Gangster Geopolitik dalam Aneksasi Tepi Barat Palestina

Rencana Israel mencaplok tanah Tepi Barat Palestina menyakitkan komunitas global.

EPA-EFE/ABED AL HASHLAMOUN
Pasukan Militer Israel mencegah seorang buruh Palestina memasuki wilayah Israel setelah secara ilegal melintasi pagar keamanan Israel di dekat kota Hebron Tepi Barat, Selasa (5/5). Pekerja Palestina mencoba memasuki area perbatasan Israel untuk bekerja setelah larangan masuk diberlakukan di tengah kekhawatiran atas penyebaran pandemi COVID-19.
Rep: aljazeera Red: Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Richard Falk*

Kehidupan di planet kita saat ini terpecah akibat pandemi COVID-19 atau dislokasi sosial dan kehancuran ekonomi. Tidak herank, kondisi seperti ini akhirnya mempertontonkan sisi kemanusian dari yang terbaik hingga terburuk.

Namun, yang tampaknya lebih buruk dari keadaan ini adalah adanya kegigihan gangster geopolitik dalam berbagai manifestasinya.

Mengintensifkan sanksi oleh Amerika Serikat (AS) di tengah krisis kesehatan pada negara-negara yang sudah sangat menderita seperti Iran dan Venezuela adalah satu contoh nyata. 

Wajah geopolitik ini tersorot dari penolakan atas permohonan kemanusiaan untuk penangguhan sanksi, setidaknya selama durasi pandemi ini. 

Alih-alih penangguhan dan empati, kami menemukan fakta Washington malah tuli-nada dan hampir dengan gembira menaikkan kebijakan "tekanan maksimumnya", yang secara salah telah menaikkan rasa sakit.

Kisah gelap lainnya adalah permainan Israel yang mengerikan di berupa pelanggaran hukum untuk mencaplok tanah di Tepi Barat yang diduduki. Ini sesuai janji Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Kritik-kritik bahwa aneksasi wilayah Palestina yang diduduki secara langsung oleh Israel adalah melanggar norma-norma dasar hukum internasional tampaknya tidak lagi dianggap serius. 

Mungkin karena ini Israel siap mencaploknya, mengesampingkan aturan yang secara luas disetujui. Jelas, negara berdaulat tidak diizinkan untuk mencaplok wilayah asing yang diperoleh dengan paksa.

Contoh aneksasi ini juga melibatkan penolakan ekstrem terhadap hukum humaniter internasional seperti yang termaktub dalam Konvensi Jenewa Keempat. 

Ini merupakan langkah sepihak oleh Israel untuk mengubah status tanah di Tepi Barat dari yang diduduki sejak 1967 menjadi otoritas wilayah kedaulatannya. 

Dan lebih lanjut, aneksasi seperti itu secara langsung menantang otoritas PBB, yang dengan konsensus terus menerus yang luar biasa menganggap kehadiran Israel di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza.

Debat Keamanan Israel?

Untuk banyak kalangan, alasan ini jelas tidak mengherankan bahkan untuk sosk-sosok senior Israel termasuk mantan kepala Mossad dan Shin Bet serta pensiunan perwira militer yang ikut membunyikan alarm yang sama. 

Tentu saja, tidak satu pun dari debat internal Israel ini yang menentang aneksasi karena melanggar hukum internasional, menolak otoritas PBB atau Uni Eropa, dan mengabaikan hak-hak Palestina yang tidak dapat dicabut.

Sikap keberatan terhadap aneksasi dari masyarakat dan pemerintah Israel disampaikan atas berbagai kekhawatiran tentang dampak negatif bagi keamanan Israel. 

Secara khusus, para kritikus dari kalangan keamanan nasional Israel ini khawatir langkah ini mengganggu tetangga-tetangga Arab dan semakin mengasingkan opini publik internasional, khususnya di Eropa. Sampai batas tertentu para kritikus khawatir akan melemahkan solidaritas Yahudi Amerika dan Eropa untuk Israel.

Sisi pro-aneksasi juga menyebutkan pertimbangan keamanan, terutama yang berkaitan dengan Lembah Yordan dan permukiman. Tetapi lebih dari itu. Berbeda dengan para kritikus, pendukung aneksasi yang lebih bersemangat adalah penuntut tanah.

Mereka mengajukan 'hak alkitabiah' Yahudi ke Yudea dan Samaria (dikenal secara internasional sebagai Tepi Barat). Hak ini diperkuat dengan merujuk tradisi budaya Yahudi dan koneksi hubungan selama berabad-abad antara kehadiran kecil orang Yahudi dan tanah ini yang dianggap suci.

Seperti halnya kritikus Israel tentang pencaplokan, para pendukung merasa tidak perlu menjelaskan, atau bahkan memperhatikan, pengabaian atas keluhan dan hak-hak Palestina. 

Kaum Annexasionis tidak berani mengemukakan argumen bahwa klaim-klaim Yahudi lebih layak mendapat pengakuan daripada klaim nasional Palestina yang bersaing, tidak diragukan lagi karena kasus mereka begitu lemah dalam hal gagasan hukum modern dan etika hak.

Seperti yang terjadi di sepanjang narasi Zionis, keluhan, aspirasi, dan bahkan keberadaan rakyat Palestina, bukanlah bagian dari imajiner Zionis kecuali sebagai hambatan politik dan hambatan demografis.

Ketika seseorang mempertimbangkan evolusi penyimpangan Zionisme sejak awal, aspirasi jangka panjang untuk meminggirkan warga Palestina dalam satu negara Yahudi yang dominan yang mencakup seluruh "tanah perjanjian" Israel ini tidak pernah diabaikan. 

