Islam dan Pancasila: Kisah Sejak BPUPKI Hingga RUU HIP

Kebadian kisah sejak zaman BUPKI hingga kini

wikipedia
SIdang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Setelah awal tahun ini, muncul ketegangan setelah adanya statement dari kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) soal 'Agama Lawan Pancasila', kini masalah yang hampir mirip muncul kembali. Kini isunya lebih heboh, yakni soal pengaturan Pancasila dalam bentuk sebagai ideologi negara terkait soal adanya RUU Haluan Indelogi Pancasila.

Publik kian heboh karena RUU tersebut tak mencantumkan Tap MPRS no 25 tahun 1966 yang mengatur pelarangan Pancasila.  Ini makin seru karena di RUU tersebut terindikasi pula adanya pemakaian istilah yang berbau ala Soekarno seperti Tri Sela hingga eka sila.

Dan dipastikan dapat ditebak, segala ini meletupkankontroversi dan debat panas. Luka lama yang bertahun dan mulai hilang, segala kekhawatiran yang sudah terkubur, seakan bangkit kembali. Apalagi  entah karena apa di tengah suasana pandemi muncul isu tersebar soal kebangkitan komunis (Partai Komunis Indonesia).

Alhasil, debat panas pada dekade sebelumnya soal hubungan Pancasila dan agama berhamburan di publik, khususnya umat Islam. Ormas Islam sampai MUI bersikap keras menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila. Partai-partai di parlemen hingga kalangan salin berinterasi dengan isu ini.

Maka, mau tidak mau, segala keriuhan ini kembali akan mengingatkan kisah ketegangan soal dasar negara pada era Orde Lama dan Orde Baru. Debat perseteruan klasik antara Masyumi dan PKI pada masa rezim Sukarno hingga soal ketegangan politik ketika hendak diberlakukannya asas tunggal pada masa rezim Soeharto pun muncul bergentayangan kembali. Indonesia jadi semakin pekat, ke luar dari akal sehat, penuh bully-an di media sosial.

Situasi ini makin kencang, kala saat ini muncul Islamfobia yang begitu haru biru. Dikotomi aku NKRI, aku Pancasila, yang usai pemilu lalu mereda, kini balik semakin menjadi. Guru Besar Universitas Paramadina, Prof DR Abdul Hadi WM, mengatakan, apa yang terjadi sekarang suasananya persis di awal dekade 1960-an. Semua gerah dan emosi. "Apa yang terjadi sekarang mengenangkan ketika masa saya muda," katanya.

Namun, untuk mengakhiri polemik ini, perlu ulang kembali tulisan soal hubungan agama (Islam) Pancasila, Piagam Jakarta, debat Ki Bagus Hadikusimo, dan Sukarno di BPUPKI pada 1945 atau bulan-bulan menjelang kemerdekaan.

Kala itum 

Sukarno memang berpidato yang memukau pada 1 Juni 1945 di depan anggota BPUPKI. Sukarno saat itu menawarkan lima prinsip dasar negara yang disebutnya sebagai Pancasila, terdiri atas kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan (lihat Risalah Sidang BPUPKI Sekneg RI 1998).

Selain nama Pancasila, Sukarno juga menawarkan istilah Trisila (Socio-nasionalisme, socio-democratie, dan Ketuhanan yang menghormati satu sama lain). Bahkan, Sukarno pada pidato itu masih menenggang sikap anggota BPUPKI bila ada yang tak setuju dengan "bilangan lima dan tiga" maka dasar negara bisa hanya satu (Ekasila), yakni gotong royong.

"Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong royong. Negara yang kita dirikan haruslah negara gotong royong," begitu kata Sukarno.

