7 Kata Piagam Jakarta tak Sepenuhnya Hilang dari Pancasila

Pancasila merupakan perjalanan sebuah ideologi dan dasar negara

ROL/Abdul Kodir
Kepala Sub Direktorat Pengawasan Lembaga Zakat Kemenag, M Fuad Nasar
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M. Fuad Nasar, Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama

Kesepakatan bernegara paling krusial dan fundamental bagi bangsa Indonesia  di awal kemerdekaan ialah kesepakatan mengenai dasar negara. Pancasila oleh para pendiri negara (founding fathers) dipandang sebagai landasan falsafah yang bisa mempersatukan kebhinekaan bangsa dalam tataran konseptual dan ideal. Rumusan Pancasila yang otentik  tercantum di dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945.

Pancasila adalah ideologi modern. Ia merangkum nilai-nilai universal dan merefleksikan jatidiri Indonesia sebagai bangsa yang agamis. Pancasila merupakan ideologi untuk memandu perjalanan bangsa dan negara melangkah ke depan dan bukan ideologi yang membawa mundur ke belakang.

Dalam pandangan tokoh intelektual militer dan mantan gubernur Lemhannas Letnan Jenderal TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo dalam bukunya Pancasila, Islam dan ABRI (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila itu merupakan hal yang relatif baru dalam perjalanan sejarah bangsa kita yang panjang. Bahwa ia mempunyai akar-akarnya dalam seluruh sejarah bangsa kita sebelumnya adalah benar. Tetapi tidaklah benar bahwa Pancasila sebagai konsep sudah ada dalam ketatanegaraan Sriwijaya atau Majapahit.

Penempatan lima prinsip dasar negara di dalam mukaddimah konstitusi mempunyai  makna bahwa nilai-nilai substantif Pancasila harus tercermin dalam setiap keputusan negara dan melandasi segala kebijakan pemerintah. Pancasila berfungsi sebagai kompas penunjuk arah dan alat koreksi pembangunan agar tidak melenceng dari tujuan bernegara dan cita-cita perjuangan kemerdekaan.

Dalam perjalanan sejarah bangsa yang penuh warna, Pancasila pernah mengalami distorsi makna dan penafsiran menurut kepentingan penguasa. Di masa lalu pernah terjadi “politisasi Pancasila”, di mana Pancasila dijadikan alat politik penguasa untuk mengekang demokrasi dan kedaulatan rakyat . Pengalaman kelam masa lampau  menjadi pelajaran  berharga untuk generasi sekarang dan generasi mendatang. Bung Karno mengatakan, ”Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”

Soekarno Pencetus Pancasila

Sejarah lahirnya Pancasila tidak dapat dipisahkan dari peran Soekarno sebagai arsitek ideologi negara dan pencetus Pancasila. Bagaimanapun orang berbeda pendapat dan berlawanan dengan politik Soekarno pada waktu berkuasa, namun semua mengakui jasa Bung Karno sebagai Perintis Kemerdekaan, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia, serta Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, di samping Bung Hatta. Soekarno di masa revolusi kemerdekaan mempunyai peran besar dalam pembentukan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tak dapat dilupakan sampai kapan pun.

Soekarno adalah yang pertama kali mengenalkan istilah Pancasila dalam pidato 1 Juni 1945. Sejarah Pancasila berproses melalui tiga fase. Pertama, dimulai dari 1 Juni 1945. Kedua, pada 22 Juni 1945, dan Ketiga, mencapai bentuk final pada 18 Agustus 1945. Dalam semua rangkaian proses sejarah pembentukan dasar negara, Soekarno memiliki peran sentral sebagai Ketua Panitia Sembilan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang melahirkan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan Mohammad Hatta sebagai wakil ketua yang mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 (A.M. Fatwa, Pancasila Karya Bersama Milik Bangsa, Jakarta:  The Fatwa Center, 2010).

Substansi Pancasila merujuk kepada isi pidato Soekarno di depan rapat besar BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 di Gedung Tyuuoo Sangi-In, sekarang Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri Jalan Pejambon, Jakarta. Soekarno menyampaikan pidatonya tanpa teks untuk memenuhi permintaan Ketua BPUPKI Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat: apa philosofische grondslag daripada Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bentuk ini?”

