Islam Doktrin dan Peradaban: Ketuhanan Dan Masalah Mitologi

Mengkaji karya Nurcholish Madjid: Islam Doktrin Peradaban

wikipedia
Suasana masyarakat dalam dinasti Ottoman.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Berikut ini merukan sebagian cupikan tulisan karya mendiang cendikiawan DR Nurcholis Madjid dalam bukunya yang sangat terkenal pada dekade awal 1990-an, 'Islam Doktrin dan Peradaban'. Buku yang terbit pada tahun 1992 ini banyak dianggap sebagai karya 'magnum ophus' Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid, red).

Buku terebut kala itu menjadi bahan perbincangan di kalangan publik intelektual yang saat itu mulai dan sangat bergairah mengkaji ajaran Islam bersamaan dengan 'booming'-nya kaum inteletual di kalangan kaum santri. Pro kontra terjadi. Namun saat itu menjadi hal yang sangat indah, misalnya dengan tidak adanya --atau mudahnya -- pihak yang tak sependapat melaporkan diri kepada 'hamba hukum' dengan dalih apa pun.

Mari kita nikmati sepenggal tulisan karya Cak Nur yang keren ini dengan topik ' Ketuhanan dan Masalah Mitologi"

----------------

Jadi keruntuhan sistem Eropa Timur yang dramatis itu, dari banyak kemungkinan interpretasinya, membuktikan adanya sesuatu yang sangat alami pada manusia, yaitu, sebutlah, naluri untuk beragama, jika dengan ―agama‖ dimaksudkan terutama kepercayaan kepada satu wujud maha tinggi yang menguasai alam sekitar manusia dan hidup manusia itu sendiri, apapun nama yang diberikan kepada wujud maha tinggi dan maha kuasa itu. (Cukup menarik bahwa nama generik yang diberikan kepada wujud maha tinggi itu dalam berbagai bahasa merupakan cognatedalam bahasa-bahasa Indo-Eropa: ―Deva‖, ―Theo‖, ―Dos‖ dan ―Do‖ serta ―Khodâ‖, dan ―God‖; dalam bahasa-bahasa Semitik: ―Ilâh‖, ―Ill‖, ―El‖, dan ―Al‖; bahkan antara ―Yahweh‖ dalam bahasa Ibrani dan ―Ioa‖ dalam bahasa Yunani pun, selain menunjukkan kesamaan konsep tentang wujud mahatinggi, juga menunjukkan kemiripan bunyi sehingga juga boleh jadi merupakan cognate (Lih., Robin Lane Fox, Pagans and Christians, 1986, h. 257).

Kenyataan bahwa semua manusia dan kelompok-kelompoknya selalu mempunyai kepercayaan tentang adanya suatu wujud maha tinggi itu, dan bahwa mereka selalu mengembangkan suatu cara tertentu untuk memuja dan menyembahnya, menunjukkan dengan pasti adanya naluri keagamaan manusia. Percaya kepada suatu ―tuhan adalah hal yang dapat dikatakan taken for granted pada manusia, sepenuhnya manusiawi, sehingga sebenarnya usaha mendorong manusia untuk percaya kepada Tuhan adalah tindakan berlebihan. (―Tidak didorong pun manusia telah percaya kepada Tuhan‖, begitu kira-kira rumus sederhananya). Sekali lagi, keruntuhan sistem atheis... di Eropa Timur, dan secara potensial juga di negeri-negeri Marxis lainnya, membuktikan dengan jelas kebenaran dalil itu.

Karena manusia pada dasarnya mempunyai naluri untuk percaya kepada Tuhan dan menyembah-Nya, dan disebabkan berbagai latar belakang masing-masing manusia yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat dan dari satu masa ke masa, maka agama menjadi beraneka ragam dan berbeda-beda meskipun pangkal tolaknya sama, yaitu naluri untuk percaya kepada wujud maha tinggi tersebut.

Keanekaragaman agama itu menjadi lebih nyata akibat usaha manusia sendiri untuk membuat agamanya lebih berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengaitkannya kepada gejala-gejala yang secara nyata ada dise-kitarnya. Maka tumbuhlah legenda-legenda dan mitos-mitos, yang kese-muanya itu merupakan pranata penunjang kepercayaan alami manusia kepada Tuhan dan fungsionalisasi kepercayaan itu dalam masyarakat.

