Islam dan Masalah Pemakzulan Pemimpin

Bagaimana masalah pemakzulan pemimpin dalam Islam?

google.com
Suasana peradilam zaman Ottoman.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:  Dr Ma'mun Murod Al-Barbasy, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ.

Membincang pemakzulan berarti membincang soal kepemimpinan. Dan membincang soal kepemimpinan berarti membincang tujuan kepemimpinan. Dalam Islam, tujuan kepemimpinan adalah terwujudnya kebaikan bersama (maslahat al-ammah). Ditegaskan dalam salah satu qaidah ushul, tasharraful imam alâ al-raiyyati manûtun bi al-maslahah, bahwa kebijakan pemimpin disebut sukses kalau dalam kepemimpinannya berhasil menyejahterakan atau memaslahatkan rakyatnya.

Maslahat al-ammah hakikatnya berkenaan dengan maqâshid al-syariah, yang oleh al-Ghazali dalam al-Mustasfâ min ‘Ilm al-Usûl atau Al-Syatibi menyebutnya kulliyat al-khamsah membaginya dalam lima hal: perlindungan terhadap agama (hifdz al-dîn), jiwa (hifdz al-nafs), akal (hifdz al-aql), keturunan (hifdz al-nasl), serta harta (hifdz al-mâl).

Din Syamsuddin menambahkan hifdz al-dawlah, perlindungan terhadap negara dari kemungkinan siapapun yang akan menjarah kekayaan negara dan memecah belah dan hifdz al-bi’ah, perlindungan terhadap lingkungan.

Maqashid al-syariah yang ditawarkan al-Ghozali dan al-Syatibi plus Din Syamsuddin tentu bersumber dari syara’. Maslahat dalam konteks ini hanya sebagai metode, bukan dalil atau sumber hukum. Maslahat masih bergantung kepada dalil lain yang lebih utama, seperti al-Qur’an dan al-Sunnah. Jika maslahat bertentangan dengan nas, maka tertolak dengan sendirinya.

Untuk mewujudkan maslahat al-ammah bukan perkara mudah bagi seorang pemimpin. Prinsip-prinsip politik Islam yang tentu bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunah, seperti keadilan (al-‘adalah), persamaan (al-musawah), musyawarah (al-syura), dan kebebasan (al-hurriyah), harus menjadi pijakan dasar dalam kepemimpinan.

Tidak mudahnya muwujudkan kemasalahatan, maka dalam Islam menjadi pemimpin itu persyaratannya sangat ketat. Merujuk pada QS. al-Baqarah: 30, seorang pemimpin harus siap memposisikan diri sebagai “wakil Tuhan” (khalifatu-Allah) di muka bumi. Sebagai wakil Tuhan, dalam menjalankan kepemimpinannya, seorang pemimpin dituntut untuk senafas dan sejalan dengan nilai-nilai ilahiyah yang dipastikan senafas juga dengan maslahati al-ammah, sehingga kita sering mendengar ungkapan “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Bukan sebaliknya, posisi sebagai wakil Tuhan justru dijadikan sebagai pembenar dan alat untuk menindas dan menciptakan kerusakan (mafsadat, lawan dari maslahat) dengan mengatasnamakan Tuhan.

Tidak mudahnya menjadi pemimpin, maka sebagaimana ditegaskan dalam al-Nisa: 59, Islam mengharusan orang yang beriman untuk taat selain kepada Allah dan Rasul-Nya, juga kepada pemimpin (minkum, di antara orang-orang beriman). Bedanya, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat mutlak, sementara ketaatan kepada pemimpin itu bersyarat.

Dalam bahasa al-Qur’an disebutkan: fa in tanâza’tum fî syai’in fa ruddụhu ilallâhi war-rasûli, pemimpin yang patut ditaati adalah yang jika terjadi perbedaan pendapat dalam mencapai maslahat al-ammah mengembalikannya kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (al-Sunnah).

Dalam konteks negara bukan Islam, seperti Indonesia, kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah tidak harus dipahami secara legal formal sesuai syariat Islam, tapi lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip fundamental dalam berbangsa dan bernegara yang sudah menjadi kesepakatan bersama, seperti Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Maka pemimpin yang patut ditaati (dalam konteks Indonesia) adalah pemimpin yang ketika mendapati perbedaan pendapat dalam upaya mewujudkan maslahati al-ammah dikembalikan kepada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, bukan justru sebaliknya, menyengaja vis a vis dengan Pancasila dan UUD 1945. Prinsip-prinsip fundamental dalam berbangsa dan bernegara dilanggarnya secara ugal-ugalan.