Dan perlu diketahui pula, pidato Sukarno mengenai materi dasar negara ini terjadi pada sidang BPUPKI pada hari ketiga, setelah M Yamin berpidato pada hari yang pertama 29 Mei 1945 dengan mengajukan saran dasar negara "Peri Kebangsaan, Peri Kemanusian, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat". Sedangkan, pada 31 Mei Ki Bagus Hadikusumo pun sudah berpidato terlebih dahulu dengan menyarankan Islam sebagai dasar negara dengan argumen: mengingat sebagian rakyat Indonesia beragama Islam.

Dan setelah Ki Bagus berpidato, pada hari yang sama, yakni masiih pada tanggal 31 Mei, Prof Mr Dr Soepomo pun menyampaikan pemikirannya. Dia menyampaikan mengenai pilihan tiga teori negara yang disebutnya sebagai teori "perseorangan", teori "golongan" dan teori "integralistik". Dalam kesempatan itu, Soepomo menyatakan, oleh karena pemimpin bersatu jiwa dengan rakyat maka hak-hak warga negara tidak perlu diadakan jaminan hak-hak warga negara secara eksplisit dalam undang-undang dasar.

Seperti ditulis Saafroeddin Bahar dan Nannie Hudawati ketika memberikan kata pengantar pada buku edisi keempat Risalah Sidang BPUPKI, di sana ditegaskan: “Walaupun tidak--atau belum--diambil keputusan mengenai dasar negara, namun pidato Ir Sukarno tanggal 1 Juni mempunyai arti penting. Ini bukan saja dapat mengintegrasikan seluruh pandangan para anggota BPUPKI menjadi satu kesatuan utuh, tetapi juga disampaikan dengan retorika yang kuat.

Pidato Ir Sukarno tersebut memang mendapat sambutan secara aklamasi oleh seluruh anggota BPUPKI. Meskipun demikian, lanjut Saafroeddin Bahar dan Nannie Hudawatie, suasana di dalam sidang pertama ini masih terus ditandai perbedaan paham tentang dasar negara, antara dua golongan anggota yang kemudian diberi nama sebagai "golongan Islam" dan "golongan kebangsaan".

Dan bila kemudian membaca kembali risalah sidang BPUPKI memang terasa ada tarik-menarik antara keinginan mendirikan negara berdasarkan Pancasila dan negara berasaskan agama Islam. Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi terus berkeras atas pendapat mendirikan negara berasaskan ajaran Islam. Sikap anggota BPUPKI yang berasa dari golongan Islam pun bersikap senada. Situasi ini terlihat jelas dalam risalah sidang BPUPKI.

Namun, bila risalah itu lebih dicermati lagi, sikap ngotot Ki Bagus dan Kiai Sanusi bukan tanpa kompromi. Ini dibuktikan pada sikap keduanya pada rapat lanjutan BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 14 dan 15 Juli 1945. Pada saat itu Ki Bagus dan Kiai Sanusi yang pada awalnya menyarankan agar agama Islam dijadikan dasar negara. Namun, karena menyadari risiko terpecahnya negara bangsa jika usul itu dilaksanakan, keduanya pun mencabut kembali usulannya. Perubahan sikap ini terjadi karena tidak jelasnya arti anak kalimat yang kemudian tercantum dalam rancangan Pembukaan UUD 1945 tanggal 22 Juni 1945, yaitu: "... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Menyadari ketidakjelasan arti itu, Ki Bagus dan Kiai Sanusi kemudian dengan gigih menuntut agar anak kalimat tersebut dicoret saja. Mereka berpendirian bahwa jika BPUPKI tidak menyetujui negara berdasar agama (agama Islam--Red), maka negara bersikap netral saja terhadap masalah agama ini.

Namun, kemudian, menurut Saafroeddin dan Nannie Hudawatie, sungguh menjadi mengherankan bila usul Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi itu justru ditolak dengan keras oleh Ketua BPUPKI DR Radjiman Wedyodingrat dan Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dasar Ir Sukarno.

