Bung Hatta dan Buya Hamka: Demokrasi Kita di Tahun 1960-an

Kisah bung Hatta dan Buya Hamka tentang jalannya demokrasi di era Sukarno

gahetna.nl
Wakil Presiden Moh Hatta di stasiun Yogyakarta menyambut pejuang Siliwangi yang melakukan hijrah.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Pada hari ini di tengah hiruk pikuk kontroversi soal RUU Haluan Pancila sekiraanya menjadi keren mengingat situasi demokrasi di Indonesia di dekade 1960-an. Kebetulan kala itu, bergaung kencang sekali ke publik istilah Tri Sila, Eka Sila yang kini sibuk dijadikan kontroversi karena dicantumkan pada pasal 7 RUU tersebut. Kala itu Presiden Soekarno kerapkali mengucapkan kembali konsep ini terutama ketika berpidato di depan masa pendukungnya pada peringatan pidato hari Pancasila pada 1 Juni 1965.

Namun semua tahu karena lima tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1960 ada dunia politik sempat geger karena ada tulisan dari  Proklamator dan mantan Wakiil Presiden Moh Hatta berjudul "Demokrasi Kita" yang terbit pada tahun 1960 dan dimuat pertama kali oleh Majalah Panji Masyarakat. Dan kebutelan pula semalam ada kiriman berbentuik PDF dari DR Suryadi yang mengajar di Universitas Leiden Belanda mengenai artikel itu. Memang tak lengkap tapi isinya lumayan, karena termuat beberapa artikel penting di dalamnya.

Hal yang penting lagi dari kiriman PDF buku 'Demokrasi Kita' karya Bung Hatta dari arsip yang tersimpang di Leidein, ternyata buku itu diberi pengantar oleh Buya Hamka yang beberapa tahun kemudian masuk terungku penjara akibat dianggap menjadi lawan politik Bung Karno. Akibat lainnya, karena memuat artikel ini Majalah Panji Masyarakat yang dipimpin Hamka juga terkena breidel.

Uniknya, artikel ini meski ditulis oleh seorang pendiri bangsa tulisan Bung Hatta dalam buku Demokrasi Kita ini dapat dibilang sangat berani, bahkan 'nekad' karena secara langsung mengkritik posisi kekuasaan yang dijalankan Presiden Sukarno. Hatta tanpa canggung menyebut soal "kudeta" dan "diktator" seperti yang disebut Mahfud dan ramai dibincangkan dalam sebuah talkshow yang digawangi wartawan senior Karni Ilyas itu beberapa waktu lalu.

Ini misalnya

:

.....Kemudian Presiden Soekarno membubarkan konstituante yang dipilih oleh rakyat, sebelum pekerjaanya membuat Undang-undang Dasar baru selesai. Dengan suatu dekrit dinyatakannya berlakunya kembali Undang-undang Dasar tahun 1945. Sungguhpun tindakan Presiden itu bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan suatu coup d’état (kudeta--Red), ia dibenarkan oleh partai-partai dan suara yang terbanyak didalam Dewan Perwakilan Rakyat.

Tidak lama sesudah itu Presiden Soekarno melangkah selangkah lagi, setelah timbul perselisihan dengan Dewan Perwakilan Rakyat tentang jumlah anggaran belanja. Dengan suatu penetapan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan dan disusunnya suatu Dewan Perwakilan Rakyat baru menurut konsepsinya sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat baru itu anggotanya 261 orang, separoh terdiri dari anggota anggota partai dan separoh lagi dari apa yang disebut golongan fungsionil, yaitu buruh, tani, pemuda, wanita, alim-ulama, cendekiawan, tentara dan polisi. Semua anggota ditunjuk oleh Presiden.

Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki membuka jalan untuk lawannya diktatur. Seperti diperingatkan tadi, ini adalah hukum besi dari pada sejarah dunia. Tetapi sejarah dunia memberi petunjuk pula bahwa diktatur yang bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistim yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri.

Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistimnya itu akan rubuh dengan sendirinya seperti satu rumah dari kartu.....

Buya Hamka menulis begini dalam kata pengantar buku Demokrasi kita yang sebelumnya dimuat dalam artikel di majalan yang diasuhnya. Tulisan pengantar itu begini:

BUKU Bung Hatta, Demokrasi Kita, ini ditulis pada tahun 1960 dan dimuat di majalah Islam yang saya pimpin, Pandji Masjarakat.

Penilaian politik yang dikemukakan Bung Hatta ini mendapatkan perhatian penuh dari peminat-peminat, baik di dalam maupun diluar negeri.Tetapi apa yang dibayangkan Bung Hatta dalam buku itu, bahwa demokrasi kita sejak waktu itu mulai terancam, telah membuat majalah Pandji Masjarakat dilarang terbit, dan keluar pula larangan membaca, menyiarkan, bahkan menyimpan buku itu.