Legenda-legenda dan mitos-mitos itu juga diperlukan manusia sebagai penunjang sistem nilai hidup mereka. Semua itu memberi kejelasan tentang eksistensi manusia dalam hubungannya dengan alam sekitarnya, sekaligus tentang bagaimana bentuk hubungan yang sebaik- baiknya antara sesama manusia sendiri dan antara manusia dengan alam sekitarnya, serta dengan wujud maha tinggi. Manusia tidak dapat hidup tanpa mitologi atau sistem penjelasan tentang alam dan kehidupan yang

kebenarannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Maka tidak ada kelompok manusia yang benar-benar bebas dari mitologi. Dan karena suatu mitos harus dipercayai begitu saja, maka ia melahirkan sistem kepercayaan.

Jadi utuhnya mitologi akan menghasilkan utuhnya sistem kepercayaan. Dan, pada urutannya, utuhnya sistem kepercayaan akan menghasilkan utuhnya sistem nilai. Kemudian sistem nilai sendiri, yang memberi manusia kejelasan tentang apa yang baik dan buruk (etika), mendasari seluruh kegiatannya dalam menciptakan peradaban. Karena itu John Gardner, seorang cendekiawan Amerika yang pernah menjadi Menteri Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan pemerintahan Presiden J. F. Kennedy, pernah mengatakan, ―No nation can achieve greatness unless it believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization (tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika tidak bangsa itu percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban yang besar). Dan, sekali lagi, keper-cayaan kepada ―sesuatu itu melahirkan sesuatu yang secara umum disebut ―agama, yang sejauh pengalaman sebagian besar manusia, lebih banyak berdasarkan atau berpusatkan legenda dan mitologi.

Tetapi kita sekarang semuanya tahu bahwa legenda dan mitologi itu tidak menuju kepada kenyataan yang benar. Hal ini lebih-lebih terbukti berkenaan dengan legenda dan mitologi yang menyangkut alam sekitar yang nampak mata beserta gejala-gejalanya. Menurut seorang ilmuwan terkenal, ahli mitologi, Joseph Campbell, contoh mitologi kuna yang sampai saat ini masih dapat disaksikan ―fosil-fosil‖-nya ialah mitologi Yunani bahwa bumi tempat hidup kita ini adalah sebuah benda keras berbentuk bola yang tidak bergerak, yang terletak di tengah semacam kotak Cina yang terdiri dari tujuh bola tembus pandang yang berputar, yang pada masing-masing batas luar bola itu terdapat Matahari, Rembulan, Mars, Merkurius, Yupiter, Venus dan Saturnus (Campbell, Myths to live By, 1988, h. 2).

Benda-benda langit ini telah diketahui lebih dahulu oleh pada pendeta kawasan Mesopotamia Kuna yang dari zigurat-zigurat mereka selalu mengawasi langit, antara lain untuk mengetahui perhitungan waktu dan musim (yang sangat diperlukan oleh para petani). Karena kehadiran benda-benda itu langsung atau tidak langsung dirasakan berpengaruh kepada keadaan di bumi dan kehidupan manusia, maka benda-benda itu mengesankan kemaha-kuasaan, yang kemudian diyakini sebagai ―tuhan‖. Dari situlah kemudian tumbuh praktik menyembah benda-benda langit tersebut. Dan dari situ pula selanjut-nya muncul konsep hari yang tujuh,  sebagai akibat praktik menyembah satu ―tuhan satu hari. Karena itu, nama-nama hari yang tujuh terkaitkan dengan nama-nama ―tuhan‖ atau ―dewa yang ada di langit tersebut, masing-masing (seperti dapat dilihat pada bahasa-bahasa Eropa) ialah Hari Matahari, Hari Rembulan, Hari Mars, Hari Merkurius, Hari Jupiter, Hari Venus dan Hari Saturnus.