"Keterangan yang kami peroleh dalam membaca risalah ini hanyalah bahwa sikap Radjiman dan Sukarno tersebut didasarkan pada argumen yang amat formal dan legalistik. Kedua, beliau ini berpendapat bahwa rumusan tersebut merupakan kompromi yang dicapai dengan susah payah antara apa yang dinamakan 'golongan Islam' dan 'golongan kebangsaan'. Pencoretan tujuh kata tersebut dikhawatirkan akan mementahkan kembali masalah yang sudah diselesaikan," tulis Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawatie.

Bila dilihat dari kacamata yang lain, misalnya dari sisi kepentingan politik praktis kekuasaan, Radjiman dan Sukarno sadar sepenuhnya bila keinginan kekuatan golongan Islam tidak diakomodasi, maka kekuatan negara saat itu akan melemah. Umat Islam menjadi tidak punya rasa memiliki atas bangsa yang hendak berdiri merdeka itu. Para ulama dan kaum Muslim jadi punya argumen bahwa mencintai Tanah Air adalah bukan menjadi kewajibannya karena negara Indonesia tidak mau mengakomodasi kepentingan mereka.

Pilihan sikap itu pada kemudian hari tepat adanya. Menjelang peristiwa Pertempuran Surabaya 10 November 1945 keluarlah Fatwa (Resolusi) Jihad dari KH Hasyim Asy’ari bahwa mencintai Tanah Air (Indonesia) adalah bagian dari iman mereka yang berperang dan kemudian mati dalam pertempuran adalah mati syahid.

Terkait dengan soal debat dasar negara, Staf Pribadi M Natsir yang menulis Buku Muhammadiyah untuk Indonesia mengatakan, Ki Bagus Hadikusumo dan para tokoh Islam yang menjadi anggota BPUPKI memang berkeras agar Islam dijadikan dasar negara. Sikap ini terus terjadi dalam rapat-rapat BPUPKI hingga menjelang disepakatinya kesepakatan 22 Juni 1945, atau terbentuknya Piagam Jakarta.

''Bahkan, sebelum ada tim kecil yang jumlahnya 9 orang, sebetulnya telah dulu ada tim 8 yang tugasnya merangkum pemikiran apa saja yang berkembang dalam soal pembahsan dasar negara. Di situ sudah mulai ada kesepakatan awal bahwa Ketuhanan merupakan sila pertama. Tapi ini berbeda dengan rumusan sila Sukarno yang menyatakan Ketuhanan yang berkebudayaan,'' kata Lukman.

Pada sidang BPUPKI sebenarnya saat itu ada tujuh usulan dasar negara yang diiventarisir oleh Panitia 8 BPUPKI, yakni kebangsaan dan ketuhanan, kebangsaan dan kerakyatan, kebangsaan, kerakyatan, dan ketuhanan, kebangsaan, kerakyatan, dan kekeluargaan, kemakmuran hidup bersama berpegangan teguh pada tuntutan Tuhan yang Maha Esa, agama negara adalah islam, kebangsaan kerakyatan dan Islam, Jiwa Asia Timur Raya. Dan inilah kemudian menyebabkan dalam rapat Panitai 9 (Tim Kecil BPUPKI) kemudian disepakati bila Ketuhanan ditempatkan sebagai sila pertama karena

Nah, itu merupakan aspirasi terbesar yeng berkembang di rapat BPUPKI.
Meski begitu, Ki Bagus dan para tokoh Islam saat itu belum menyepakati usulan tersebut. Dalam forum sidang kedua "rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli 1945' Ki Bagus berkeras pada rumusan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam. Usulan ini terus ditolak oleh 'golongan kebangsaan'.

Maka rapat berjalan dengan debat yang panas, Saking panasnya KH Abul Kahar Muzakir --karena keinginan kelompok Islam selalu ditolak -- mengusulkan sebuah pendapat 'esktrem'  bahwa  semua yang berbau Islam seperti penyebutan Allah atau Istilah agama Islam lainnya dicoret saja dalam undang-undang dasar.