Dalam hal ini, rencana pemisahan PBB --walaupun diterima sebagai solusi pada saat itu-- lebih dipahami sebagai batu loncatan untuk mengambil tanah yang dijanjikan itu. 

Dalam perjalanan 100 tahun terakhir, dari perspektif Zionis utopia menjadi kenyataan, sementara bagi Palestina realitas menjadi distopia.

Gangster Geopolitik 

Aneksasi oleh Israel dan AS ini sama mengecewakannya dengan penghapusan orang-orang Palestina, yang akan diusir sebagai populasi yang gelisah untuk tetap terfragmentasi. Ini dilakukan agar perlawanan dan keberatan mereka dapat diredam secara efisien.

Netanyahu berhasil mendapatkan persetujuan untuk rencana pencaplokannya dalam kesepakatan pemerintah persatuan dengan saingannya yang berubah menjadi mitra koalisi, Benny Gantz. 

 

Satu-satunya prasyarat proposal yang akan diajukannya setelah 1 Juli adalah menyesuaikan kontur aneksasi dengan alokasi teritorial yang terkandung dalam proposal bertema "Perdamaian untuk Kemakmuran". Ini adalah proposal sepihak yang diajukan oleh Pemerintahan Trump.

Tanpa pengungkapan rencana perdamaian oleh Trump, persetujuan diam-diam aneksasi oleh AS hampir tidak pernah diragukan. Ini seperti mengikuti dukungan Trump atas aneksasi Israel di wilayah Suriah yang diduduki, yakni Dataran Tinggi Golan pada Maret 2019.

Seperti bisa diduga, langkah Donald Trump ini tidak menciptakan gesekan, bahkan tidak memberikan bisikan kepada Netanyahu setidaknya untuk menawarkan pembenaran hukum atau menjelaskan efek negatif pencaplokan pada prospek perdamaian Palestina. 

Sebaliknya, Menlu AS, Mike Pompeo, memberikan lampu hijau untuk aneksasi Tepi Barat bahkan sebelum Israel meresmikan klaimnya. Pompeo menyatakan secara provokatif bahwa aneksasi adalah masalah bagi Israel untuk menentukannya sendiri (seolah-olah Palestina maupun hukum internasional tidak memiliki relevansi apapun). 

Dia menambahkan bahwa AS akan menyampaikan pendapatnya secara pribadi kepada pemerintah Israel.

Diharapkan bahwa aneksasi tersebut akan disambut oleh retorika kecaman keras dari beberapa pemimpin Eropa dan kemungkinan calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden. Namun, ini tidak diikuti dorongan serius untuk kampanye internasional demi membalikkan pengambilan tanah Palestina ini.

Berdasarkan pengalaman masa lalu, tampaknya setelah beberapa hari liputan media, kekhawatiran akan mereda, dan dunia akan bergerak. Bahkan orang-orang Palestina, yang dihambat oleh penantian yang sia-sia selama bertahun-tahun, tampaknya menderita, paling tidak untuk sementara dari kombinasi kelelahan perlawanan dan inisiatif solidaritas yang tidak efektif.

Penilaian semacam itu menjadi satu lagi tanda hubungan Israel-AS dikelola seperti "gangster geopolitik" dan tanpa mengindahkan hukum internasional atau otoritas PBB. Ini adalah tindakan tercela yang menyingkirkan hukum dan moralitas, sementara ruang politik secara paksa dibersihkan untuk pencurian tanah.

Ini mengikuti pola perilaku luar biasa baik di sisi AS dan Israel, yakni:

Pertama, ada sifat menantang dari klaim aneksasi Israel. Kedua, ada kualifikasi tunggal bahwa Israel harus mendapatkan cap geopolitik persetujuan dari pemerintah AS sebelum maju dengan aneksasi. 

Ketiga, ada langkah pemerintah AS untuk melemparkan bola kembali ke Israel dengan mengatakan keputusan untuk mencaplok adalah keputusan Israel. 

Namun itu akan memberi Israel keuntungan dari pendapat pribadinya tentang masalah ini. Mungkin pada taktik pengaturan waktu dan presentasi tanpa pertimbangan masalah prinsip.

Ada melodi hantu yang menyertai tarian mengerikan ini. Israel menjinakkan unilateralismenya dengan sikap hormat geopolitik, dan dengan sikap ini, bertindak seolah-olah persetujuan AS penting sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar dukungan politik. 

AS tidak mempertanyakan logika Israel, namun ia tidak mau menerima tanggung jawab atas unjuk rasa persetujuan publik. AS seolah menyatakan bahwa Israel bebas untuk bertindak sesuai keinginannya.

Saya menduga bahwa pesan pribadi AS akan menjadi salah satu persetujuan yang diam-diam, yang tidak diragukan lagi akan diperlakukan Netanyahu sebagai alat untuk memuaskan perjanjian dengan Gantz.

Yang menonjol di sini adalah kesombongan politik aneksasi. Tidak hanya aturan dan prosedur ketertiban umum dunia dikesampingkan, tetapi wacana internal tentang pengalihan hak dilakukan seolah-olah orang yang paling terkena dampaknya tidak relevan, semacam "orientalisme internal". Itulah realitas gangster geopolitik.

*Richard Falk adalah Profesor Emeritus Hukum Internasional Albert G Milbank di Universitas Princeton dan Research Fellow, Pusat Studi Global Orfalea. Dia juga mantan Pelapor Khusus PBB untuk HAM Palestina. Tulisan ini dimuat di Aljazeera.

*Link: https://www.aljazeera.com/indepth/opinion/gangster-geopolitics-israel-annexation-plans-200511154825347.html

 

 
Berita Terpopuler