Lambatnya Respons Pemerintah Inggris terhadap Covid-19

Inggris kemungkinan mencatat jumlah kematian tertinggi di Eropa akibat virus corona

EPA
Seseorang mengenakan APD berjalan di London, Inggris (2/5). Inggris memasuki pekan keenam lockdown untuk mengontrol penyebaran virus corona.
Red: Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ahmet Gurhan Kartal 

LONDON -- Ketika angka kematian akibat Covid-19 di Inggris dengan cepat mendekati angka 20.000, jumlah orang yang mengkritik pemerintah Tory soal pendekatannya dalam menghadapi wabah di negara itu juga membengkak.

Menurut survei baru-baru ini, 56 persen dari publik Inggris menganggap bahwa China gagal melaporkan dampak sebenarnya dari wabah ketika pertama kali muncul di Provinsi Wuhan beberapa bulan lalu.

Menurut sebagian besar sumber pemerintah dan outlet media nasional, jumlah besar korban yang meninggal di rumah sakit Layanan Kesehatan Nasional (NHS) berkorelasi dengan dengan skala pandemi global mendadak dan kurangnya kesiapan.

Namun, beberapa kritikus juga menuduh pemerintah merespons dengan lambat dan mengambil tindakan terlambat, dan ketika dalam beberapa hari jumlahnya hampir pasti melewati ambang psikologis 20.000 - sejumlah penasihat ilmiah pemerintah telah menyoroti dan mengatakan lebih sedikit kematian akan menjadi “hasil yang bagus ”- suasana di Inggris berbalik melawan pemerintah. 

Beberapa pekan yang sia-sia

The Sunday Times melaporkan pada akhir pekan bahwa Perdana Menteri Boris Johnson melewatkan lima pertemuan keamanan tinggi yang dijuluki COBRA sebelum wabah menghantam Inggris, tetapi setelah virus sudah menyebar dengan cepat di Kota Wuhan, China.

Harian itu mengatakan 38 hari berharga terbuang sia-sia dan Inggris berjalan sambil tidur menuju apa yang terjadi saat ini.

"Boris Johnson melewatkan lima pertemuan Cobra tentang virus, seruan untuk memesan alat pelindung diabaikan dan peringatan para ilmuwan tidak didengar. Kegagalan pada bulan Februari mungkin menelan ribuan nyawa,” tulis The Sunday Times.

The Mirror, sebuah tabloid lokal populer, mengatakan Johnson menghabiskan hampir dua minggu di sebuah mansion pedesaan bersama mitranya, Carrie Symonds, ketika para menteri kabinetnya mengadakan pertemuan darurat tentang krisis virus korona. 

Efek Brexit

Wabah terburuk dalam hampir satu abad ini juga membuat pemerintah Johnson tidak seimbang dalam suasana perayaan keluarnya Inggris dari Uni Eropa pada 31 Januari.

Bagaimanapun, Johnson telah memenangkan pemilihan menentukan pada Desember, yang memastikan kepergian negara itu dari Uni Eropa setelah negosiasi panjang, debat dan pemilihan parlemen yang memanas dan ketidakpastian politik yang tak berkesudahan.

Meskipun Covid-19 dengan cepat menjadi pandemi, pemerintah yang dipimpin Johnson masih mabuk dalam semangat Brexit.

Tetapi kode-kode tentang bagaimana dia hampir tidak mengetahui bahaya yang mendekat semakin tersembunyi dalam pidato kunci Greenwich Johnson pada 3 Februari, hanya tiga hari setelah kepergian bersejarah negara itu dari UE.

Menunjuk pada munculnya retorika yang aneh, Johnson mengatakan hambatan akan naik, dan ada risiko bahwa penyakit baru seperti virus korona akan memicu kepanikan dan keinginan untuk pemisahan pasar yang melampaui rasional medis hingga melakukan kerusakan ekonomi yang nyata dan tidak perlu.

“Maka pada saat itu, umat manusia membutuhkan suatu pemerintahan di suatu tempat yang bersedia untuk membuat kasus ini kuat untuk kebebasan pertukaran, beberapa negara siap untuk melepas kacamata Clark Kent-nya dan melompat ke bilik telepon dan muncul dengan jubahnya yang berkibar,” ungkap dia.