Muzakir mengatakan, hal ini sembari emosi dengan memukul meja (Ki Bagus pada kesempatan lain ikut pula menjadi emosi dengan memulai pembicaraan seraya mengucap kalimat tawa'ud: Aku berlindung kepada Allah terhadap godaan setan yang terkutuk.

''..Kami sekalian yang dinamakan wakil-wakil Islam mohon dengan hormat, supaya dari permulaan pernyataan Indonesia Merdeka sampai kepada pasal-pasal di dalam Undang-Undang Dasar itu yang menyebut Allah atau agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali, jangan ada hal-hal itu,'' kata Muzakir sembari mengusulkan kata 'rahmat-Nya', 'berkat-Nya', 'pertolongan-Nya' ikut juga dicoret saja.

Usulan 'ekstrem' ini kemudian ditolak langsung Sukarno (Ketua Panitia Kecil BPUKI). "Tuan Ketua, kami tidak mufakat atas usul Tuan Muzakir itu. Terima kasih," kata Sukarno.

Melihat memanasnya situasi maka Kiai Sanusi mengambil inisiatif agar sidang ditunda supaya bisa berpikir tenang. Usulan disetujui ketua sidang, Radjiman Wedyodingrat.

"Nah, selesai sidang, maka Bung Karno selama semalam penuh melakukan lobi kepada para tokoh Islam. Ketika sidang dibuka Bung Karno langsung meminta agar usulan kelompok Islam diakomodasi, seperti Negara Berdasar Atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Hasil lobi Sukarno yang dilakukan selama semalaman ini kemudian disepakati dan dimuat dalam Piagam Jakarta. Jadi, jasa Bung Karno dalam Piagam Jakarta sangatlah besar,'' kata Lukman Hakiem, mantan staf M Natsir dan staf Ahli Wapres Hamzah Haz. Dia juga banyak sekali menulis biografi para tokoh bangsa.

Bukan hanya itu, lanjut Lukman sikap Sukarno atas rumusan Piagam Jakarta yang memuat 'tujuh kata' itu tak tergoyahkan ketika ada lobi dari tokoh Indonesia Timur yang beragama Nasrani dengan dibantu Hatta, agar tujuh kata terebut dihilangkan. Sukarno tetap tidak mau merubah pendiriannya karena itu merupakan hasil kesepakatan bersama.

''Maka Hattalah yang kemudian maju melobi kelompok Islam. Saat itu kebetulan hanya Ki Bagus yang ada di Jakarta, anggota lainnya sedang pulang ke daerah. Pelobi itu adalah juga tokoh Islam teman dekat Ki Bagus Hadikusumo, yakni Kasman Singodimedjo. Pendek kata Ki Bagus luluh hatinya meski kemudian meminta agar rumusan Pancasila memakai kalimat seperti yang ada sekarang, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Di situlah bukti tak terbantahkan dari kelapangan atau toleransi dari para tokoh Islam kepada kelompok lain demi mencapai Indonesia merdeka ini,'' kata Lukman Hakiem.


Ketika ditanya mengenai sikap Pancasila dan idelogi dari sebuah percakapan di laman media sosial, Lukman menulis begini dengan mengutip pidato Presiden Sukarno di depan Gerakan Pendukung Panca Sila (GPPS), 17 Juni 1954. Isinya begini:

"Jangan Panca Sila diaku oleh sesuatu partai. Jangan ada sesuatu partai berkata Panca Sila adalah asasku. Oleh karena itu aku ulangi lagi. Panca Sila adalah dasar negara dan harus kita pertahankan sebagai dasar negara.... Negara adalah 'wadah'. Dari territoir (wilayah, red) Sabang sampai Merauke ini adalah harus terbentang satu wadah yang besar. Di dalam wadah itu adalah masyarakat. Dan kalau Saudara-saudara atau siapapun, ingin masukkan ideologi, masukkanlah di dalam masyarakat ini! Ini tegas kukatakan beda antara wadah dengan masyarakat...."





 
Berita Terpopuler