NU dan Muhammadiyah: Kontroversi Organisasi Penggerak

Kontroversi organisasi penggerak kemendikbud.

Antara/Syifa Yulinnas
Guru mengajar pada hari pertama sekolah tatap muka di Madrasah Aliyah Negeri 1 Aceh Barat, Aceh, Senin (20/7/2020). Guna mencegah penyebaran COVID-19, pihak sekolah membagi siswa menjadi dua kelompok, yakni kelompok pertama belajar di sekolah dan lainnya belajar di rumah. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/wsj.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Iman Sumarlan, Direktur Eksekutif Pegiat Pendidikan Indonesia

Program Organisasi Penggerak (POP) yang diinisiasi oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi sorotan publik, seiring dengan surat pemberitahuan hasil evaluasi proposal POP yang ditandatangani oleh Iwan Syahril, Direktur Direktorat Jendral Guru dan Tenaga Pendidikan (Dirjen GTK).

Awalnya, POP disambut baik oleh publik, sebagaimana tujuan programnya. Menurut peraturan Sekretaris Jendral Kemendikbud Nomor 3 tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis dan Nomor 4 Tentang Pedoman Organisasi Penggerak. POP bertujuan untuk meningkatkan kopetensi guru dan tenaga pendidik, dengan melibatkan peran serta organisasi kemasyarakatan (ormas), untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik.

Peran serta ormas dalam agenda POP menjadi kata kunci. Selama ini peningkatan kopetansi guru dan tenaga kependidikan dilakukan oleh kemendikbud, melalui Dirjen GTK. Namun, atas nama merdeka belajar, sebagaimana slogan mas Mentri Nadiem Anwar Makarim, ormas diberikan hak untuk meningkatkan kopetensi guru melalui wadah yang diberinama Program Organisasi Penggerak (POP).

Sebagaimana yang dilansir pada youtube kemendikbud, menurut mas menteri, tidak sedikit ormas yang memiliki metode bagus dalam peningkatan kopetensi guru dan tenaga kependidikan. Dengan alasan ini, mas menteri memberikan kesempatan kepada ormas untuk berkerjasama dan terlibat dalam penguatan dan  peningkatan kualitas guru dan tenaga kependidikan.

Alasan yang lebih mendasar, menurut pengamatan tim mas menteri, ada dua hal yang menjadi indikator assesmen yaitu internasional dan nasional mengenai hasil belajar siswa dan kopetensi guru. menurut data PISA tahun 2018, hasil belajar siswa mengalami penurunan. Begitu juga penilaian AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia) tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan, kemampuan matematika dan sains dinilai kurang lebih dari 73 persen, sedangkan bahasa dinilai kurang mencapai 46,83 persen.

Sampai disini dapat dipahami, pelibatan ormas dikehendaki oleh mas menteri untuk mempercepat kerja dan hasil pada sektor pendidikan. Mas menteri ingin membuktikan, bahwa penunjukaannya menjadi menteri membawa perubahan yang revolusioner, perubahan yang cepat terlihat hasilnya, baik menurut indikator internasional ataupun nasional.

Ambisi yang begitu kuat, tidak disertai kehati-hatian serta tidak diiringi dengan konsep yang matang, selalu menyisakan citra lembaga dan perorangan menjadi buruk. Begitu nampaknya yang dialami oleh Kemendikbud dan mas menteri, melalui konsep merdeka belajar, dengan program organisasi penggeraknya.

Keputusan dari surat dirjen GTK tentang Hasil evaluasi proposal organisasi penggerak menyisakan pertanyaan. Beberapa hal berikut ini yang dinilai menuai kontrovesi dari keputusan POP.

Pertama, manajemen penilai. Dari sini muncul pertanyaan, mengapat program kemeterian pendidikan dan kebudayaan, hak penilai (reviewer) diserahkan kepada pihak luar kementerian. Sebagaimana yang disampaikan Direktur Dirjen GTK, proses seleksi dan penilaian diserahkan sepenuhnya pada pihak luar yaitu Smeru Research Institute (SRI), dan kemendikbud tidak melakukan intervensi apapun. Sebelumnya dalam peraturan

Sekretaris Jendral Kemendikbud, tidak menyebutkan nama SRI sebagai penilai. Penyebutan tim penilai, baru diucapkan saat pengumuman hasil evaluasi proposal.
Sudah seharusnya, program yang diinisiasi oleh kemendikbud juga melibatkan unsur dari pihak dalam, dalam hal ini unsur kemendikbud. Tidak membiarkan sepenuhnya dipegang kenadali oleh pihak luar.

