Gus Ghofur Maimun: Pesantren Lahirkan Ulama Tafsir Alquran

Pesantren menjadi pusat lahirnya karya-karya tafsir Alquran lokal.

Dok Pribadi
Pakar tafsir Alquran KH Abdul Ghofur Maimun atau Gus Ghofur
Rep: Muhyiddin/ Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Pesantren memiliki andil besar dalam transmisi keilmuan di Nusantara. Di antara banyak disiplin yang berkembang berkat jejaring lembaga tradisional itu adalah tafsir Alquran.   

Baca Juga

Ketua STAI Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah, KH Abdul Ghofur Maimun, mengatakan munculnya kitab tafsir pertama di Indonesia berasal dari lingkungan pesantren model Aceh (dayah). 

Berikutnya, lanjut pengasuh Pondok Pesantren al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah, tersebut, pesantren-pesantren di Jawa juga turut menghasilkan kiai-kiai yang mufasir.

Namun, keadaannya kini mulai berubah. Menurut sosok yang akrab disapa Gus Ghofur itu, saat ini, tidak banyak pesantren yang memunculkan karya-karya tafsir. 

Oleh karena itu, putra almarhum KH Maimoen Zubair ini mengajak seluruh institusi pesantren di Tanah Air untuk meneruskan semangat para kiai terdahulu dalam mengembangkan ilmu tafsir Alquran.

“Ulama-ulama pesantren dahulu banyak sekali berkarya, semoga gairah menulis, terutama di bidang tafsir Alquran terus bermunculan,” ujar doktor lulusan Universitas al-Azhar (Mesir) itu.

Bagaimana perkembangan ilmu tafsir Alquran di Indonesia sejak berabad silam hingga kini? Berikut petikan wawancara wartawan Republika.co.id Muhyiddin  dan Hasanul Rizqa, sebagamaina dikutip dari arsip Harian Republika

Bisa diceritakan, apa dan bagaimana kitab tafsir Alquran pertama di Nusantara? 

Penulisan tafsir Alquran pertama kali di Nusantara kita temukan di Aceh. Ini berkaitan dengan geliat intelektualisme yang luar biasa di Kesultanan Aceh Darussalam pada akhir abad ke15. Terutama sekali pada era keemasannya ketika pemerintahan Sultan Iskandar Muda.Di eranya ini, dan sesudahnya, bermunculan ulama-ulama besar. Sebut saja, Syekh Nuruddin al-Raniri, Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, Hamzah Fansuri, dan Abdurrauf as-Singkili.  

Al-Raniri datang dari India dengan membawa paham Sunni dalam bertasawuf. Ia datang kirakira setengah tahun setelah wafatnya Iskandar Muda dan segera bergabung di Kesultanan Aceh sebagai pembesar. Ketika Iskandar Muda masih berkuasa, muftinya adalah Syekh Syamsuddin as-Sumatrani. Beliau wafat pada 1630, lalu digantikan Faiz al-Baghdadi. 

Kedatangan al-Raniri kian meramaikan geliat intelektual di Aceh, termasuk perdebatan wacana antara tasawuf wahdat al-wujud dan tasawuf Sunni. Di kesultanan inilah, ditemukan Tafsir Surah al-Kahfi. Sampai saat ini, tidak diketahui siapa penulisnya. 

Gus Ghofur (ketiga dari kanan) bersama sejumlah tokoh utama Nahdlatul Ulama - (Dok Pribadi )

Ini adalah kitab tafsir pertama yang ditemukan di Nusantara. Menurut dugaan, tafsir ini ditulis pada era Sultan Iskandar Muda atau bahkan sebelum itu. Menurut berbagai informasi, tafsir ini bercorakkan sufistik. Ini bisa dimengerti. 

Sebab, sejak era Imam al-Ghazali (wafat 1111), tasawuf memang dapat diterima luas. Para ahli fikih tak lagi banyak berpolemik dengan para sufi. Justru, mereka saling bergandengan. Banyak para fuqaha pasca-era Imam al-Ghazali sekaligus penganut sufi. Penulis Tafsir Surah al-Kahfi, isinya memuat tafsiran atas ayat kesembilan, hidup di era pasca-Imam al-Ghazali. 

Jadi, bisa dimengerti jika tradisi sufistik menjadi salah satu dimensi intelektualnya. Kemudian, banyak lagi kitab tafsir setelahnya yang bercorakkan fikih sekaligus mengadopsi penjelasan sufistik. Tafsir al-Baidhawi, Tafsir an-Nasafi, dan Tasfir al-Khazin adalah di antara contohnya. 

 

Sementara itu, bagaimana dengan perkembangan ilmu tafsir Alquran di daerah-daerah lain? 

Dalam studi tafsir Alquran, sering disampaikan, kitab-kitab merupakan cerminan dari keahlian dan kecenderungan tiap mufasir. Bila ia ahli fikih, warna fikih pun akan kentara dalam penafsirannya (atas Alquran). Begitu juga jika ia ahli bahasa, ahli filsafat, tasawuf, dan lain-lain. Semakin beragam latar belakang para mufasir, kemungkinnya akan semakin beragam pula corak penafsiran. Ini juga yang terjadi pada tafsir-tafsir di Nusantara.  

Dalam era awal, model fikih dan tasawuf tampak sangat menonjol. Sebab, secara umum wacana keislaman di dunia arahnya memang demikian. Akan tetapi, setelah masuknya angin modernisme pada abad ke-20 ke Nusantara, berkembang pula corak penafsirannya. Buya Hamka, misalnya, menulis Tafsir al-Azhar. Ini jelas sekali penafsirannya sangat dipengaruhi arus modernisme. Begitu pula Mahmud Yunus dalam tafsirnya, Tafsir Alquran al-Karim, dan Ahmad Hassan dalam tafsirnya, Tafsir al-Furqan

Apakah keragaman itu hanya terkait dengan latar keilmuan?

