Potret Pelanggaran Hak-Hak Guru di Sekolah

Banyak guru honorer yang mengalami perlakukan kurang baik dari oknum kepala sekolah.

Ilustrasi guru honorer
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Tuti Khairani Harahap, Dosen Administrasi Publik Universitas Riau dan Pengurus Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (Asian)

Fenomena pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) kerap terjadi di lingkungan sekolah. Kasus hak-hak guru yang tidak ditunaikan secara baik oleh oknum kepala sekolah pun kian merebak. Padahal, kepala sekolah sebagai pejabat publik sekaligus pelayan publik dituntut melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Kepala sekolah tidak boleh menyalahgunakan kewenangannya, apalagi melanggar etika pelayanan publik yang ada di lembaga pendidikan yang dipimpinnya.

Tindakan koruptif, intimidatif, serta diskriminatif harus dihindari sejauh mungkin oleh kepala sekolah. Sebaliknya, kepala sekolah harus memiliki integritas serta moralitas yang baik, akuntabilitas dalam menjalankan kewenangannya, serta mampu menumbuhkan iklim demokratis dalam kehidupan di sekolah. Jika berbagai hal tersebut dijalankan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab oleh kepala sekolah, maka dapat mendorong terwujudnya tujuan luhur pendidikan nasional.

Kepala sekolah harus memegang teguh semboyan dari Ki Hajar Dewantara yang digaungkan dalam dunia pendidikan yakni Ing Ngarsa Sung Tulada, artinya di depan kepala sekolah harus memberikan suri teladan, Ing Madya Mangun Karsa, artinya kepala sekolah harus membangkitkan semangat setiap elemen di sekolah, serta Tut Wuri Handayani yang berarti di belakang kepala sekolah harus mendorong agar instansi yang dipimpinnya dapat maju dan berkembang.

Artinya, kepala sekolah sebagai pucuk pimpinan harus menjadi role model atau suri teladan bagi setiap entitas yang ada di lingkungan sekolah. Karenanya, kepala sekolah harus memperhatikan setiap nilai, norma, etika dan moralitas yang berlaku dalam dunia pendidikan.

Di samping itu, kepala sekolah sudah semestinya menyelenggarakan pendidikan dengan memperhatikan aspek kemanusiaan, sehingga dapat membentuk kultur pendidikan yang humanis di lingkungan sekolah. Sebagaimana filosofis pendidikan dari Ki Hajar Dewantara (1977) yang menyebutkan pendidikan adalah buah budi manusia yang beradab dan buah perjuangan manusia terhadap dua kekuatan yang selalu mengelilingi hidup manusia, yaitu kodrat alam dan zaman atau masyarakat.

Untuk itu, kepala sekolah sudah semestinya memperhatikan kondisi dari setiap entitas yang ada di lingkungan sekolah yakni salah satunya ialah guru. Terutama jaminan kondisi, nasib serta pemenuhan hak-hak guru honorer oleh kepala sekolah ketika pandemi Covid-19 saat ini. Namun, dalam praktiknya, berbagai hal ideal di atas ternyata justru tidak seindah dengan apa yang disebutkan.

Secara kontras, kondisi ideal tersebut dicederai oleh berbagai tindakan menyimpang dari oknum kepala sekolah yang tidak mengindahkan nilai-nilai, etika, dan moralitas yang berlaku di institusi pendidikan yang dipimpinnya. Pemikiran ini berawal dari penelitian yang dilakukan oleh penulis untuk mengetahui bagaimana kondisi dan nasib guru honorer yang ada di Sekolah di Pekanbaru, pada saat Pandemi Covid-19.

 

 

Hasil penelitian menunjukkan banyak guru honorer yang mengalami perlakukan kurang baik dari oknum kepala sekolah. Hak-hak guru honorer justru tidak dipenuhi dengan baik oleh oknum kepala sekolah.

 

Pemberian gaji yang tidak sesuai dengan jumlah seharusnya dan bahkan ada gaji guru honorer yang tidak dibayar sama sekali. Lebih parah lagi, hak-hak demokratis mereka dibungkam secara paksa. Para guru honorer diancam akan dipecat jika mereka menyuarakan atas pemenuhan hak-haknya.