Demikian juga, mengapa hanya melibatkan satu lembaga sebagai penilai, bukan sebaiknya melibatkan banyak pemangku kepentingan pendidikan yang secara kapabilitas, integritas serta profesionalitas dapat dipertanggungjawabkan.

Kedua, transparansi penilaian. Sebagaimana pedoman POP dalam Peraturan Sekjen Nomor 4 tahun 2020, penilaian proposal didasarkan atas tiga hal yaitu adminitrasi, teknis substansi dan pembiayaan. Proses seleksi dinilai mengandung unsur ketidakadilan, karena sifat seleksi yang tertutup, bahkan dikentarai memiliki unsur politis. Sebagaimana yang diungkap oleh Ahmad Rizali aktivis pegiat pendidikan NU Circle, jelas bahwa lembaga (Pendidik Indoensia Pelopor Perubahan/PIPP dan Yayasan Pendidikan yang berafiliasi pada  pondok pesatren Buntet) sebagai mitra Gernas Tastaka yang memiliki rekam jejak yang telah bertahun-tahun dalam memberikan pelatihan  peningkatan numerasi, tidak lolos seleksi.

Menurut keputusan direktur Dirjen GTK Nomor 2314/B.B2/GT/2020 tentang Pemberitahuan Hasil Evaluasi Proposal POP, ada 324 proposal yang masuk dari 260 ormas dinyatakan lolos adminitrasi yang selanjutnya pada taham penilaian substantif. Dari 324 menjadi 231 proposal dari 188 ormas yang dinyatakan lolos evaluasi substantive dan lanjut ketahap verifikasi. Kemudian dari 231 proposal, sejumlah 183 proposal dan 156 ormas dinyatakan lolos verifikasi.

Ketiga, hasil evaluasi organisasi penggerak. sebagaimana surat Direktur Dirjen GTK Kemendikbud tertera Yayasan Bakhti Tanoto dan Yayasan Putera Sempoerna sebagai ormas yang lolos verifikasi untuk menjalankan POP. Dua ormas ini mendapatkan anggaran bantuan versi gajah yaitu mengelola anggaran 20 Milyar dalam satu tahun.

Keanehan disini terjadi, Yayasan yang didirikan diatas merupakan pengelola anggaran CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahan yang berafiliasi padanya. Seperti Putera Sempurna milik perusahaan rokok PT HM Sempoerna begitu juga dengan Tanoto milik pengusaha kayu kaya kelahiran Medan. Perusahaan ini tidak perlu di dukung oleh anggaran pemerintah, telah mampu dalam upaya menjalankan program penguatan pendidikan.

Mengapa tim seleksi dan kemendikbud tidak menerapkan batasan organisasi masyarakat yang berhak menjalankan POP. Apakah ini memang sengaja diberlakukan? Sebagaimana amanat Undang-Undang, perusahaan harus memiliki kepekaan atas lingkungan sosialnya. Anggara yang diberikan kepada kedua contoh Yayasan diatas telah menciderai etika dan moral dalam birokrasi.

Keempat, efektifitas pelaksanaan. Yang terakhir menurut pengamatan penulis yaitu tentang efektifitas pelaksanaan program. Jika melihat data dari surat Dirjen GTK terjadi ketidakefektifan program. Seperti misalnya, domisili pelaksana program adalah D.I. Yogyakarta, namun harus melaksanakan program di aceh dan sumatera utara. Begitu juga domisili ormas di D.K.I. Jakarta harus melaksanakan program ke Kalimantan, Sulawesi atau Indonesia bagian timur lainnya.

Demikianlah catatan kontroversi melalui program organisasi penggerak. jika hal ini diabaikan, tidak menuntup kemungkinan akan mendapat perlawanan oleh publik yang berkepanjangan. Bahkan protes dapat ditempuh melalui jalur litigasi jika terbukti pertentangan dengan peraturan diatasnya.

Mendikbud harus hati-hati dan memikirkan matang-matang  atas setiap kebijakan yang menyangkut tentang pendidikan. Ambisi untuk pembuktian yang gegabah, justru akan merusak citra kementrian dan nama menteri sendiri.

Aroma kebijakan merdeka belajar telah tercium tidak sedap, dapat terlihat dari pengisi jabatan di kementrian yang sebenarnya merupakan bagian dari tim menteri sendiri, sungguh sangat disayangkan.

 
Berita Terpopuler