Dalam QS. A-Nisa: 58 disebutkan: Innallâha ya’murukum an tu’addul-amânâti ilâ ahlihâ wa idzâ ḥakamtum bainan-nâsi an taḥkumụ bil-‘adl, yang mengharuskan untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum di antara manusia juga menetapkannya dengan adil. Islam tidak mengajarkan untuk memberikan sebuah kepemimpinan kepada orang yang tidak amanah, dzalim, fasad, dan fasik.

Ditegaskan pula dalam QS. al-Miadah: 32, man qatala nafsan bighayri nafsin aw fasâdin fii al-ardhi faka-annamâ qatala alnnâsa jamî’an waman ahyâhâ faka-annamâ ahyâ alnnâsa jamî’an, barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain atau berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.

Prinsip-prinsip fundamental ini menjadi bagian dari hasanah pemikiran politik Islam yang kerap disebut sebagai fiqh siyasah. Di dalamnya di antaranya berbicara masalah kepemimpinan, termasuk tentang persyaratan menjadi pemimpin dan bagaimana pula memberhentikan (memakzulkan) seorang pemimpin.

Islam tak menawarkan konsep baku dalam masalah kepemimpinan politik. Hal ini sudah jamak di kalangan pemikir politik Islam klasik, pertengahan maupun kontemporer. Tak adanya konsep baku ini dilandasi oleh kenyataan historis terkait suksesi kepemimpinan dalam tradisi kepemimpinan Islam. Di era khulafâ’ al-rasyidîn misalnya, dari empat suksesi kepemimpinan tak ada (digunakan) konsep baku.

Suksesi dari Rasul Muhammad saw. ke Abu Bakar dilakukan lewat mekanisme “bay’ah terbatas” (sebagaian menyebutnya ahl al-halli wa al-aqd). Dari Abu Bakar ke Umar bin Khattab memakai mekanisme “penunjukkan langsung” oleh Abu Bakar. Dari Umar bin Khattab ke Usman bin Affan memakai mekanisme ahl al-halli wa al-aqd. Dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib dilangsungkan dengan mekanisme “bay’ah umum”. Selebihnya, suksesi kepemimpinan yang digunakan di era khilafah-khilafah sesudahnya menganut sistem mamlakah (kerajaan) dengan model turun temurun.

Islam hanya mengatur prinsip-prinsip dasar kepemimpinan saja. Dalam konteks ini nyaris tak ada perbedaan berarti di antara para pemikir politik Islam. Terkait persyaratan pemimpin misalnya, hampir kebanyakan pemikir politik Islam bersepakat bahwa syarat menjadi pemimpin harus berilmu pengetahuan luas (al-Baqilani, al-baghdadi, al-Mawardi, al-Juwaini, al-Ghozali, Ibnu Khaldun).

Kebanyakan pemikir juga bersepakat bahwa pemimpin harus mampu bersikap adil, mempunyai kemampuan leadership, sanggup mengelola dan bersedia bermusyawarah sehingga terhindar untuk memimpin dengan sewenang-wenang atau al-Ghozali dan Ibnu Khaldun menyebutnya dengan al-kifâyat. Pemimpin juga harus berintegritas (amanah) dan berbudi pekerti luhur (wara’). Berbadan sehat, dengan penekanan pada sehat penglihatan, pendengaran, dan lisan.

Secara prinsip, dalam hal-hal yang bersifat fundamental terkait masalah kepemimpinan, para pemikir Islam bersepakat. Mereka hanya berbeda pada pernik-perniknya saja, seperti keharusan pemimpin dari suku Quraisy, ahlul bait atau cukup orang Arab, pemimpin harus kaya secara materi, dan laki-laki.

Belakangan, banyak pemikir politik Islam kontemporer yang mentolerir perempuan menjadi pemimpin. Dalam al-Sunnah al-Nabawiyyah: Baina al-Fiqh wa ahl al-Hadits, Muhammad al-Ghazali, mantan aktivis Ikhwanul Muslimin misalnya menolak kalau persyaratan menjadi pemimpin ditentukan oleh jenis kelamin. Terpenting menurutnya adalah yang paling memiliki kemampuan di antara umat. Al-Ghazali mencontohkan pengangkatan asy-Syafa (perempuan) sebagai pengawas keuangan di pasar Kota Madinah oleh Umar bin Khattab.