Soekarno sebagai anggota BPUPKI dengan kecakapannya sebagai orator dan agitator yang hampir tak ada bandingnya di masa itu, mengajukan usulan lima prinsip dasar negara Indonesia, yaitu: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan. Pidato Soekarno disambut oleh hampir seluruh peserta rapat dengan tepuk tangan riuh.

Soekarno menyebutnya lima prinsip, azas atau dasar. Simbolik angka, Rukun Islam lima jumlahnya, jari kita lima setangan, kita mempunyai panca indera. Bukan Panca Dharma, tapi menurutnya, atas saran seorang ahli bahasa dianggap lebih tepat istilah “Pancasila”. Saat itu, Soekarno menawarkan, barangkali ada yang tidak suka akan bilangan lima itu, sehingga boleh diperas tinggal tiga saja, Tri Sila, ialah socio-nationalisme, socio-democratie, dan ke-Tuhanan. Jikalau yang tiga menjadi satu, menjadi perkataan “gotong royong”. Pancasila menjadi Tri Sila, Tri Sila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah mana yang tuan-tuan pilih, Tri Sila, Eka Sila ataukah Pancasila, demikian Soekarno.

Prinsip dasar yang dipaparkan Soekarno merupakan gagasan awal Pancasila dan bukan rumusan Pancasila yang resmi dan mengikat. Pancasila yang diterima secara resmi sebagai dasar negara terdiri dari lima sila yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Mohamad Roem dalam buku Ketuhanan Y.M.E dan Lahirnya Pancasila, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) mengatakan pidato Soekarno sewaktu diucapkan belum diberi nama. Pada tahun 1947 diterbitkan sebagai buku kecil diberi judul Lahirnya Pancasila.

Sekilas kita tinjau arti penting pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 dalam perspektif perjalanan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Sebelum Soekarno mendapat giliran menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang dasar negara, rapat besar BPUPKI telah menyimak beberapa pidato tentang rancangan dasar negara, antara lain dari Mr. Muhammad Yamin pada 29 Mei 1945 dan Mr. Soepomo pada 31 Mei 1945. Muhammad Yamin mengemukakan lima asas yang kemudian dimuat dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, ialah peri kebangsaan, peri ketuhanan, kesejahteraan rakyat, peri kemanusiaan, dan peri kerakyatan.

Selain itu, juga ada pidato tokoh Islam yang juga Ketua PB Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo pada 31 Mei 1945. Ki Bagus mengemukakan agar negara Indonesia baru yang akan datang itu berdasarkan agama Islam, di atas petunjuk-petunjuk Alquran dan Hadits, agar menjadi negara yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh. Ki Bagus Hadikusumo mengingatkan sudah enam abad Islam menjadi agama kebangsaan Indonesia dan tiga abad sebelum Belanda menjajah di sini, hukum Islam sudah berlaku di Indonesia. Dalam pidato Soekarno sepuluh kali menyebut nama Ki Bagus Hadikusumo.

Menurut Mohammad Hatta, uraian Soekarno tentang lima sila yang bersifat kompromistis, dapat meneduhkan pertentangan yang mulai tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang menghendaki dasar negara sekuler, bebas dari corak agama. Sebelum sidang pertama ini berakhir, dibentuk suatu panitia kecil untuk:

Pertama, merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945.

Kedua, menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan Indonesia Merdeka.

Dalam panitia kecil, dipilih 9 orang untuk menyelenggarakan tugas itu dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 yang kemudian diberi nama “Piagam Jakarta”.  (Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, Jakarta: Yayasan Idayu, 1981).

Panitia Kecil atau Panitia Sembilan BPUPKI yang diketuai Soekarno menyempurnakan rumusan Pancasila 1 Juni 1945. Prinsip kelima, yaitu “Ketuhanan” yang dalam pidato Soekarno diletakkan paling akhir diubah menjadi urutan pertama dengan tambahan kata, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” serta penyempurnaan pada keempat sila lainnya.

