Mungkinkah ISIS Bangkit Kembali dan Semakin Kuat?

ISIS perlahan tengah membangun basis kekuatannya di wilayah Irak.

VOA
ISIS perlahan tengah membangun basis kekuatannya di wilayah Irak. Gerakan ISIS (ilustrasi)
Rep: Kiki Sakinah Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Pada 2014 lalu, kelompok Negara Islam Irak Suriah (ISIS) yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi sempat mendeklarasikan keberadaan kekhalifahan ISIS di Masjid al-Nuri di Mosul, Irak. Sekitar empat tahun menduduki Mosul, ISIS kemudian dipukul mundur dari kota itu pada 2018.  

ISIS kemudian dinyatakan menderita 'kekalahan teritorial' pada 2019 lalu, setelah kehilangan pertahanan terakhirnya di Suriah. ISIS kalah setelah diserang oleh aliansi Pasukan Demokrat Suriah (SDF) yang memulai operasi penyerangan pada awal Maret 2019. Dengan kekalahan itu, SDF juga mengumumkan penghapusan total apa yang disebut kekhalifahan.  

Di mata seluruh dunia, ISIS mungkin tampak seperti kelompok Negara Islam yang akhirnya telah ditaklukkan. Namun, benarkan ISIS telah benar-benar kalah? Dan mungkinkah ternyata ISIS bangkit dan menyusun kekuatan kembali?  

Dalam artikel di ABC News, disebutkan bahwa ISIS tidak benar-benar telah takluk. Negara Islam dinilai tidak pernah membutuhkan kekhalifahan untuk terus mengancam dunia. Bahkan, mereka dipandang telah menyusun barisan kembali.  

Kehadiran ISIS masih ada melalui serangkaian ancaman dan pengrusakan yang dilakukan di Irak. Seperti diungkapkan Wali Kota Garma, sebelah utara ibukota Baghdad di Irak, Juma'a Qasim Al-Rubaie yang mengatakan bahwa teror tidak pernah meninggalkan desanya. "Kami telah diserang dengan bom mobil, bahan peledak buatan, pembom bunuh diri," kata Al-Rubaie kepada ABC, dilansir Sabtu (11/7).  

Bahkan, menurutnya, kehadiran terus-menerus dari kelompok teroris ISIS ini telah membuat populasi Garma menurun dari 8.000 menjadi 120. Kota Garma layaknya kota hantu.  

Lebih dari setahun setelah 'kekalahan teritorial' ISIS, yang kemudian membongkar kekhalifahan, sel-sel ISIS masih berkeliaran di sebagian besar Irak. Di tempat-tempat seperti Garma, penduduk setempat mengatakan bahwa mereka meletakkan perangkap dan tambang, mengalihkan air irigasi, dan membunuh penduduk desa.  

Banyak orang telah meninggalkan pertanian mereka karena ketakutan. Meskipun tentara Irak telah dikerahkan untuk melindungi desa tersebut, Al-Rubaie mengatakan tentara itu tidak bisa berbuat banyak.  

"Situasinya sangat buruk. Orang tidak bisa keluar, tidak bisa mendapatkan makanan, tidak ada yang bisa kita lakukan. Kita hanya bisa meminta belas kasihan Tuhan, tidak lebih," lanjutnya.  

Penduduk desa lainnya di Irak menceritakan kisah yang sama. Para pejuang ISIS bergerak bebas, membunuh orang dan ternak, merusak tanaman dan menyerang pasukan keamanan sesuka mereka. Kelompok ini perlahan bangkit dan membangun kembali kekuatan di pedesaan di Irak, dengan rencana besar untuk berkembang.  

Sementara itu, menggulingkan 'kekhalifahan' ISIS diliha banyak orang sebagai momen yang menentukan dalam menghancurkan kelompok teroris itu. Pada Oktober 2019, al-Baghdadi tewas dalam misi pasukan khusus AS di Suriah barat laut.  

Bulan lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan bahwa kekhalifahan ISIS telah 100 persen dihancurkan di bawah pemerintahannya. Namun nyatanya, Michael Knights dari Washington Institute for Near East Policy (kebijakan Timur Dekat) mengatakan bahwa ISIS baru saja pindah ke Irak. Di sana, kelompok ini bangkit dari kekalahannya dan telah menjelma menjadi pemberontakan yang kuat dan berkelanjutan. Knights sendiri telah melacak aktivitas ISIS.  

"Negara Islam telah memasukkan kembali para ahli dan pemimpin taktis dan pembuat bom dari Suriah. Peningkatan dalam serangan ISIS yang kami saksikan di Irak adalah para pejuang dari Suriah yang menyebar ke seluruh provinsi Irak yang berbeda," kata Knights.  

Kebangkitan ISIS ini terjadi ketika Amerika Serikat dan mitranya dalam Koalisi Global untuk Mengalahkan ISIS menurunkan skala operasi di Irak. Amerika Serikat berada di bawah tekanan khusus untuk pergi, setelah serangan pesawat tak berawak Amerika Serikat menewaskan jenderal Iran Qassem Soleimani dan seorang pemimpin milisi Syiah di Irak pada Januari lalu.   