Mengkaji pemikiran politik Islam, sejatinya sulit menemukan pemikiran yang berbicara tentang mekanisme pemberhentian (pemakzulan) pemimpin. Yang banyak dikaji justru berkenaan dengan kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan pemimpin dapat dimakzulkan. Ini menunjukkan adanya konsistensi pemikiran politik Islam bahwa Islam tak mempuyai konsep politik yang baku, termasuk dalam hal pemakzulan pemimpin.

Sebab pemimpin dimakzulkan ada yang bersifat standar dan generik, seperti lemah fisik dan mental, kehilangan organ-organ tubuh lainnya terlebih panca indra, sebab ditawan oleh musuh. Namun ada sebab yang bersifat syar’i yang menyebabkan pemimpin pantas dimakzulkan. Misalnya karena sebab menyimpang dari ketentuan syariat, tak mampu berbuat adil, fasik, dan fâjir. Pemimpin yang melakukan ini semua, pemakzulannya menjadi dimungkinkan.

Sebaliknya, kalau mendapati pemimpin yang mampu menjadikan kekuasaan yang dipegangnya untuk menegakkan keadilan, kebijakan yang dibuatnya pro syariat, mampu melaksanakan dan menjamin hak-hak Allah, karena sejatinya fungsi kepemimpinan dalam Islam adalah menghimpun hak-hak umum yang bersifat integral antara hak Allah dan hak rakyat untuk mewujudkan maslahat al-ammah, maka tak ada alasan untuk memakzulkannya. Sebaliknya, harus didukung dan ditaatinya.

Bagaimana jika terdapat pemimpin yang sebelumnya terlah berbuat fasik, mengingkari syariat, berlaku tak adil kemudian mencoba untuk berbuat adil? Menurut al-Mawardi dalam al-ahkam al-shuthaniyyah, pemimpin tersebut tetap tidak boleh menjalankan kepemimpinannya kecuali dengan kontrak sosial yang baru.

Bagaimana Indonesia?

Setiap negara dalam konstitusinya dipastikan didapati ketentuan yang mengatur pemakzulan pemimpin. Tak terkecuali konstitusi kita, UUD 1945. UUD 1945 Pasal 7A dan 7B Ayat 1 - 6 mengatur pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pasal-pasal dan ayat-ayat ini menyebutkan bahwa untuk memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus ada bukti pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kalau didapati ada bukti pelanggaran hukum, maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) –dengan dukungan 2/3 anggota DPR– untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar hukum.

Disebutkan pula, bila MK memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melanggar hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ayat ini mensyaratkan MK harus memutuskan bahwa pendapat DPR membuktikan Presiden dan/atau Wakil Presiden bersalah. Kalau tidak terbukti, maka proses pemakzulan tidak bakal berlanjut ke MPR.

Disebutkan juga bahwa MPR wajib melaksanakan sidang paripurna untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna.

Kalau membaca keseluruhan isi pasal-pasal dan ayat-ayat di atas, memakzulkan Presiden itu bukan perkara mudah, untuk tidak mengatakan mustahil dilakukan konteks saat ini. Bahwa kalau mengkritisi kebijakan-kebijakan Presiden, tentu dengan mengacu para aturan perundang-undangan yang ada, secara politik bisa saja Presiden dinilai melanggar hukum, baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, namun untuk proses politik selanjutnya di DPR dan MPR, belum lagi proses hukumnya di MK, nyaris mustahil pemakzulan dapat dilakukan.

Konstelasi politik di DPR dan tentunya juga di MPR, di mana kekuatan fraksi pendukung Presiden tampil sangat dominan, maka hampir mustahil dapat menyeret Presiden ke meja pemakzulan.

Dengan realitas politik ini, rezim yang berkuasa dan pendukungnya tidak usah alergi atau sensitif, apalagi intimidatif dan ngamuk-ngamuk atas perbincangan atau wacana pemakzulan yang dilontarkan beberapa pihak. Hal yang wajar membincang atau mewacanakan pemakzulan Presiden. Selain konstitusional karena memang tertera di dalam konstitusi, secara politik masyarakat pun berhak menilai Presidennya, termasuk menilai pantas atau tidaknya untuk dimakzulkan.

 
Berita Terpopuler