Rasisme Kolonial: Kala Haji dan Pribumi Tak Boleh Bersepatu

Kisah rasisme kepada pakaian kiai, santri, dan pribumi di era kolonial

troppen museum
Jamaah haji asal Aceh 1880. Lihat cara berpakaian mereka yang khas berserban itu.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Nia Deliana, Pengkaji sejarah dan budaya, berdomisili di Turki

Mode pakaian Barat yang bercirikhaskan topi, sarung tangan, jaz, kemeja, dasi, celana panjang dan gaun mencapai puncak trendingnya setelah revolusi industri di Eropa pada abad ke-18. Jaringan perdagangan tekstil di Samudra Hindia dan Nusantara yang awalnya dikendarai oleh para pedagang India, termasuk oleh Keling Hindu dan Muslim dari pelabuhan-pelabuhan pesisiran Koromandel, jatuh dalam monopoli Inggris pada pertengahan pertama abad ke-19. Sejak saat itu, Inggris mendapat berlipat-lipat ganda keuntungan dari jaringan perdagangan ini.

Mereka pun kemudian merajai kemudi warna dan cita rasa berpakaian rakyat di Asia dan Nusantara, terutama di kalangan menengah ke atas. Dominansi ini berlanjut tanpa batas ketika mesin jahit menyebar diseluruh pabrik-pabrik tekstil dan industri fashion, menghasilkan berton-ton pakaian ala barat yang dijual ke seluruh dunia.

Sebelum rangkulan bulat fesyen Barat pada abad ke-20, gaya berpakaian pribumi Indonesia baik lelaki ataupun perempuan terbilang beraneka ragam dan sejajar, sesuai budaya dan keyakinan yang dianut. Secara umum yang membedakannya adalah sanggul, menurut Anthony Reid (2015). Diperkirakan sejak tahun 1850 bangsa barat mulai memaksakan budayanya sebagai standard peradaban.

Hanya setelah keseluruhan kesultanan lokal runtuh pada abad ke-20, budaya berpakaian barat ini mendapat pelukan penuh dari negeri-negeri koloni, pelukan yang terbentuk dari ‘pemerintahan tanpa kekerasan’ atau tepatnya dikenal dengan kebijakan politik etik (ethische politiek). Mereka yang berbudaya non-barat dikategorikan sebagai bangsa yang inferior. Sebaliknya Orang lokal yang berpakaian, berbicara, dan bersikap kebarat-baratan diperlakukan lebih hormat daripada mereka yang sebaliknya.

  Keterangan foto: Gaya fesyen orang Aceh yang pakai penutup kepala, memakai celana, tapi  telanjang kaki.

Sebelum gelombang pakaian Barat ini didesak sebagai standard peradaban di Indonesia, Raja Mongkut (1851-68) yang merupakan penguasa berpengaruh di Thailand adalah penguasa terawal yang mengadopsi modernisme, termasuk soal pakaian barat ini, utamanya pakaian militer. Raja Chulalongkorn telah sepenuhnya mengadopsi pakaian barat saat ia menjabat menggantikan ayahnya. 

Sepatu Sebagai Hirarki Ras

Banyak sejawaran berpendapat bahwa gaya berpakaian Eropa tidak lepas dari obsesi hierarki ras yang ditujukan untuk membedakan mereka dari bangsa lain. Anthony Reid dalam bukunya A History of Southeast Asia: Critical Crossroads mengatakan:

“ (terjemahan).. Adalah Orang Eropa di Asia yang menjadi obesesif soal kode pakaian seiring idealisme ras hirarki ditegakkan. Ekperimentasi dan hibriditas tak lagi dapat diterima bagi orang Eropa yang mengatur ketetapan sejak tahun 1900, oleh karenanya, lelaki dan utamanya perempuan perlu berpakaian seperti saat mereka ada di Eropa.”

Reid kemudian juga melanjutkan bahwa diantara pasukan busana barat ini, sepatu punya identitas yang begitu penting dalam menentukan superiorti ras. Inggris di India misalnya menjadikan sepatu sebagai kewajiban untuk dipakai oleh pegawai kolonial, termasuk dari kalangan pribumi.

Pada masa kolonial dan perjuangan kemerdekaan di Burma, sepatu bahkan dipolitisasi oleh penjajah Inggris karena penganut Budha menentang kebijakan ganda yang membolehkan orang Eropa untuk memakai sepatu saat berada dalam Pagoda dan sebaliknya mengangkat topinya sebagai bentuk hormat pada rumah ibadah umat budha ini.

Inggris juga terlihat berkenan untuk berperang demi mempertahankan budaya bersepatunya yang mereka anggap tumbuh dari monarki yang lebih superior daripada budaya rakyat Burma yang melepaskan alas kaki dan merangkak didepan raja.

                      ******

Apa yang terjadi di India dan Burma tidak jauh berbeda dengan yang terekam di Hindia Timur (Indonesia). Meskipun kawasan ini dijajah  oleh Belanda, budaya yang mereka banggakan merujuk pada bangsa Eropa, termasuk Inggris.

Di Jawa misalnya sepatu pernah bersaksi sebagai citra kelas juga, diperuntukkan sebagai pemisah ras bangsa putih dari bangsa ‘berwarna’. Bangsa ‘berwarna’ disini dimaksudkan bagi mereka yang berkulit hitam (Afrika), coklat (Jawa, Ambon, Yaman, India Selatan), dan kuning (Cina) sebagaimana yang diutarakan oleh Daschel (1899).

 Keterangan foto: Lihat gaya berpakaian, pentup kepala, dan keseharian orang Priyayi Jawa.  Tampak Raja Pakubawana Solo pada 1930 menjenguk kampung santri di Luar Batang, Batavia.

