Derita Muslim Uighur dan Rohingya

Umat Muslim sempat menjadi mayoritas di Xinjiang.

Sejumlah anak muslim Rohingya membaca alquran di masjid kampung Char Pauk, Sittwe, Myanmar, Sabtu (2/6).(Republika/Edwin Dwi Putranto)

Muslimah Uighur yang selalu ditindas pemerintah Cina.(nypost.com)

Rep: Ali Mansur Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baru-baru ini Pemerintah Kota London (CLC) mencabut gelar kehormatan Pemimpin de facto Myanmar. Hal ini dilakukan karena perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap masyarakat minoritas Muslim Rohingya.

Terlalu banyak kejahatan junta militer Myanmar terhadap Umat Islam yang menetap di wilayah Rakhine, dulu bernama Arakan terletak di pantai barat Myanmar. Puncaknya, junta militer melakukan pembersihan etnis atau genosida terhadap Muslim Rohingya.

Padahal suku Rohingya atau Rooinga sudah menetap di Arakan sejak abad ke-7 masehi. Komunitas muslim mendiami wilayah Kerajaan Mrauk U di Arakan yang dipimpin oleh raja Buddhis bernama Narameikhla atau Min Saw Mun. Narameikhla sempat diasingkan di kesultanan Bengali (Bangladesh).

Daerah kekuasaan kesultanan ini mencakup wilayah negara Bangladesh saat ini, India bagian Timur, dan bagian Barat Myanmar, termasuk Rakhine saat ini. Kemudian berkat bantuan Sultan Bengal, Narameikhla mendapatkan takhta di Arakan.

Warga muslim rohingya menunggu penyaluran bantuan berupa paket makanan dari Baznas dan pembaca Republika di kampung muslim Theingu Gya, Sittwe, Myanmar, Sabtu (2/5). - (Republika/Edwin Dwi Putranto)

Menurut Wilhem Klein dalam Burma, The Golden, setelah itu Narameikhla mendapatkan tahta dia memeluk Islam dan berganti nama jadi Suleiman Shah. Kemudian membawa orang-orang Bengali ke pemerintahannya dan lahirlah komunitas Muslim di Arakan.

Pada tahun 1420 Arakan berubah menjadi kerajaan Islam hingga 350 tahun lamanya. Pada tahun 1824, Arakan menjadi koloni Inggris. Kemudian terjadi perseteruan antara etnis Burma dan orang-orang Rohingya, yang terus terjadi sampai sekarang. Akibatnya banyak orang-orang Rohingya mengungsi ke Bengali.

Pada tahun 1942 Jepang datang menginvasi, Inggris terdesak hingga ke Arakan Utara dan meminta bantuan kepada orang-orang Rohingya. Kerja sama tersebut membuahkan hasil, Inggris merebut kembali Arakan pada 1945. Sebagai tanda jasa, orang-orang Rohingya meminta kemerdekaan di wilayah Maungdaw. Inggris pun mengabulkannya. Pengungsi Rohingya, yang terusir ke Bengali dalam kerusuhan tahun 1942, akhirnya kembali ke kampungnya.

Sejumlah anak muslim Rohingya membaca alquran di masjid kampung Char Pauk, Sittwe, Myanmar, Sabtu (2/6). - (Republika/Edwin Dwi Putranto)

Namun pascakemerdekaan Myanmar pada 4 Januari 1948 yang didapat dari hasil dari Konferensi London, justru keberadaan orang-orang Rohingya tidak diakui oleh pemerintah Myamnar kala itu. Identitas orang-orang Rohinya inilah yang jadi pangkal konflik berkepanjangan.

Berdasarkan undang-undang warga negara tahun 1982 pemerintah hanya mengakui 135 etnik, dan Rohingya tidak tercantum di dalamnya. Sehingga inilah yang menjadi dalil, bahwa Rohingya adalah pendatang ilegal dari Bangali.

Setali tiga uang dengan Muslim Rohingya, orang-orang Islam Uighur di China juga mengalami nasib yang tidak kalah tragsinya. Selama bertahun-tahun Muslim Uighur ditindas dan dipersekusi oleh Pemerintah China.
 
Lebih dari satu juga Muslim harus hidup dalam kamp konsentrasi yang dikenal dengan program "Reedukasi". Sementara jutaan lainnya hidup dalam pengawasan ketat polisi China, sewaktu-waktu bisa ditangkap tanpa alasan dan dijebloskan ke kamp pesakitan tersebut. Tidak hanya itu, Muslim Uighur juga tidak bisa dengan bebas menunaikan menjalankan perintah agama.
 