"Dan di sini, di Greenwich pada minggu pertama Februari 2020, saya bisa memberi tahu Anda dengan segala kerendahan hati bahwa Inggris siap untuk peran itu,” lanjut Johnson.

Menganggap Inggris sebagai pahlawan super yang terbang tinggi, Johnson mungkin berpikir dia akan mampu mengubah ancaman yang menumpuk dari keberadaan virus mematikan menjadi keuntungan ekonomi dengan mengambil jalan yang berbeda dari kebanyakan negara lain. 

“Jika sejumlah lansia mati, sangat disayangkan”

Dalam pidatonya, Johnson mengatakan mungkin lebih baik bagi Inggris untuk menerima dengan berat hati sambil menjelaskan pendekatan “kekebalan kelompok”, yang mempromosikan ide tentang virus yang beredar bebas di masyarakat untuk membuat sebagian besar penduduk kebal terhadap penyakit itu.

Media Inggris melaporkan bahwa ide itu datang dari Dominic Cummings, penasihat utama Johnson.

Sebuah laporan oleh Sunday Times mengutip Cummings mengatakan pada 12 Maret, ketika menguraikan strategi pemerintah melawan virus korona, bahwa kekebalan kawanan melindungi ekonomi, dan jika itu berarti sejumlah lansia mati, sangat disayangkan.

Jadi, apakah pemerintah Inggris mengorbankan lansia untuk melindungi ekonomi dan membiarkan mereka mati dengan tenang di pojokan untuk dapat mengkonsolidasikan momen kemenangan Brexit?

 

 

Siapa pun tidak dapat menjawab pertanyaan ini dengan sesederhana ya atau tidak, tetapi pemerintah dengan tegas menolak laporan itu.

"Ini adalah pemalsuan yang sangat memfitnah yang tidak dikirim ke No. 10 [kantor perdana menteri] oleh Sunday Times sebelum dipublikasikan. Artikel ini juga mencakup serangkaian kutipan nyata dari pertemuan yang ditemukan," kata seorang juru bicara pemerintah.

Inggris kemungkinan menderita jumlah kematian tertinggi di Eropa

Pekan lalu, Sir Jeremy Farrar, direktur yayasan amal global Wellcome Trust dan pakar pandemi di Kelompok Penasihat Ilmiah untuk Keadaan Darurat, memperingatkan bahwa negara itu kemungkinan menderita angka kematian tertinggi di Eropa.

Farrar mengatakan jumlah kematian dan kasus terinfeksi terus meningkat di Inggris.

"Saya benar-benar berharap kita mendekati penurunan angka. Tapi ya, Inggris kemungkinan besar akan menjadi salah satu yang terburuk, jika bukan negara yang paling parah terkena dampak di Eropa," ujar dia.

Institut Metrik dan Evaluasi Kesehatan di Seattle, Amerika Serikat mengatakan Inggris bisa menyaksikan 66.000 kematian pada Agustus, tetapi kemudian lembaga itu merevisi angka itu menjadi 37.000, masih jauh di atas ambang batas 20.000.

Para ilmuwan di Imperial College London mengatakan pada Maret bahwa lebih dari seperempat juta warga Inggris bisa meninggal akibat Covid-19 jika tidak ada pembatasan pergerakan yang diberlakukan, mendorong pemerintah untuk mengumumkan penguncian.

Korban tewas hingga Minggu, 19 April mencapai 16.060 dan sebagian besar diperkirakan berusia lanjut.

Karantina negara telah diperpanjang selama tiga minggu lagi, ketika angka kematian kemungkinan besar meningkat lebih jauh.

Ketika semua ini berakhir, pemerintah mungkin masih mencoba untuk masuk ke salah satu bilik telepon merah ikonik yang sebagian besar sudah tidak aktif dan muncul dengan mengenakan jubah Superman sebagai juara kekuatan super.

Bagaimana situasi akan berubah secara ekonomi dengan Brexit dan krisis pasca-Covid-19 belum diketahui, tetapi penelitian publik yang luas dan komprehensif tentang penanganan krisis terburuk oleh pemerintah sejak Perang Besar tampaknya akan segera terjadi.

Link: https://www.aa.com.tr/id/berita-analisis/analisis-terlalu-lambat-respons-pemerintah-inggris-terhadap-covid-19-kini-dalam-pengawasan/1811627

 
Berita Terpopuler