 

Selanjutnya, karena dari semua benda langit itu matahari adalah yang paling mengesankan (sebagai apa yang disebut oleh Rudolph Otto dalam sosiologi agama memiliki unsur-unsur mysterium tremendum et fascinans yang paling utama), maka timbul pula kepercayaan yang hampir universal bahwa matahari merupakan dewa tertinggi atau utama, dengan bermacam-macam sebutan seperti Ra, Zeus, Indra, dan seterusnya.

Di kalangan bangsa-bangsa Semit juga terdapat praktik pemujaan matahari sebagai dewa Syamas atau Syams, sehingga ada seorang tokoh suku Quraysy di Makkah sebelum Islam yang bernama ̳Abd-u ̳-Syams (Hamba Dewa Matahari). Oleh karena itu, dalam bahasa Portugis dan Spanyol, hari pertama, yaitu ―Hari Matahari‖, disebut ―Hari Tuhan (Domingo, yang memberi kita nama ―Hari Minggu‖ yang sebenarnya redundant, karena ―minggu‖ sendiri sudah berarti ―hari). Semuanya itu dengan jelas menunjukkan adanya sisa-sisa praktik penyembahan matahari.

Jadi hari yang tujuh itu adalah suatu sisa dari praktik kekafiran, syirik atau paganisme. Tetapi mengapa kita sekarang menggunakannya tanpa halangan apapun? Apakah tidak berarti bahwa kita mendukung suatu paham yang jelas-jelas keliru dan menyesatkan? Padahal mendukung kesesatan berarti ikut menanggung ―dosa kesesatan itu sendiri!

Dari persoalan hari yang tujuh itu dapat diperoleh gambaran yang relevan sekali untuk persoalan kita sekarang ini. Penggunaan hari yang tujuh bekas kekafiran itu oleh bangsa-bangsa seluruh dunia, termasuk bangsa-bangsa Muslim, tidak lagi mengandung persoalan dan sepenuhnya dapat diterima atau dibenarkan, karena konsep hari yang tujuh itu telah terlebih dahulu mengalami proses demitologisasi.

Artinya, nilai-nilai mitologis pada konsep hari yang tujuh itu telah dibuang, dan diganti dengan nilai kepraktisan sebagai penunjuk waktu semata. Proses demitologisasi itu terjadi juga oleh bangsa-bangsa Barat, sekalipun nama- nama hari di sana masih dengan jelas menunjukkan sisa praktik pemujaan benda-benda langit. Di kalangan bangsa-bangsa Semit di Timur Tengah, proses demitologisasi itu amat jelas dan tegas. Nama-nama hari yang tujuh itu tidak lagi dipertahankan pada nama-nama yang mengaitkannya dengan pemujaan suatu dewa bintang, tetapi diganti dengan angka, kecuali hari keenam dan ketujuh.

Maka kalau kita di Indonesia menamakan hari-hari itu Ahad, Senen, Selasa, Rabu, Kamis, Jum ̳at dan Sabtu, hal itu terjadi karena kita meminjamnya dari Bahasa Arab melalui agama Islam. Dan nama-nama itu artinya sekadar Satu, Dua, Tiga, dan Lima; hari keenam disebut ―Jumat yang artinya berkumpul, karena pada hari itu umat Islam berkumpul di masjid untuk melakukan salat tengah hari bersama; dan nama hari ketujuh dalam bahasa kita terjadi melalui proses peminjaman dua kali: Bahasa Arab meminjamnya dari Bahasa Ibrani, ―Syabat, menjadi ―al-Sabt, dan dari Bahasa Arab kita meminjamnya menjadi ―Sabtu. Sebenarnya perkataan Ibrani ―syabat adalah cognate dengan perkataan Arab ―subat yang artinya ―istirahat total (seperti, misalnya, dimaksud dalam Kitab Suci bahwa Tuhan menjadikan tidur kita ―istirahat total‖ Lihat Q., s. Fâthir/35:47). (Karena bahasa- bahasa Arab dan Ibrani termasuk satu rumpun yang sangat dekatsama dengan dekatnya bahasa-bahasa Jawa dan Sundamaka nama-nama hari yang tujuh itu dalam dua bahasa tersebut, selain artinya persis sama, yaitu angka-angka, ucapan atau bunyinyapun hampir sama. Bandingkan nama- nama hari yang tujuh dalam dua bahasa itu: Yawm al-Ahad, Yawm al- Itsnayn, Yawm al-Tsulatsâ‟, Yawm al-Arbi„â‟, Yawm al-Khamîs, Yawm al- Jumu„ah, Yawm al-SabtArab; Yom Risyom, Yom Syeni, Yom Sylisyi, Yom Revii, Yom Hamisyi, Yom Syisyi, SyabatIbrani).