Satu buah pikir brilian dari salah seorang Proklamator Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dilarang keras dibaca, siapa pun yang menyimpannya diancam hukuman.

Sekarang keadaan sudah berubah, angkatan ’66 yang menuntut keadilan dan menentang kezaliman telah bangkit, angin baru telah bertiup. Buku ini diterbitkan kembali dengan izin khusus dari penulisnya sendiri.

Bagi saya, buku ini adalah obat penawar, karena buku ini dapat diterbitkan kembali setelah saya dibebaskan, setelah dua tahun empat bulan berada di tahanan (27 Januari 1964 sampai 26Mei 1966) karena fitnah prolog Gestapu/PKI dan BPI.

Tahanan karena fitnah, yang menjadi adat kebiasaan di zaman kepemimpinan negara masa lampau itu.Semoga dengan terbitnya buku ini, di zaman angin baru bagi negara kita telah bertiup dan semangat angkatan ‘66 telah bangkit, keadaan yang muram, suram, dan seram yang telah lalu itu tidak berulang lagi.

HAMKA

Jakarta 1 Juni 1966

 

Buku Demokrasi Kita karya Bung Hatta itu terdiri dari 35 halaman, sehingga tak mungkin semua bisa dimuat dalam artikel ini. Ini sekali lagi, karena keterbatasan halaman.

Meski begitu ada yang menarik dalam buku itu. Yakni, saat Hatta dengan terus terang mengkritik Sukarno. Ini membenarkan sinyalemen yang sudah lama berkembang semenjak saat Hatta mengundurkan diri dari posisi Wakil Presiden beberapa tahun sebelumnya. Antara kedua proklamator ini diam-diam terjadi perang dingin. Begini bunyi sepenggal bagian tulisan tentang sosok Sukarno yang kala itu tengah berada di puncak kekuasaan.

...Bagi saya, yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan faire chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan sukses atau gagal. Sikap ini saya ambil sejak perundingan kami yang tidak berhasil, kira-kira dua tahun yang lalu. Ada ukuran objektif yang akan menentukan dalam hal ini. Akan tercapai atau tidak kemakmuran rakyat dengan sistem itu—kemakmuran rakyat yang Soekarno sendiri menciptakannya dengan sepenuh-penuh fantasinya?

Sanggupkah dia menahan kemerosotan taraf hidup rakyat dalam tempo yang singkat? Dapatkah dia menghentikan inflasi yang terus menerus dalam waktu yang tidak terlalu lama—inflasi yang membawa orang putus harapan? Itulah ukuran objektif yang tepat terhadap konsepsinya itu!

Bahwa Soekarno seorang patriot yang cinta pada tanah airnya dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya, itu tidak dapat disangkal. Dan itulah barangkali motif utama baginya untuk melakukan tindakan yang luar biasa itu, dengan tanggung jawab sepenuhnya pada dirinya sendiri.

Tetapi, berhubung dengan tabiat dan pembawaannya, dalam segala ciptaannya dia hanya memandang garis besarnya. Hal-hal mengenai detail, yang mungkin menyangkut dan menentukan dalam pelaksanaan rencana, tidak dihiraukannya. Sebab itu dia sering mencapai yang sebaliknya dari yang ditujunya itu.

Dalam suatu kritik terhadap konsepsinya, kira-kira tiga tahun yang lalu, saya bandingkan dia dengan Mephistophelesd alam hikayat Goethe’s Faust. Apabila Mephistopheles berkata, bahwa dia adalah 'ein Teil jener Kräfte, die stets das Bose will undstets das Gute schafft'—satu bagian dari suatu tenaga yang selalu menghendaki yang buruk dan selalu menghasilkan yang baik—Soekarno adalah kebalikan dari gambaran itu.

Tujuannya selalu baik, tetapi langkah-langkah yang diambilnya kerapkali menjauhkan dia dari tujuannya itu. Dan sistem diktator yang diadakannya sekarang atas nama demokrasi terpimpin akan membawa dia pada keadaan yang bertentangan dengan cita-citanya selama ini.

Tadi saya katakan, demokrasi tidak akan lenyap dari Indonesia. Mungkin ia tersingkir sementara, seperti kelihatan sekarang ini, tetapi ia akan kembali dengan tegapnya. Memang tak mudah membangun demokrasi di Indonesia, yang lancar jalannya.Tetapi bahwa dia akan muncul kembali, itu tidak dapat dibantah.

 
Berita Terpopuler