Tujuan Hardiknas: Memberikan Pendidikan Hati

Sudah sesuaikah dengan tujuan pendidikan nasional?

Republika/Agung Supriyanto
Pendiri Klinik Pendidikan MIPA (KPM), Ridwan Hasan Saputra memberikan materi dalam Republika Fun Science di Kantor Harian Republika, Jakarta, Sabtu (27/8).
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Hasan Saputra Motivator Suprarasional

Setiap 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Momen yang penting bagi dunia pendidikan Indonesia. Hardiknas biasanya diisi upacara bendera, ceramah dari guru atau kepala sekolah, atau ceramah dari pejabat publik. Di beberapa pemerintah daerah, agenda Hardiknas biasanya diisi acara pemberian penghargaan bagi siswa dan guru yang berprestasi serta anggota masyarakat yang pe duli terhadap pendidikan.

Kegiatan tersebut merupakan hal positif yang harus dipertahankan. Namun, ada yang lebih penting, yaitu mengevaluasi perjalanan pendidikan nasional, sudah sesuaikah dengan tujuan pendidikan nasional?

Tujuan pendidikan nasional tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Pendidikan nasional, menempatkan tujuan pengembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa pada awal kalimat, tentunya merupakan prioritas utama dan sangat penting. Menunjukkan keimanan dan ketakwaan menjadi landasan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang lain. Akhlak yang mulia bisa dimiliki karena didasari oleh keimanan dan ketakwaan serta akan membuat bangsa ini terhindar dari kerusakan moral.

Kreativitas dan ilmu yang dilandasi keimanan dan ketakwaan menghasilkan karya yang bermanfaat bagi orang banyak. Jika sebaliknya, akan menghasilkan kejahatan terencana, sistematis, dan masif yang merugikan orang, bahkan bangsa dan negara. Ketika tujuan pendidikan memampukan peserta didik menjadi manusia beriman dan bertakwa terwujud, tujuan pendidikan yang lain niscaya akan terwujud pula dan bernilai manfaat.

Karena pentingnya keimanan dan ketakwaan, proses pendidikan nasional harus menitikberatkan pada upaya mewujudkan tujuan utama tersebut. Jika ditelusuri, dari proses pendidikan di se kolah saat ini, kurikulum pelajaran lebih fokus pada olah akal, seperti matematika, IPA, serta pelajaran umum lainnya. Pendidikan untuk mengolah hati porsinya lebih sedikit.

Tampak pula dalam hampir seluruh rancangan program pengajaran, kompetensi spiritual, dan kompetensi sosial lebih sebagai bunganya saja, tidak menjadi jiwa pendidikan itu sendiri. Dominasi terbesarnya ada di kompetensi pengetahuan.

Ilmu agama hanya diajarkan dua hingga empat jam dalam sepekan jauh dari cukup untuk mewujudkan tujuan pendidikan utama yang beriman dan bertakwa, ditambah guru yang mengajar hanya penyampai pengetahuan belum mendidik, apalagi menjadi teladan.

Sehingga pendidikan agama yang seharusnya pendidikan olah hati, olah akal, dan olahraga, akhirnya jadi pendidikan olah akal saja. Pendidikan agama terasa sebagai pelengkap saja. Manfaatnya dalam pendidikan sangat kurang.

Kurangnya jam belajar pendidikan agama di sekolah menunjukkan ketidakseriusan proses pendidikan di sekolah untuk mewujudkan manusia beriman dan bertakwa. Padahal, jika kita mengacu pada tujuan pendidikan nasional, seharusnya pendidikan agama jauh lebih banyak waktunya, terutama pada jenjang pendidikan dasar. Difokuskan terlebih dahulu untuk olah hati daripada olah akal atau olah raga.

Sebab, hati berperan penting dalam kehi dupan kita. Ini disadari sebagian lembaga pendidikan di Indonesia, seperti pesantren dan sekolah berbasis keagamaan. Mereka menambah durasi pendidikan agama dari sisi pengetahuan dan aplikasi.

Manfaatnya terlihat nyata di pesantren dan sekolah berbasis keagamaan. Kerusakan moral lebih bisa ditekan. Ini karena hati peserta didiknya lebih hidup. Lain halnya dengan sekolah negeri dan swasta yang hanya mengacu pada kurikulum pemerintah.

Jika sekolah dan orang tua siswa tidak menambah secara mandiri pendidikan agama, yang terjadi keimanan dan ketakwaan siswa menjadi kurang kuat. Efeknya, mudah terjadi kerusakan moral, seperti narkoba, tawuran, pergaulan bebas, perundungan.

Berdasarkan analisis di atas, proses pendidikan nasional perlu menambahkan waktu belajar pendidikan agama sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Lalu, fokus pendidikan agama adalah olah hati atau pendidikan hati.

Hal paling penting dalam pendidikan hati adalah mengenal hal-hal yang gaib. Keimanan dan ketakwaan sangat berhubungan dengan yang gaib sebagaimana termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 1-3 yang artinya: "Alif Laam Miim. Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib …."

Agar hati bisa mudah memahami hal-hal yang bersifat gaib, maka hati harus cerdas. Agar hati cerdas, hati harus dididik. Pendidik an dimulai dengan mengenal penguasa alam gaib, yaitu Allah SWT.

Setelah manusia mengenal Tuhan dengan berbagai sifatnya dan diyakini secara hati dan akal, maka hati dan akal akan cerdas. Kecer das an hati dan akal mengakselerasi terwujud nya manusia yang beriman dan bertakwa.

Sejarah membuktikan, orang yang hatinya cerdas dan akalnya cerdas akan mempunyai karya besar seperti halnya para imam mazhab dan para cendekiawan Muslim di masa lalu seperti Imam Syafii dan Al khawa rizmi.

Bangsa yang rakyatnya cerdas hati dan akalnya akan menjadi bangsa besar yang bertahan hingga ratusan tahun, seperti Turki Usmani yang mengusai tiga benua hingga ratusan tahun.

Kecerdasan hati bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk sederhananya, ketika seorang Muslim lebih memilih shalat berjamaah di masjid karena meyakini pahala shalat berjamaah 27 derajat dibandingkan shalat sendirian di rumah.

Jika kita renungkan dengan melihat kondisi jamaah di masjid-masjid di Indonesia pada saat bukan bulan Ramadhan, kita bisa mafhumi, mayoritas orang Islam di Indonesia hatinya belum cerdas.

Maka proses pendidikan nasional kita harus segera dibenahi dengan menjadikan pendidikan hati sebagai hal pertama dan utama. Jika hal ini tidak segera dilakukan, tujuan pendidikan Indonesia yang kita citacitakan sepertinya hanyalah mimpi.

 
Berita Terpopuler