Para militan ISIS (ilustrasi). - (AP)

Insiden yang membunuh jenderal Iran itu memicu serangan terhadap pasukan Amerika Serikat dari kelompok-kelompok milisi yang didukung Iran. Baru-baru ini, Koalisi memindahkan enam pangkalan ke kontrol Irak, mengembalikan sejumlah tentara dan staf ke negara asal dan memindahkan ke pangkalan pusat di Baghdad untuk kegiatan konsultasi dan koordinasi  

Dalam sebuah pernyataan, Satuan Tugas Koalisi (The Coalition Task Force) mengatakan bahwa Pasukan Keamanan Irak akan mendapatkan kualitas yang sama dari dukungan Koalisi dari pasukan Koalisi yang lebih sedikit, yang beroperasi dari pangkalan yang lebih sedikit. Namun, para pejabat Irak mengatakan kepada ABC, bahwa mereka khawatir pasukan asing akan pergi.  

Di sisi lain, jatuhnya harga minyak global telah menghilangkan sumber utama pendapatan pemerintah Irak. Hal itu juga memicu kekhawatiran mereka akan kesulitan untuk membayar tentaranya.  

Tanpa intervensi, ISIS dinilai dapat meningkatkan kemampuan operasionalnya dan kembali dapat mencapai target di luar basisnya. Knights mengatakan, strategi yang dilakukan ISIS saat ini adalah menjadi aktor politik, militer dan ekonomi yang paling penting di daerah-daerah pedesaan di Irak.  

Menurutnya, ISIS berencana untuk mendirikan basis ekonomi, sehingga mereka dapat mulai merencanakan dan melakukan serangan yang lebih canggih. Selain memegang Raqqa, Mosul, dan daerah lainnya, ISIS juga dikatakan mampu mengembangkan operasi eksternal yang sangat maju terhadap Eropa.  

Tidak hanya itu, menurutnya, ISIS juga membangkitkan afiliasi di tempat lain. Termasuk pemberontakan yang sedikit dipublikasikan namun serius di Nigeria, Mesir, dan Filipina. Pada Maret 2020, lusinan orang terbunuh saat gerilyawan yang terkait ISIS menyerbu sebuah kuil Sikh di Afghanistan.  

Ilustrasi Gerakan ISIS - (Foto : MgRol112)

Di sisi lain, keluarga dari para pejuang kelompok militan itu menjadi masalah. Salah satu kesulitan terbesar bagi  negara-negara yang bergulat dengan ISIS adalah apa yang harus dilakukan dengan teroris yang ditangkap dan keluarga mereka.  

Menurut sebuah laporan baru-baru ini oleh analis Irak Husham Al-Hashimi, ada lebih dari 300 ribu orang dengan keterkaitan keluarga dengan ISIS di kamp-kamp di seluruh Irak. Al-Hashimi terbunuh di Baghdad bulan ini.  

Dalam laporannya, dia menuliskan bahwa sebuah penyelidikan oleh badan-badan keamanan dan intelijen Irak mengaitkan lonjakan serangan ISIS baru-baru ini dengan keluarga pengungsi dari militan ISIS yang kembali ke daerah asal mereka.  

"Para pejabat mengatakan mereka mencapai kesimpulan ini setelah melihat pola yang berkaitan dengan kembalinya keluarga-keluarga ini serta informasi dari pasukan lokal dan suku," tulis Al-Hashimi.  

Keluarga dengan keterkaitan ISIS itu dipandang dengan kecurigaan yang mendalam. Mereka mungkin disalahkan atas kegiatan ISIS yang tengah berlangsung hanya karena hubungan masa lalu mereka.  

Sementara itu, adapula kekhawatiran tentang ribuan keluarga ISIS, termasuk wanita dan anak-anak Australia, yang ditahan di negara tetangga Suriah. Puluhan ribu anggota keluarga dari para pejuang itu tetap berada di kamp-kamp. Sedangkan pemerintah asing, termasuk Australia, enggan untuk mengambil kembali warganya. 

Baru-baru ini, Turki melakukan serangan militer terhadap para penawan Kurdi. Selain itu, ada penarikan kelompok bantuan karena virus corona. Hal ini lantas menimbulkan kekhawatiran ISIS mungkin dapat meningkatkan jumlahnya dengan melakukan penembakan massal. Taktik ini sebelumnya digunakan di Irak.  

Knights berpendapat, mencegah ISIS dari penguasaan wilayah sangat penting dalam rangka menghentikan ISIS menjadi ancaman global kembali. Jika mereka diabaikan, ISIS pada akhirnya akan mendapatkan kembali kemampuan untuk membom kota-kota Irak, dan kemudian menarik relawan dari negara-negara Barat. Di samping itu, mereka juga bisa mengirim relawan itu kembali sebagai agen penyerang. 

"Jika kita ingin mencegah hal itu terjadi lagi, maka kita perlu mencegah ISIS mengendalikan bahkan wilayah terkecil di Irak dan Suriah," kata Knights.

Sumber: https://www.abc.net.au/news/2020-07-11/islamic-state-is-back-and-the-west-is-partly-to-blame/12429296

 

 

 
Berita Terpopuler