Laporan Amnesty International terbit pada 2013, menyampaikan otoritas China mengkriminalisasi Muslim Uighur. China menganggap kegiatan keagamaan sebagai tindakan yang ilegal.
 
Akibatnya, pada Juli 2014, departemen pemerintah Xinjiang memberlakukan larangan berpuasa kepada para Pegawai Negeri Sipil (PNS) beragama Islam selama Ramadhan. Selain itu China juga mempersulit Muslim Uighur, nyaris di segala aspek. Baik politik, ekonomi dan juga budaya.
 
Kembali ke kamp reedukasi. Berkali-kali Pemerintah China membantah bahwa kamp-kamp yang dibangun di gurun itu sebagai kamp konsentrasi tapi sebagai pelatihan vokasi. Kamp tersebut juga diklaim menawarkan endidikan dan pelatihan secara sukarela. Namun dokumen resmi Pemerintah China bocor, dan mengungkapkan bagaimana para tahanan dikurung, diindoktrinasi, dan dihukum.
 
Para pejabat China diinstruksikan memantau setiap gerak-gerik para etnis Uighur yang ditahan di kamp-kamp itu, termasuk saat beraktivitas di kamar mandi demi mencegah mereka kabur. Selama masa penahanan para anggota kamp tidak boleh menghubungi dunia luar selama kegiatan berlangsung.
 
Menurut Ketua Hubungan Kerja Sama Internasional Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhyiddin menilai Muslim Uighur tidak diberi kebebasan beribadah. Bahkan, orang yang sedang shalat pun dapat dituding sebagai radikal dan dimasukkan ke dalam kamp. Kata Muhyddin, fenomena ini tidak mengherankan. Karena memang agama hanya bisa diterapkan di ruang-ruang tertutup tidak boleh di ruang terbuka.
 
"Kalau anda perempuan dan berjilbab keluar ke jalan maka kamu akan dianggap radikal dan siap-siap masuk ke dalam kamp Reedukasi," terang Muhyiddin.
 
Seperti diberitakan Republika.co.id pada Januari 2019, Gulbahar Jelilova, seorang perempuan Uighur yang mengaku perba merasakan hidup selama 15 bulan di dalam salah satu kamp Reedukasi. Ia juga mengaku ditahan di kamar yang gelap dan banyak kecoa.
 
Para penghuni Reedukasi sering diikat dengan logam seberat 5 kilogram. "Jika mereka ingin menghukum lebih berat, mereka akan memborgol [kami] dan kami akan dipaksa untuk melihat tembok di seberang selama sekitar 17 jam," terang Gulbahar
 
Jika ditelisik nenek moyang Muslim Uighur sudah tiba Xinjiang di barat laut China ratusan tahun lalu. Mereka berbaur dengan orang-orang Turki dan Persia yang dikabarkan sudah ada diwilayah tersebut. Kemudian pada tahun tahun 1884, wilayah ini berada dikekuasaan Beijing dan ditetapkan sebagai perbatasan baru atau Xinjiang. Kala itu, Uighur merupakan etnis mayoritas di Xinjiang. Kaum Uighur sempat memproklamirkan Republik Independen bernama Turkestan Timur, tapi hanya seumur jagung.
 
Pasca-Perang Dunia ke dua, Pemerintah China membentuk daerah otonomi Xinjiang, sekaligus mendorong etnis Han yang juga sebagai mayoritas di daratan untuk hijrah ke daerah tersebut. Walhasil kini statusnya berbalik, etnis lebih meningkat populasinya menyisihkan Uighur yang hingga saat ini menjadi minoritas. Akibatnya, konflik sentimen etnis pun tidak terelakkan, ditambah Pemerintah China tidak berlaku adil serta menindas Muslim Uighur.
 
Puncaknya, pada 2009 meletuplah bentrok besar yang menyebabkan sekitar 200 jiwa melayang, di Urumqi, ibu kota Xinjiang. Selepas itu, tepatnya pada tahun 2014, Xinjiang memberlakukan undang-undang anti-terorisme dan Muslim Uighur menjadi targetnya. Mereka yang ditangkap akan dijebloskan ke kamp Reedukasi, yang menurut klaim China mereka akan terlahjr kembali usai lolos dari kamp tersebut.

 
Berita Terpopuler