Prawoto Mangkusasmito dalam buku Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi (Jakarta: Bulan Bintang, 1970) menulis. “Pancasila sebagai dasar negara untuk pertama kali mendapatkan rumusnya yang lengkap pada tanggal 22 Juni 1945 dalam satu dokumen yang disusun dan ditandatangani oleh sebuah panitia terdiri dari 9 orang anggota Badan Penyelidik, yaitu Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Mudzakkir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Panitia kecil dibentuk oleh rapat yang dihadiri 38 anggota Badan Penyelidik yang ada di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 itu dan rapat tersebut dipimpin Ir. Sukarno. Rumusan Pancasila yang pertama itu kemudian terkenal dengan nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter.”

Piagam Jakarta disebut sebagai dokumen historis dan dokumen politik. Piagam Jakarta memuat gentlemen’s agreement (istilah dari Dr. Soekiman Wirjosanjojo) atau istilah Soekarno “persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan” tentang dasar negara Republik Indonesia.

Mr. Muhammad Yamin yang memberikan nama Piagam Jakarta terhadap Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar hasil kerja Panitia Sembilan. Rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 berbunyi: Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menurut Mohammad Hatta dalam buku Pengertian Pancasila, Panitia Sembilan mengubah urutan fundamen Pancasila itu, meletakkan fundamen moral di atas, fundamen politik di bawahnya. “Dengan meletakkan dasar moral di atas, negara  dan pemerintahannya memperoleh dasar yang kokoh, yang memerintahkan berbuat benar, melaksanakan keadilan, kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan ke luar dan ke dalam. Dengan politik pemerintahan yang berpegang kepada moral yang tinggi diciptakan tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Prof Mr. Kasman Singodimedjo, mantan anggota PPKI dalam ceramah Ramadhan tanggal 17 Agustus 1979 di Masjid Arief Rahman Hakim Kampus UI di Salemba Jakarta mengatakan, “Kemerdekaan RI dicetuskan tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia. Apa yang tersedia pada tanggal 17 Agustus 1945 itu? Yang tersedia adalah Rancangan UUD dan Piagam Jakarta (Jakarta Charter), karena piagam sudah dibuat pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan.” (Lukman Hakiem, editor. Dari Muhammadiyah Untuk Indonesia; Pemikiran dan Kiprah Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, dan KH Abdul Kahar Mudzakkir. Jakarta: PP Muhammadiyah, 2013).

Mengenai Piagam Jakarta, Pahlawan Nasional Mahaputera Prof. Dr. Mr. H. Muhammad Yamin menegaskan, “Piagam Jakarta berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fascisme, serta memuat dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perdamaian San Franscisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan dan Konstitusi RI. Piagam Jakarta itulah yang menjadi Mukaddimah (preambule) Konstitusi RI serta Undang-Undang Dasar 1945, disusun menurut filosofi-politik yang ditentukan di dalam piagam persetujuan itu. Piagam Jakarta berisi pula kalimat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang dinyatakan tanggal 17 Agustus 1945 itu. Piagam Jakarta itulah yang melahirkan Proklamasi dan Konstitusi.” (Mr. Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. Djakarta: Djambatan, 1952).

Piagam Jakarta merupakan konsensus nasional tentang dasar negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi antara golongan nasionalis islami yang menginginkan negara Indonesia dibangun di atas dasar-dasar ajaran Islam dan golongan kebangsaan netral agama yang menginginkan negara nasional dengan pemisahan secara mutlak agama dari kehidupan bernegara.

Dalam Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 tentang Kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945, pada konsiderannya menegaskan “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut”.  Dekrit Presiden yang menyebut di dalamnya Piagam Jakarta, bukan sekadar dokumen sejarah, tetapi sebuah dokumen hukum dalam riwayat ketatanegaraan yang sampai sekarang masih berlaku.