Itu juga terkait latar sosial-budaya. Turjuman al-Quran, misalnya, dianggap sebagai kitab tafsir pertama yang lengkap di Nusantara. Itu ditulis dengan bahasa Melayu kuno dengan aksara pegon. Begitu pula Tafsir Surah al-Kahfi itu yang sampai sekarang tidak diketahui penulisnya. 

Tampaknya, pegon memang aksara keilmuan utama, tak hanya di Kesultanan Aceh, tetapi juga Muslimin Nusantara saat itu. Di pesantren-pesantren tradisional di Jawa, pegon hingga 1990-an masih bisa saya rasakan dominasinya. Kiai Shaleh Darat menulis Faidhur Rahman fi Tarja mati Kalamil Malikid Dayyan. Kiai Bisri Musthofa dengan Al-Ibriz li Ma'rifati Tafsiril Qur'anil Aziz. Lalu, Kiai Misbah Zainul Musthofa, Iklil fi Ma'anit Tanzil. Ketiga kitab itu berbahasa Jawa dan aksara pegon.

Bagaimana peran pesantren dalam dinamika penulisan kitab tafsir di Nusantara?

Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang sangat tua di Nusantara. Di Aceh, pendidikan semacam pesantren lazim dinamakan dayah. Tafsir pertama yang lengkap di Nusantara adalah Turjumanul Mustafid karya Abdurrauf as-Singkili. 

Ia adalah putra Syekh Ali al-Fanshuri. Ayahnya ini adalah ulama kesohor yang memimpin dayah di pedalaman Singkel. Dengan ini, kita ketahui, bahkan tafsir pertama yang lahir di Indonesia adalah produk dari tokoh pesantren atau dayah. 

Perpustakaan Masjid Nabawi di Madinah, Arab Saudi. (Republika/Amin Madani) - (Republika/ Amin Madani)

Beberapa tafsir yang kita sebutkan sebelumnya juga merupakan karya-karya kiai pesantren. Kiai Bisri Musthofa menulis Al-Ibriz, Kiai Misbah Zainul Musthofa penulis tafsir Iklil, Kiai Sholeh Darat penulis Faidhur Rahman, lalu Kiai Sanusi penulis Tafsir Raudhatul Quran. Semuanya adalah tokoh-tokoh besar di dunia pesantren.

Pesantren-pesantren ini adalah pesantren swasta, tak ada kaitannya dengan penguasa. Ada juga pesantren-pesantren yang dekat dengan keraton, seperti Pesantren Manbaul Ulum di Solo.

Pesantren ini juga melahirkan karya tafsir, seperti Tafsir Al-Balagh karya salah satu gurunya, Kiai Imam Ghazali. Memang, pesantren pada masa sekarang seperti sudah lama tak lagi melahirkan karya-karya tafsir. Atau mungkin, telah menerbitkan, tetapi kurang mendapat respons yang tinggi di tengah masyarakat. Ulama-ulama pesantren dahulu banyak sekali berkarya. Semoga gairah menulis, terutama di bidang tafsir Alquran, segera muncul kembali. 

Gus Ghofur berasama Tuan Guru Zainul Majdi (TGB) rekan kuliah selama di Universitas Al-Azhar Mesir. - (Dok Pribadi )

Dalam catatan sejarah Nusantara, apa saja dampak kolonialisme terhadap dinamika studi tafsir Alquran?

Berkenaan dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda, yakni dalam kaitannya dengan studi tafsir di Indonesia, ada dua hal yang bisa saya sampaikan. Pertama, penggunaan dengan aksara latin. Ini kebijakan yang kenalkan Belanda. Mulanya, aksara latin kurang laku. Namun, lama-kelamaan justru lebih populer, terutama setelah lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.  

KH Moenawar Cholil pada 1958 menulis Tafsir Hidajaatur Rahman yang berbahasa Jawa, tetapi menggunakan aksara latin. Buya Hamka, Ahmad Hassan, dan Mahmud Yunus bahkan telah menggunakan bahasa Indonesia untuk menulis kitab tafsir. Kedua, berkenaan dengan kebijakan larangan menerjemahkan Alquran. 

Larangan ini toh tak dapat menghentikan upaya penerjemahan. Kiai Shaleh Darat menulis Tafsir Faidhur Rahmandalam bahasa Jawa dengan aksara pegon. Beliau menulis tafsirnya pada 1893 atau beberapa tahun sebelum wafat. 

Sayid Usman, sang mufti Batavia (Jakarta), menceritakan, pada 1909 sekelompok orang telah datang kepadanya dengan membawa Alquran yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Ia pun mengharamkan penerjemahan Alquran dan ia tuangkan hal ini dalam karyanya, Hukm ar-Rahaman bin-Nahy `an Tarjamatil Quran.

 

Pendapat mufti Batavia ini adalah sah-sah saja secara akademik. Kiai Sholeh Darat menulis tafsirnya berbahasa Jawa dengan penuh kesadaran dan ia membentengi tindakannya itu dengan argumen yang kuat. Apakah ia menulis tafsir dalam bahasa Jawa ini ada singgungannya dengan sikapnya yang antipenjajah? Wallaahu a'lam. Namun, kemungkinan itu sangat tinggi.   

 
Berita Terpopuler