk merekrut anggota baru dan menyebarkan ide-ide berbahaya mereka. Konten sayap kanan itu disebarkan melalui internet di tengah pandemi ini.

Laporan program Background Briefing ABC pada Juni lalu sebagian didasarkan pada penilaian ancaman oleh ASIO yang dikeluarkan pada Mei untuk para profesional keamanan. Dokumen itu memperingatkan pembatasan berkenaan dengan Covid-19 telah digunakan oleh kelompok sayap kanan untuk mengatakan (membuat narasi) negara telah menindas, dan globalisasi dan demokrasi mengalami kecacatan serta kegagalan.

Kalangan umat Muslim di Sydney, Australia. - (Dok CIDE NSW)

Direktur Jenderal Keamanan Australia, Mike Burgess, mengatakan, dalam sebuah pidato pada Februari lalu, ekstremisme tetap menjadi perhatian utama Asio. Namun, mereka juga fokus pada sel-sel sayap kanan ekstrem kecil yang kerap ditemukan di pinggiran kota di Australia. Mereka ditemukan memberi hormat kepada bendera-bendera Nazi, memeriksa senjata, berlatih tempur, dan membagikan ideologi kebencian mereka.

Awal tahun ini, jaringan advokasi Muslim bekerja sama dengan sebuah firma hukum Sydney, Birchgrove Legal, meminta Facebook agar merombak kebijakan moderasinya. Dalam pengajuannya, jaringan itu mengatakan penelitian yang tidak dipublikasikan dari Victoria University pada 2018 telah mengungkap adanya lebih dari 41 ribu unggahan kelompok sayap kanan di Facebook. Unggahan itu diidentifikasi sebagai wacana radikalisasi.

Berdasarkan penelitian itu, jaringan ini kemudian melakukan penyelidikan atas kapasitas Facebook dalam menegakkan standar kebijakannya terhadap ujaran kebencian. Jaringan tersebut mengatakan, ingin menguji apakah suara-suara ekstremis masih aktif setelah peristiwa Christchurch.

Faktanya, jaringan ini mengatakan penyelidikannya terhadap kelompok sayap kanan itu mampu mengungkap mereka masih sangat aktif dalam pekerjaan mereka menyebarkan konten-konten yang meresahkan di Australia. Dalam hal ini, laman jaringan tersebut terhubung ke ekstremisme sayap kanan dan konten supremasi kulit putih di luar negeri.

 

 

Dikatakan, Facebook menyambut baik penyelidikan tersebut. Namun, jaringan advokasi Muslim ini tetap memantau keberlanjutan apakah perubahan sistemik berdampak agar membuat platform lebih aman, dan mendorong moderasi yang lebih baik oleh administrator halaman.

Kelompok Muslim tersebut juga mengakui penegakan hukum atas konten meresahkan itu menantang. Mengingat, aktor kebencian yang terorganisir mengandalkan kemampuan menyebarkan informasi yang keliru dan konten yang jahat yang disamarkan sebagai situs berita luar atau opini. Namun, mereka mengatakan platform tersebut tidak memiliki panduan moderasi konten untuk mengidentifikasi ideologi atau wacana supremasi kulit putih.

Mereka lantas mengatakan, penelitian di bidang ini menunjukkan materi radikalisasi kerap beredar melalui platform berita berbahaya untuk menghindari sanksi pidana. Selain itu, banyak materi yang beredar untuk menghasut kekerasan, namun nyatanya sulit diterapkan pidana hukum.

Akan tetapi, pemerintah mungkin mempertimbangkan memperkuat hukum pidana yang ada yang digunakan menindak perilaku daring yang berbahaya. Sementara itu, penelitian oleh Universitas Victoria memeriksa aktivitas unggahan oleh kelompok-kelompok superioritas anti-Islam, ras dan budaya di Victoria. 

Mereka juga meneliti pesan dan tema-tema pergerakannya. Penelitian ini menunjukkan sayap kanan di Victoria menjadi sebuah lingkungan yang semakin radikal yang secara tidak sengaja dapat membantu menghasilkan kekerasan.

Berbagai elemen masyarakat membuat tirai manusia ketika umat muslim melaksanakan sholat jumat pertama pascapenembakan di dua masjid kota Christchurch di Kilbirnie, Wellington, Selandia Baru pada 2019. - (Antara/Ramadian Bachtiar)

Penelitian itu mencatat ada derajat radikalisasi dalam masyarakat yang bermanifestasi dalam 'retorika dan pernyataan ekstrem'. Misalnya, menolak demokrasi parlementer sebagai bentuk pemerintahan yang sah, dukungan atas kekerasan dan acuan untuk genosida kulit putih.

Penyelidikan oleh Senat dibentuk tahun lalu dalam rangka menyelidiki risiko yang ditimbulkan pada demokrasi Australia oleh campur tangan asing melalui platform media sosial termasuk Facebook, Twitter, dan Wechat. Sejumlah kelompok telah mengajukan proposal. Departemen Dalam Negeri menggunakan pengajuannya untuk memperingatkan kegiatan campur tangan asing terhadap kepentingan Australia yang terjadi pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Mereka juga menghidupkan langkah membantu orang-orang mengidentifikasi berita palsu yang bisa menjadi salah satu respons potensial untuk mempertahankan kedaulatan. Analis dari Australian Strategic Policy Institute mengatakan kepada penyelidikan Senat bahwa aktor bermotivasi finansial dari Kosovo, Albania, dan Republik Makedonia Utara menggunakan konten nasionalistik dan Islamofobia untuk menargetkan dan memanipulasi pengguna Facebook Australia selama pemilihan 2019.

Aktor tersebut berargumen pandemi virus corona adalah alat pemercepat untuk informasi daring yang keliru. Raksasa mesin pencari Google telah mencatat krisis Covid-19 telah menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam serangan siber dan penipuan.

 

Aktor jahat tersebut berupaya menakuti atau memotivasi penerima yang tidak menaruh curiga atas materi palsu tersebut. Aktivitas daring dari aktor jahat tersebut telah menggunakan tema terkait Covid-19 untuk menciptakan kekacauan, sehingga orang-orang merespons terhadap serangan siber dan penipuan tersebut.

 

 
Berita Terpopuler