Prof KH Saifuddin Zuhri, Menteri Agama periode 1962 – 1967 dan tokoh Nahdlatul Ulama, dalam Kata Pengantar buku Piagam Jakarta karya Endang Saifuddin Anshari berpendapat, “Piagam Jakarta tidak kehilangan fungsinya maupun peranannya sebagai alat pemersatu seluruh bangsa Indonesia seperti yang pernah diucapkan oleh Presiden Soekarno dalam rapat peringatan lahirnya Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1965 di Istora Jakarta. Dan, 9 tokoh nasional yang menandatangani Piagam Jakarta itu sendiri pun merupakan perekat persatuan bangsa Indonesia.” (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Bandung: Pustaka – Perpustakaan Salman ITB, 1401 H – 1981 M).

Salah satu tokoh Masyumi Dr H Anwar Harjono, SH ketika menanggapi kesalahpahaman banyak kalangan tentang Piagam Jakarta, menyatakan, “Piagam Jakarta kerapkali diidentikkan dengan gagasan Negara Islam, dalam pengertian yang tidak tepat pula. Penulis sependapat dengan Ismail Suny yang mengatakan orang tidak perlu menjadi Guru Besar Hukum Tata Negara dahulu, karena cukup jelas, bahwa dengan ketentuan tujuh kata-kata dalam Piagam Jakarta sama sekali tidak berarti telah terbentuk Negara Islam. Dengan tujuh kata-kata itu hanya dapat diartikan bahwa hukum Islam berlaku bagi pemeluk-pemeluk Islam sebagai halnya politik Hindia-Belanda sebelum tahun 1929.” (Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa, Jakarta: Gema Insani Press, 1997).

Sore hari 17 Agustus 1945, sekitar pukul 17.00 Mohammad Hatta menerima tilpon dari Nishiyama, pembantu Admiral Maeda, menanyakan kesediaan untuk menerima tamu seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Tamu itu hendak menyampaikan suatu hal yang amat penting bagi Indonesia. Opsir dimaksud – Bung Hatta sendiri lupa namanya – mengaku datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan terhadap bagian dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang berbunyi: “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Jika bagian kalimat itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.

Siapakah opsir Kaigun yang datang ke rumah Mohammad Hatta di Jalan Diponegoro No 57 Jakarta tanggal 17 Agustus 1945 pukul 17.00 sore itu, masih menjadi “pertanyaan sejarah”. Dalam buku Lahirnya Satu Bangsa dan Negara (Jakarta: UI Press, 1997) disebut, utusan yang datang menemui Bung Hatta saat itu adalah aktifis mahasiswa Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran) dari Asrama Prapatan 10 Jakarta. Mereka yang datang tiga orang memiliki postur tubuh tidak tinggi dan berpakaian seragam Angkatan Laut Jepang, sehingga mirip seperti orang Jepang. Saya pernah menanya pendapat Prof Dr Taufik Abdullah mengenai hal itu. Menurut Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut, “Memangnya Bung Hatta itu bodoh, sehingga tak bisa membedakan antara orang Jepang dan orang pribumi yang mirip Jepang?”

Mohammad Hatta mengungkapkan ia tidak menerima begitu saja keberatan dimaksud, “Saya katakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Waktu merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Maramis yang ikut serta dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai keberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni ia ikut menanda-tanganinya.” (Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi, Jakarta: Tintamas, 1970).

Mohammad Hatta akhirnya menerima keberatan dimaksud dan berjanji akan menyampaikan kepada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, esok harinya. Pagi hari 18 Agustus 1945 menjelang dimulainya rapat PPKI dengan agenda pengesahan Undang-Undang Dasar, Bung Hatta melobi tiga orang anggota PPKI mewakili golongan Islam yang ada ketika itu, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku M. Hasan. Dalam keterangan Prawoto, KH A Wahid Hasjim tidak hadir dalam pertemuan 18 Agustus 1945 karena sedang perjalanan ke Jawa Timur.

Mohammad Hatta meminta tiga tokoh Islam itu bersedia menghapus tujuh kata dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ki Bagus Hadikusumo, pucuk pimpinan Muhammadiyah, satu-satunya eksponen perjuangan Islam yang paling senior waktu itu semula keberatan, mengingat rumusan kalimat mengenai kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya merupakan hasil musyawarah-mufakat dalam rapat BPUPKI  22 Juni 1945. Kasman Singodimedjo dan Teuku M. Hasan membujuk Ki Bagus agar menerima saran Mohammad Hatta, karena keputusan terakhir ada pada Ki Bagus Hadikusumo.