Hari ketujuh dinamakan Sabtu, karena menurut Genesis dalam Kitab Perjanjian Lama, pada hari itu Tuhan telah rampung menciptakan alam raya seisinya, kemudian ―istirahat total‖. Karena itu, manusia pun, sepanjang ajaran Perjanjian Lama, harus istirahat total pula, sebagaimana sekarang ini dipraktikkan oleh kaum Yahudi. Karena itu dalam konsep hari ―Sabat menurut agama Yahudi itu sebenarnya masih terkandung unsur mitologi. Kaum Yahudi fundamentalis benar-benar percaya bahwa pada hari itu Tuhan istirahat total, sehingga mereka pun istirahat total, sampai-sampai banyak dari mereka yang bahkan menghidupkan televisi pun tidak mau dan harus meminta orang lain yang bukan Yahudi untuk melakukannya!

Dari tradisi Arab, nama ―Sabtuuntuk hari ketujuh tetap bertahan dalam Islam. Namun, sesuai dengan penegasan dalam al-Qur‘ân (s. al- Nahl/16:124), nama itu tidak lagi mengandung nilai kesakralan dalam Islam. Apalagi jika diingat bahwa kata-kata Ibrani ―syabat‖ juga boleh jadi sekadar cognate kata-kata Arab ―sab„ah‖ atau ―sab„at-un‖, sebagaimana ia juga boleh juga sekadar cognate kata-kata Indo-Eropa ―sapta‖, ―sieben‖, ―seven‖, ―sept‖, dan seterusnya, yang semuanya berarti ―tujuh‖.

Agama Kristen, setelah melewati perjalanan pertumbuhan yang cukup panjang, meninggalkan konsep hari ―Sabat dan mengganti hari sucinya ke hari Ahad, hari pertama. Telah kita ketahui bahwa hari pertama ini adalah bekas ―Hari Matahari‖ (Inggris: Sunday). Juga telah kita bicarakan, bahwa karena matahari adalah benda langit yang paling hebat, maka tumbuh kultus kepadanya sebagai dewa utama, sehingga hari itu pun juga dinamakan ―Hari Tuhan atau ―Do-Mingo. Maka banyak kalangan sarjana Kristologi yang berpendapat bahwa pengalihan hari suci Kristen (yang tumbuh dari tradisi Yahudi) dari Sabtu ke Minggu masih mengandung unsur sisa kultus kepada matahari. Jadi proses demitologisasi oleh agama (monoteis) Yahudi dan (trinitarianis) Kristen terhadap konsep hari yang tujuh sebagai sisa kekafiran itu belum tuntas.

Yang menuntaskan proses demitologisasi hari yang tujuh itu ialah Islam, dengan menjadikan hari sucinya hari keenam dan dinamakan ―Hari Berkumpul‖ (Yawm al-Jumu„ah), yakni hari kaum Muslimin berkumpul di masjid untuk menunaikan sembahyang tengah hari dalam jamâ„ah. Cara penamaan hari itu sebagai sebagai ―Hari Berkumpul, berbeda dari cara penamaan ―Sabtu‖ dan ―Domingo‖, menunjukkan orientasi yang lebih praktis, fungsional dan bebas dari mitologi. Apalagi Islam pun tidak mangajarkan bahwa hari Jum ̳at adalah hari istirahat. Yang ada ialah ajaran bahwa pada saat adzan sembahyang Jum'at dikumandangkan, kaum Muslim hendaknya meninggalkan pekerjaan masing-masing dan bergegas menuju tempat sembahyang untuk bersama-sama mengingat Tuhan. Namun setelah selesai dengan sembahyang itu hendaknya mereka ―menyebar di bumi dan mencari kemurahan Tuhan, yakni kembali bekerja mencari nafkah (Lihat Q., s. al-Jumu ah/62:9-10).

 

 

 

 
Berita Terpopuler