Berbanding terbaik dengan oknum kepala sekolah dan bendahara yang justru diduga kerap menyalahgunakan kewenangannya dalam penggunaan dana BOS, serta melakukan tindakan pungli dan penipuan. Oknum kepala sekolah secara paksa meminta para guru honorer untuk menandatangani kwitansi gaji, namun dalam realitanya tidak dibayarkan sama sekali.

Oknum kepala sekolah justru lebih mementingkan pembangunan infrastruktur di ruang kerjanya sendiri ketimbang memberikan hak guru honorer yang terancam kesejahteraannya di saat pandemi. Lebih parahnya lagi, tindakan oknum kepala sekolah tersebut justru dilegalkan oleh oknum pegawai dinas.

Inilah yang penulis anggap peranan kepala sekolah yang merupakan pelayan publik sudah bergeser rasa menjadi pejabat politik atau pemimpin perusahaan bahkan menjadi raja atau ratu di sekolah. Tentunya ini menunjukkan sebagai pejabat publik, kepala sekolah tidak menyelenggarakan pendidikan sesuai amanah konstitusi.

Karenanya, penulis menganggap sangat mendesak untuk melaksanakan perlindungan bagi guru honorer dari tindakan diskriminatif, persekusi, intimidasi, ancaman, serta perlakuan yang melanggar HAM terhadap guru honorer. Karier dan kesejahteraan guru honorer sudah semestinya lebih diperhatikan dan ditingkatkan, terlebih di tengah kondisi Pandemi Covid-19 saat ini.

Kepala sekolah sebagai pelayan publik hendaknya lebih memperhatikan kesejahteraan guru honorer yang merupakan anggota yang dipimpinnya. Sebagaimana pandangan Yeremias T. Keban dalam artikelnya yang berjudul Etika Pelayanan Publik: Pergeseran Paradigma, Dilema dan Implikasinya bagi Pelayanan Publik di Indonesia (Majalah Perencanaan Pembangunan Edisi 24 tahun 2001). Ia mengatakan dalam pelayanan publik, perbuatan melanggar moral atau etika sulit ditelusuri dan dipersoalkan karena adanya kebiasaan masyarakat kita melarang orang “membuka rahasia” atau mengancam mereka yang mengadu.

Sementara itu, tantangan ke depan semakin berat karena standar penilaian etika terus berubah sesuai perkembangan paradigmanya. Penulis menilai yang dikatakan Yeremias T. Keban akan terus terjadi dan menjadi preseden buruk sampai saat ini. Padahal sudah ada Kebijakan Publik tentang Keterbukaan Informasi Publik yaitu dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Setiap badan publik berkewajiban untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi  publik. Adanya aturan hukum tersebut sudah semestinya membuat guru honor juga berhak mendapatkan dan memberikan informasi mengenai kondisi yang dihadapinya.

Jaminan atas kebebasan berpendapat serta mendapatkan informasi pada dasarnya merupakan salah satu prinsip dari negara hukum Indonesia. Sebagaimana disebutkan oleh Cecep Darmawan dalam (2020) bahwa salah satu ciri utama dari negara hukum (rechtsstaat) adalah perlindungan hak-hak sipil dan kebebasan berdemokrasi. Konsekuensi dari konsepsi negara hukum Indonesia tersebut, membuat setiap penyelenggaraan kenegaraan dalam berbagai bidang harus dijalankan berdasarkan hukum, salah satunya ialah dalam bidang pendidikan.

Untuk itu, penulis perlu mengingatkan setiap pemangku kepentingan terkait untuk memperhatikan kembali  tentang penempatan seseorang dalam jabatan kepala sekolah. Terlebih saat pandemi seperti ini profesionalisme harus dikedepanka. Sudah semestinya jabatan kepala sekolah wajib diberikan dan diseleksi melalui diklat pendidikan yang berkarakter sesuai dengan nilai-nilai karaker ideologi Pancasila.

 
Berita Terpopuler