Ki Bagus Hadikusomo waktu itu juga mengusulkan perubahan kalimat: “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Ki Bagus meminta kalimat “menurut dasar” dihapus, sehingga berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan seterusnya. Perubahan lain pada Rancangan UUD 1945 yaitu pasal 6 ayat 1 bahwa  “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”, bagian kalimat “yang beragama Islam” dihapus.

Dalam bukunya Sekitar Proklamasi Mohammad Hatta menjelaskan, “Pada waktu itu kami dapat menginsafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan ‘Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Dalam Negara Indonesia yang memakai kemudian semboyan Bhineka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam dapat dimajukan sebagai rencana Undang-Undang ke DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia. Dengan cara begitu lambat laun terdapat bagi umat Islam Indonesia suatu sistem Syariat Islam yang teratur dalam Undang-Undang, berdasarkan Quran dan Hadis, yang sesuai pula dengan keperluan masyarakat Islam sekarang.”

Salah satu pelaku sejarah Prof Mr. Kasman Singodimedjo menyatakan, “Perubahan tujuh kata rumus “Ke-Tuhanan” itu amat penting, karena “Yang Maha Esa” menentukan arti dari Ketuhanan. Pancasila yang kini secara geruisloos menjadi filsafat negara kita itu, tidak mengenal Ke-Tuhanan sembarang ketuhanan. Sekali lagi bukan ketuhanan sembarang ketuhanan, tetapi yang dikenal oleh Pancasila ialah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus 1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali Allah.” (Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup Itu Berjuang, Jakarta: Bulan Bintang, 1982).

Kesediaan Ki Bagus Hadikusumo menghapus tujuh kata mengenai syariat Islam sekaligus menjadi “kunci” pengesahan Pembukaan UUD 1945 yang memuat prinsip-prinsip dasar negara Pancasila. Prawoto Mangkusasmito, sebagaimana dikutip Endang Saifuddin Anshari, beberapa tahun kemudian bertanya kepada Ki Bagus Hadikusumo tentang arti istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jawab Ki Bagus singkat saja, yaitu “Tauhid”. Hal yang sama dikonfirmasi pula kepada Mr. Teuku M. Hasan, saksi sejarah yang hadir dalam pertemuan 18 Agustus 1945, tokoh asal Aceh itu tidak membantahnya.

Perintis kemerdekaan dan pahlawan nasional dari keturunan Arab Abdurrahman Baswedan dalam artikelnya Siapa Yang Sebenarnya Musuh Pancasila (Mingguan Islam Populer Hikmah No 23 Tahun 1954) mengungkapkan, ”Karena adanya ajaran-ajaran Islam itulah maka prinsip-prinsip Pancasila itu sebelum lahirnya Pancasila telah menjadi filsafat hidup bangsa Indonesia umumnya! Walaupun umum bangsa kita itu tidak dapat merumuskannya dalam kata-kata yang dipakai dalam perumusan Pancasila itu.

Riwayat terjadinya perumusan Pancasila dapat  menceritakan bahwa kalau Pancasila itu dikatakan suatu hasil kompromis di antara beberapa pihak yang berbeda-beda ideologi, toh bagi pihak Islam tiada satupun dari sila-sila yang lima itu yang tidak dapat diterimanya! Terutama atas dasar keyakinan bahwa sila yang pertama itu, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah sebagai dasar daripada sila-sila yang lain.”

Keputusan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sehari setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945 dengan perubahan tujuh kata sebagaimana disebut di atas. Mohammad Hatta menyebut hal itu sebagai “toleransi pemimpin-pemimpin Islam” (Mohammad Hatta, Memoir, Jakarta: Tintamas, 1982).

Perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidak menghilangkan substansi hubungan negara dan agama yang telah terpatri dalam konstitusi negara kita. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ditegaskan; (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Mohammad Hatta dalam pidato memperingati lahirnya Pancasila 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta mengingatkan seluruh bangsa Indonesia tentang makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak sekadar hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Pemerintahan negara pada hakikatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa. Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perjalanan, karena kealpaan atau digoda hawa nafsu, ada terasa senantiasa desakan ghaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar.” (Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, Jakarta: Yayasan Idayu, 1981).

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, merefleksikan amanat perjuangan umat Islam dan elemen bangsa lainnya. Umat Islam, – kata Mohammad Natsir, Pemimpin Masyumi dan Perdana Menteri RI tahun 1950-1951 – sejak awal kemerdekaan sadar kita hidup dalam masyarakat yang majemuk (pluralistik) dan umat Islam Indonesia tidak pernah menohok teman seiring.

Presiden Soekarno, sebagai tokoh penggali Pancasila, dalam Kuliah Umum berjudul “Negara Nasional dan Cita-cita Islam” di Universitas Indonesia tanggal 7 Mei 1953 atas permintaan Ketua Umum PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) A. Dahlan Ranuwihardjo menegaskan, “Tentang kedudukan Pancasila dan Islam, aku tidak bisa mengatakan lebih daripada itu dan mensitir Saudara Pemimpin Besar Masyumi, Mohammad Natsir. Di Pakistan, di Karachi, tatkala beliau mengadakan ceramah di hadapan Pakistan Institute for International Relation beliau mengatakan bahwa Pancasila dan Islam tidak bertentangan satu sama lain.”

Dalam kaitan itu sangat beralasan ketika Alamsjah Ratu Perwiranegara, Menteri Agama periode 1978 – 1983 menegaskan, “Pancasila adalah pengorbanan dan hadiah terbesar umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia.” (H. Alamsjah Ratu Perwiranegara, Islam dan Pembangunan Politik Di Indonesia, Jakarta, CV Haji Masagung, 1987).

Sejalan dengan penegasan Alamsjah di atas, patut digaris-bawahi para pemimpin dan umat Islam menerima dasar negara Pancasila bukan karena alasan politis dan taktis, melainkan karena alasan teologis dan prinsip. Sebab, tidak satu pun di antara kelima sila yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam. Begitulah gambaran umum pandangan mainstream umat Islam Indonesia terhadap Pancasila dari dahulu sampai sekarang.

Mengutip Dr. Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim, M.Sc, “Kelima sila yang tertera dalam Pancasila itu memanglah merupakan saripati dan ajaran agama Islam yang telah digali oleh para tokoh pendiri republik ini dahulu. Oleh karena itu tepatlah jika dikatakan, bahwa Pancasila adalah sumbangsih termulia umat Islam Indonesia kepada bangsanya.” (A.M. Fatwa, Saya Menghayati dan Mengamalkan Pancasila Justru Saya Seorang Muslim, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2002).

Dalam dinamika kehidupan bernegara relasi Pancasila dan Islam bisa terusik ketika Pancasila dibenturkan atau diperhadapkan dengan agama. Kesetiaan umat Islam kepada Pancasila bisa kendor kalau Pancasila dijauhkan dari agama atau Pancasila diisi dengan paham yang tidak sejalan dengan agama.

Di sisi lain,  tantangan paling berat dalam pengamalan Pancasila adalah menjalankan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Uniknya, dalam hukum Indonesia, pelanggaran terhadap dasar negara, misalnya suatu peraturan perundang-undangan atau kebijakan bertentangan dengan salah satu sila Pancasila, tidak bisa digugat atau dikenakan delik hukum secara langsung. Orang bisa mengatakan apakah ini suatu kelebihan atau kelemahan dalam sistem bernegara dan berpemerintahan.

Pada akhirnya, semua elemen dan elite bangsa harus mampu berpikir jernih dan bebas dari beban sejarah atau dendam masa lalu dalam membaca kedudukan Pancasila dan kedudukan agama secara konstitusional di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu amat penting untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara di atas landasan ideologis konstitusional.

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat di saat para wakil rakyat di DPR kini sedang  membahas Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila. Wallahu a’lam bisshawab.

Jakarta, 17 Ramadhan 1441 H

 
Berita Terpopuler