Daschel juga mengatakan 25 juta orang Jawa memang bangsa yang paling terzalimi di Hindia Timur. Mereka pintar dan suka damai. Meskipun begitu, jangkauan mereka terhadap peradaban dibatasi oleh Belanda yang memposisikan mereka sebagai kelas separuh budak. Pendidikan mereka hanya diterima dari para haji dan kiai. Mereka tidak diizinkan untuk memakai pakaian Barat atau bahkan memakai sepatu.

Berbeda dengan orang terdidik Maluku dari bangsa Ambon atau Manado yang melayani pemerintah Belanda sebagai tentara istimewa atau lebih dikenal dengan sebutan Orang Belanda Hitam (the Black Dutchmen). Menurut Hulsbosch (2014) Golongan bangsa ini ditentukan sebagai kelas kedua setelah Belanda. Dikarenakan profesi sebagai tentara secara penuh, kebanyakan mereka menghabiskan hidupnya di barak militer yang kemudian dibentuk mengikuti hirarki militer Belanda dan standard Eropa.

Mereka juga menjadi suku yang homogenous dan punya otoritas tersendiri. Maka tidak mengejutkan jika orang Maluku Ambon atau Menado tidak punya kendala dalam berbudaya barat, dibayar lebih banyak daripada tentara-tentara dari suku lain, hidup dengan makanan barat dan lingkungan yang lebih baik. Anak-anaknya diberikan prioritas belajar di sekolah-sekolah elit Belanda.

 

                                   ***

Terdapat cukup rekaman soal alas kaki masyarakat lokal di Asia Tenggara sebelum  periode modernisme. Pribumi sudah tercatat punya alas kaki jauh sebelum periode awal modernisme barat masuk Asia Tenggara tahun 1850.

Kamus Melayu-Inggris karya William Marsden (1812) menerangkan keberadaan alas kaki, seperti kata Sapatu, kasut dan Kaus (kaki). Ia memberikan contoh kalimat yang menunjukkan kesemua ini dipakai untuk menghindari najis saat berjalan.

Kosa kata lainnya dari karya yang sama adalah lapik yang diterjemahkan juga sebagai alas kaki (footstool). Kesaksian alas kaki abad ke-19 itu masih bisa dipertahankan dengan merujuk pada kosa kata pribumi yang tidak berasimilasi barat misalnya, Kasut (Melayu), Silop (Aceh), dan lain sebagainya.

Namun jika berbicara soal civilitie (peradaban), kealpaan sepatu gaya barat tampaknya begitu menarik perhatian bangsa-bangsa Kulit putih ini. Putnam (1929) misalnya mencatat berdasarkan peninggalan lukisan kayu perwira Amerika tahun 1845 tentang keberadaan seorang Po Adam di kawasan Barat Aceh. Po Adam orang yang berpengaruh di Pulau Kio di mana ia punya benteng pertahanan dilengkapi dengan kapal dan penjaga bayaran.

Po Adam  juga dikenal sebagai mediator pedagang internasional, khususnya pedagang Amerika di Aceh barat selama 8 tahun, selain sebagai penterjemah dan penyelamat pedagang Amerika pada tahun 1831 dari sengketa di kawasan tersebut. Ia digambarkan sebagai orang lokal yang berkelas. Dalam lukisan ini ia dicitrakan bersepatu.

 Keterangan Foto: Gaya pakaian tentara kolonial Belanda di Perang Aceh. Lihat fesyen mereka berupa topi, pakain lengan panjang,celana, dan sepatu.

Ada perdebatan soal sejauh mana kebenaran sepatu ini ketika narasinya bertentangan dengan Reynolds (1835) yang menggambarkan fisik Po Adam dan kebiasannya bertelanjang kaki. Apapun jawabannya, keributan soal sepatu orang pribumi ini hanya diutarakan oleh kelompok pendukung hirearki ras dan agenda kolonial.   

Oleh karenanya tidak mengejutkan pula jika banyak yang bertanya, mengapa masyarakat pribumi, dari anak-anak hingga lansia, yang kita lihat dalam foto-foto jadul masa kolonial itu pada bertelanjang kaki?, seperti misalnya rakyat Aceh atau rakyat non bangsawan di kawasan lain?

Jawabnya, teny karena ada alasan terjadinya blokade dagang, kelumpuhan tekstil pribumi, dan runtuhnya otonomi ekonomi pribumi akibat penjajahan baru terdengar dalam debat-debat ilmiah orientalisme dalam periode post-kolonialisme. Pun begitu, hingga saat ini topik ini masih terus hangat dibicarakan. 

------------

Referensi:

-Dachsel, Paul. (1899). Eight Years Among the Malays, Milwaukee: J.H. Yewdale & sons Co, 1899.

-Reid, Anthony. (2015). A History of Southeast Asia: Critical Crossroads, Malaysia/UK: Wiley     Blackwell.

-Gilleberti, Christian. (May 20 2019). “The Shoe Question in Colonial Burma”, diunduh dari https://www.myanmore.com/2019/05/the-shoe-question-in-colonial-burma/pada tanggal 17 April 2020.

-Reynolds. J.N. (1835). Voyage of the United States Frigate Potomac Under the Command of John Downes Years 1831 , 1832, 1833, and 1834: Including a Particular Account of the Engagement at Quallah Batoo, on the Coast of Sumatra, Newyork: Harper and Brothers.

-Putnam, George Granvell. (1922). Salem vessels and their voyages; a history of the pepper trade with the island of Sumatra, Salem, Mass., The Essex institute.

-Marianne Hulsbosch Marianne. (2014). Pointy Shoes and Pith Helmets: Dress and Identity Construction in Ambon from 1850-1942, Brill.

 

 
Berita Terpopuler